Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DESEMBER 1999, perseteruan internal di Tentara Nasional Indonesia meruncing. Pemicunya adalah rencana Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur memeriksa sejumlah jenderal, termasuk Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu, Jenderal Wiranto.
Dalam sebuah kunjungan ke markas Brigade Infanteri 6/Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat di Solo, Jawa Tengah, pertengahan Desember 1999, Panglima Kostrad Letnan Jenderal Djaja Suparman memberikan pernyataan keras. Menurut dia, pemanggilan para jenderal itu menyakitkan hati prajurit. Kalau itu diteruskan, prajurit bisa-bisa membabi-buta.
Pernyataan kontroversial Djaja kontan memanen protes. Salah satunya datang dari Panglima Komando Daerah Militer VII Wirabuana Mayor Jenderal Agus Wirahadikusumah. ”Ah, tidak ada itu. Prajurit TNI itu bukan hulubalang jenderal tertentu,” katanya enteng. Loyalitas prajurit, menurut Agus, seharusnya kepada negara.
Perang pendapat terbuka antara Djaja dan Agus Wirahadikusumah ini mencerminkan keretakan di dalam tubuh TNI. Saling sindir dan saling serang di media massa tak pernah terjadi di era Orde Baru.
Akibatnya, sejumlah jenderal senior resah. Letnan Jenderal Agum Gumelar, yang menjabat Menteri Perhubungan, prihatin. Beda pandangan bukan hal baru bagi TNI. ”Tapi dulu secara internal selalu dicari titik temu.”
Setelah lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998, TNI dipaksa memasuki era baru. Para petinggi militer saat itu harus cepat mengambil keputusan: menyesuaikan biduk organisasi mereka untuk mengalir bersama arus besar pendapat publik atau mengambil posisi bertahan, dengan risiko melawan arus.
Banyak perwira merasa gamang. Apalagi pangkal perseteruan para jenderal berbintang ini sebenarnya menyangkut persoalan yang jauh lebih mendasar: masa depan dwifungsi TNI.
Djaja Suparman bisa disebut mewakili kubu konservatif di tubuh militer, yang lebih suka perubahan atas peran sosial politik tentara dilakukan bertahap. Dia dikenal sebagai perwira yang loyal kepada Wiranto. Sedangkan Agus Wirahadikusumah adalah lokomotif kubu reformis-progresif yang mendesak TNI segera berganti haluan: kembali ke barak.
Sebulan sebelum isu perpecahan tentara ini muncul terang-benderang ke permukaan, Agus Wirahadikusumah merilis buku berjudul Indonesia Baru dan Tantangan TNI. Isinya kompilasi artikel dari sejumlah perwira TNI angkatan 1973, seperti Mayjen Djasri Marin, Brigjen Saurip Kadi, dan Brigjen Romulo Simbolon. Hampir semua sependapat reformasi TNI tak bisa dihindari. Dwifungsi harus dicabut.
”Para penulis buku ini adalah anggota dari sebuah generasi yang diberi ’warisan’, tapi pemberi ’warisan’ itu mereka anggap gagal menunjukkan contoh yang lebih baik kepada generasi penerusnya,” kata pengamat militer Salim Said dalam Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi. Para jenderal muda ini rata-rata lega dengan tumbangnya Orde Baru.
Penerbitan buku Agus memperuncing perbedaan di antara para petinggi TNI: garis demarkasi yang memisahkan kelompok perwira progresif dan kubu jenderal konservatif.
Pada masa genting itu, Jenderal Tyasno Sudarto adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Ditemui pekan lalu, dia mengakui atmosfer internal militer saat itu penuh hawa konflik. ”Kami semua sepakat TNI perlu direformasi, tapi ada perbedaan soal bagaimana reformasi itu dilakukan,” katanya.
Tyasno menilai, di dalam tentara, saat itu ada dua kelompok pemikiran besar. Kelompok pertama ingin TNI menjadi militer profesional yang hanya berkonsentrasi pada urusan pertahanan negara. Sedangkan kelompok kedua ingin mempertahankan TNI sebagai kekuatan sosial politik yang dominan, tapi tidak lagi menjadi sekadar penjaga rezim.
Motor kelompok pertama, menurut Tyasno, adalah Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, Letjen Agus Widjojo, dan Agus Wirahadikusumah. Sedangkan Tyasno sendiri mengaku ada di kelompok kedua. ”Sistem komando teritorial tidak boleh dicabut karena itulah sarana TNI untuk menjaga hubungan dengan rakyat,” katanya.
Tyasno juga terang-terangan menuding kelompok pertama amat dipengaruhi oleh ide tentang kontrol demokratik kaum sipil atas militer, seperti yang berkembang di Amerika Serikat. ”Mereka memang rata-rata pernah bersekolah di Amerika,” ujarnya.
Ditemui terpisah, Jenderal Agus Widjojo membantah. Mantan Kepala Staf Sosial Politik TNI ini menegaskan bahwa landasan argumentasi kubu mereka ada di konstitusi: Undang-Undang Dasar 1945. Pekan lalu, Agus Widjojo menjelaskan panjang-lebar sejarah dwifungsi dan mengapa TNI akhirnya memutuskan memotong sendiri fungsi sosial politiknya. ”Menurut konstitusi, TNI hanya menjalankan fungsi pertahanan nasional,” katanya.
Pertarungan ide kedua kelompok inilah yang mewarnai Cilangkap pada hari-hari setelah lengsernya Soeharto. Menurut Tyasno, pentolan dari masing-masing kelompok berusaha keras mendekati pimpinan TNI untuk mengegolkan pendapat masing-masing.
Jenderal Fachrul Razi, mantan Wakil Panglima TNI, masih ingat betul dinamika internal di tubuh TNI sepuluh tahun lalu. Namun dia menilai polarisasi yang terjadi tidak terlalu tajam. ”Ide pencabutan dwifungsi itu sudah ada sejak awal reformasi TNI bergulir,” ujarnya. Rencana itu, menurut Fachrul, dinilai sebagian besar perwira sebagai keniscayaan sejarah. ”Landasannya ya nalar saja: kenapa ada satu komponen bangsa menjadi super-body di atas yang lain?” katanya.
Perbedaan yang muncul saat itu, menurut Fachrul, lebih ke soal bagaimana dan kapan perubahan itu harus dilakukan. ”Ada yang ingin bertahap, ada yang ingin sekarang juga,” kata Fachrul. Sebagai Panglima TNI, Wiranto berusaha mengakomodasi semua pendapat dan memastikan perubahan yang terjadi tidak mengguncang perahu TNI.
Karena itulah, pada 18 Juli 1998—hanya dua bulan setelah runtuhnya Orde Baru—Wiranto mengumumkan empat paradigma baru TNI. Lewat konsep baru ini, TNI meninjau ulang peran sosial politiknya yang demikian luas. Istilah dwifungsi sejak saat itu tak lagi dipakai. ”Kekaryaan dihapuskan, meski peran militer dalam menentukan kebijakan strategis masih dianggap perlu dipertahankan,” ujar Salim Said.
Agus Widjojo mengaku ikut merancang konsep paradigma baru ini, bersama atasannya saat itu, Kepala Staf Sosial Politik Letjen Yudhoyono. ”Waktu itu sudah ada diskusi, apakah peran sosial politik TNI bisa sepenuhnya dicabut atau tidak,” katanya. Namun, mengingat masih belum stabilnya kondisi politik ketika itu—demonstrasi masih terus terjadi dan ekonomi belum kembali normal—diputuskan perubahan fungsi militer akan dilakukan bertahap.
Dua tahun kemudian, sejumlah posisi penting berganti. Panglima TNI dijabat Laksamana Widodo A.S., didampingi Wakil Panglima Jenderal Fachrul Razi. Agus Widjojo ditunjuk sebagai Kepala Staf Sosial Politik baru, menggantikan Yudhoyono, yang diminta Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Menteri Pertambangan dan Energi.
Rotasi ini menandai masa baru ketika perwira-perwira reformis mulai menduduki posisi strategis di elite militer. Kekuatan kelompok konservatif pun menurun drastis. Karena itulah, melalui serangkaian diskusi panjang, pada April 2000, mereka berhasil meyakinkan Panglima TNI untuk menarik diri sepenuhnya dari ranah sosial politik.
Keputusan itu diumumkan Widodo A.S. pada penutupan Rapat Pimpinan TNI di Cilangkap. ”Tugas utama TNI sekarang ini adalah sebagai komponen utama pertahanan negara,” kata Widodo saat itu. Sejarah panjang dwifungsi pun berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo