Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu hari, pada September 1968.
Soemitro dipanggil Soeharto—yang ketika itu baru menginjak masa awal kekuasaannya.
+ ”Kamu bersiap-siap menggantikan Kartakusuma,” kata sang Presiden.
Kartakusuma ketika itu mengisi pos Kepala Staf Pertahanan dan Keamanan dengan pangkat letnan jenderal. Soemitro terkejut dan menolak. Soeharto pernah membicarakan hal ini dengan dia sebelumnya. Ketika itu Soemitro mengusulkan tiga nama: Letnan Jenderal Mokoginta, Laksamana Madya Sudomo, dan Mayor Jenderal H.R. Dharsono.
Tapi Soeharto berkeras.
+ ”Tidak. Kamu yang harus mengganti Kartakusuma. Siap-siap.”
Maret tahun berikutnya Soemitro dilantik menjadi kepala staf. Pangkatnya naik menjadi letnan jenderal.
Dua belas tahun kemudian, pada 1994, Soemitro meluncurkan otobiografi berjudul Soemitro. Di situ dia menulis, kalau sudah menginginkan seseorang di posisi tertentu, Presiden Soeharto akan memastikannya terlaksana.
Soeharto menginginkan orang loyal di sekitarnya. Loyal kepada dirinya dan loyal kepada dwifungsi. Karena itu, dia selalu ingin memilih sendiri para ”wakil”-nya di berbagai bidang kerja. Sebagian besar mereka, ya, tentara aktif.
Ini pula yang terjadi saat memilih kepala daerah. Menurut bekas Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia Fachrul Razi, dalam pelaksanaan, yang memilih kepala daerah sebenarnya Panglima TNI. Tapi keputusan akhir tetap di tangan Soeharto. ”Saya enggak begitu tahu mekanisme secara baku, mungkin Panglima TNI menawarkan nama-nama kepada Pak Harto,” kata Fachrul kepada Tempo.
Menurut cerita, jika Pak Harto bilang ”ya”, nama itu diterima. Tapi, kalau Soeharto tiba-tiba berbicara dalam istilah bahasa Jawa yang artinya kurang-lebih: ”Kok, saya belum pernah denger nama itu, ya,” artinya Panglima harus mencari nama lain.
Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Agus Widjojo mengatakan implementasi dwifungsi oleh Soeharto bergeser amat jauh dari konsep yang dibayangkan Jenderal Nasution. Aslinya, dwifungsi digagas sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sosial. Tapi, di bawah Soeharto, ia menjadi kekuatan pertahanan keamanan dan sosial politik. ”Pertimbangannya, tanpa menguasai politik, TNI tak bisa berbuat banyak melalui kebijakan yang dianggap baik bagi rakyat,” kata Agus.
Toh, Fachrul Razi melihat penunjukan kepala daerah di zaman Soeharto—kebanyakan mereka tentara aktif—ada baiknya. Paling tidak, menurut dia, tak ada kepala daerah buruk. ”Orang yang ditunjuk pasti baik karena dia produk penyeleksian yang panjang,” katanya. ”Kalau kemudian terbukti jelek, dia dicopot oleh pimpinan di atasnya,” Fachrul menambahkan.
Garis politik TNI di zaman Soeharto, menurut Fachrul, tidak berubah, yakni politik negara. Persoalannya, aplikasinya bertolak belakang. Pemimpin publik bukannya dipilih publik, tapi ditunjuk Soeharto. ”Kalau tadi saya bilang dulu ada yang positif, itu karena manusianya baik dibandingkan dengan sekarang, kadang-kadang terpilih yang enggak baik,” katanya.
Mencoba memahami ”pikiran” Soeharto, Fachrul berpendapat, hal itu sengaja dilakukan untuk memastikan stabilitas yang menjadi poin utama kebijakan politik sang Presiden. ”Trilogi pembangunan itu kan stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Stabilitas nomor satu,” katanya lagi.
Menggerogoti kedaulatan sipil, kekuasaan Soeharto menunjuk kepala daerah juga memberikan kesempatan kepada orang-orang dekatnya untuk ”berbisnis”. Salah satu contoh yang masih banyak diingat orang adalah kasus suap Bupati Bantul. Inilah kasus yang diduga menjadi penyebab terbunuhnya wartawan harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin, pada 16 Agustus 1996.
Konon, agar terpilih kembali menjadi bupati, Sri Roso Sudarmo, ketika itu kolonel artileri Angkatan Darat, menyogok Yayasan Dharmais milik Soeharto Rp 1 miliar. Cerita tentang ini beredar dalam surat kaleng di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bantul kala itu. Udin menulis cerita ”kaleng” ini di korannya.
Semasa pelaksanaan dwifungsi era Soeharto, menurut Fachrul, banyak perwira TNI tidak setuju dan merasa hal ini berlebihan. Tapi, karena Soeharto terlalu kuat, tak ada yang berani menentangnya.
Apalagi Soeharto tahu benar cara ”membungkam” orang-orang yang mencoba menggoyang dia. Dia tidak segan-segan mengancam orang yang dianggap merongrong kekuasaannya: September 1989, dalam penerbangan dengan pesawat DC-10 ke Yugoslavia, Soeharto menjawab pertanyaan wartawan soal isu suksesi kepemimpinan nasional. Kala itu, hal ini ramai dibicarakan di Tanah Air. Dan Soeharto mengatakan dalam pesawat itu, dia akan menggebuk mereka yang coba-coba menggantikan dirinya secara inkonstitusional. ”Jika tidak konstitusional, pemimpin politik sampai jenderal, saya katakan, saya gebuk,” katanya sembari tertawa.
Kekuasaan Soeharto membawa ”baju hijau” ke pemerintahan tak terbatas pada penunjukan kepala daerah. Tentara juga menguasai posisi pemimpin badan usaha ”basah”, seperti Pertamina dan Bulog, juga departemen-departemen strategis. ”Korps tentara” mengisi aneka pos dari menteri, direktur jenderal, inspektur jenderal, hingga duta besar. Di awal masa Orde Baru, 22 dari 26 gubernur adalah tentara. Sejak 1967, tentara mendapat jatah 47 kursi gratis di DPR.
Kursi DPRD tingkat II pun ikut diembat, walaupun dalam beberapa kasus amat tidak proporsional. Misalnya, dari tujuh DPRD di Timor Timur, ketuanya semua berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tak ada satu pun putra daerah, dan asas keterwakilan amatlah minim.
Tapi apa kata Soeharto soal dwifungsi? Dalam pidato kenegaraannya di depan DPR, 16 Agustus 1980, Soeharto menegaskan, ABRI sengaja dia libatkan dalam urusan politik karena ingin membarui kehidupan politik di Tanah Air. ”Terutama sebagai stabilisator dan dinamisator kehidupan politik dan pelaksanaan pembangunan,” katanya.
Soeharto barangkali pernah juga menyadari, dia sudah melenceng jauh. Pada 23 Maret 1981, dia menegaskan bahwa tugas kekaryaan ABRI tidak boleh salah arah menjadi penyaluran tenaga ABRI ke sektor-sektor di luar ABRI. Tapi penegasan ini tak disusul langkah perbaikan konkret.
Aksi nyata terkait dengan pernyataan soal ”kekaryaan ABRI” baru terlihat tujuh tahun kemudian. Jenderal Rudini, saat menjadi Menteri Dalam Negeri periode 1988-1993, akhirnya mengurangi persentase jumlah kepala daerah tingkat II dari tentara. Toh, jumlah yang dia diskon cuma seuprit, dari 50 persen menjadi 41 persen.
Baru setelah Soeharto lengser, peran politik di pemerintahan sepenuhnya dikembalikan ke sipil. TNI melakukan itu secara sukarela hanya dalam dua tahun setelah Soeharto tumbang dari kursi presiden.
Barangkali Fachrul benar, sesungguhnya banyak perwira TNI tak setuju dwifungsi yang kebablasan dan ingin mengubahnya. Tapi mereka takut kepada Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo