Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Perang Terbitlah Kuasa

Wacana dwifungsi tumbuh sejak awal kemerdekaan. Keinginan berkuasa atas nama memelihara stabilitas.

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI pasang-surut gelombang, perjalanan militer di Indonesia terus berubah-ubah haluan. Tak hanya mengangkat senjata, mereka merambah ke wilayah sipil. Perang kemerdekaan membukakan pintu bagi para tentara untuk melakoni berbagai peran. "Jangan lupa, kemerdekaan berawal dari perjuangan para laskar," kata Letnan Jenderal (Purnawirawan) Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial Tentara Nasional Indonesia, pekan lalu.

Menurut Direktur National Institute for Democracy Governance itu, laskar-laskar perjuangan merupakan sayap bersenjata perjuangan politik. Ada Pesindo, sayap bersenjata Partai Komunis Indonesia, Hizbullah dari kekuatan Islam, Barisan Pelopor, dan lain-lain. Nah, yang bersifat militer dan benar-benar cikal bakal TNI adalah para bekas anggota KNIL dan Peta (Pembela Tanah Air). Komponen itu disatukan menjadi tentara profesional.

Setelah Proklamasi, ada tiga poros pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni para bekas student dari Eropa Barat yang menginginkan demokrasi liberal-parlementer, pejuang dalam negeri seperti Bung Karno, dan para pejuang bersenjata. Ketika mencari kesepakatan, pejuang bersenjata tak mau ditinggal mendirikan negara. "Ada yang kaki dan tangannya buntung, kehilangan saudara dan teman," kata Agus.

Pada 5 Oktober 1945, terbit maklumat pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Bekas mayor KNIL, Urip Sumoharjo, mendirikan markas tertinggi TKR di Yogyakarta. Dalam konferensi pertama, 12 November 1945, Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar dan Menteri Keamanan Rakyat.

Agar TKR menjadi alat negara yang patuh, pada 25 Januari 1946 keluar maklumat pemerintah mengubah nama TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), satu-satunya organisasi militer Republik Indonesia. Pada 5 Mei 1947, terbit Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi, minta mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Maka, sejak 3 Juni 1947, secara resmi berdiri Tentara Nasional Indonesia.

Soedirman adalah militer sejati, tak punya ambisi politik atau kekuasaan. Tak ada konsep dwifungsi dalam dirinya. Ketika Soekarno-Hatta ditangkap Belanda, dan ibu kota RI, Yogyakarta, diduduki pada 19 Desember 1948 lewat Agresi II, Soedirman melanjutkan perang gerilya. "Met of zonder pemerintah," katanya ketika itu. Abdul Haris Nasution, selaku Panglima Komando Jawa, memberlakukan pemerintahan militer untuk seluruh Jawa.

Ulf Sundhaussen, dalam bukunya Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, menuliskan sikap antipolitik Soedirman. Pada awal kepemimpinannya, semua tentara dilarang menjadi anggota partai politik. "Ketika itu, konsepnya mengisi kevakuman agar bangsa tetap jalan," kata Fachrul Razi, Wakil Panglima TNI era Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada era Presiden Soekarno, sistem politik menciptakan "kesetaraan". TNI, khususnya Angkatan Darat, perlahan-lahan menjadi kekuatan politik. Mereka akhirnya bisa menolak kebijakan Presiden, sembari menyusun kekuatan politik. "Bukan karena memberontak, tapi melihat satu sama lain sebagai rekan seperjuangan merebut kemerdekaan."

Di usia muda republik, belum ada kontrol demokratik. Semuanya dalam tataran rekan seperjuangan. Belakangan, tumbuh rasa saling curiga antara tentara dan politikus. Perimbangan kekuatan berubah-ubah hingga Nasution meyakinkan Bung Karno untuk membubarkan Konstituante dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. "Di situ ada TNI, khususnya AD, yang masuk dengan karcis utusan golongan," kata Agus.

Pada 1958, Jenderal Nasution mengatakan tentara tak bisa seperti itu. Diambil jalan tengah: TNI, khususnya Angkatan Darat, tak akan menjalankan pemerintahan sebagai pemerintahan militer, tapi juga bukan alat mati di tangan politikus. "Inilah pintu masuk dwifungsi di era Presiden Soekarno," kata Agus Widjojo.

Pada November 1958, Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat menegaskan TNI yang saat itu berubah nama menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) perlu turut membina negara. Sebagai golongan fungsional, ABRI bisa masuk percaturan politik.

Nasution, dalam bukunya Tentara Nasional Indonesia, mengemukakan posisi dan peran Angkatan Perang dalam negara sehingga bisa menyumbangkan jaminan stabilitas. Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, konsep itu dia sampaikan di Akademi Militer Nasional, November 1958. Prinsipnya, keterlibatan tentara membina negara bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan menyokong stabilitas.

Konsep itu berlanjut dengan keputusan Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Peran politik ABRI sebagai golongan fungsional sekaligus kekuatan sosial politik memperoleh landasan konstitusional. ABRI berhasil menjadi alat militer sekaligus mengontrol Bung Karno.

Pada 1962, ABRI membentuk komando rayon militer (koramil) di semua kecamatan. Tahun berikutnya, di semua desa dibentuk bintara pembina desa (babinsa). ABRI juga berusaha mempengaruhi opini publik. Terbitlah surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Di kampus-kampus juga bermunculan resimen mahasiswa.

Di era Orde Baru, dwifungsi dimaknai sebagai subordinasi Presiden Soeharto. Implementasi dwifungsi Soeharto melangkah jauh dari konsep Nasution. "Pak Harto punya kepentingan meluaskan peran TNI yang dia katakan bermanfaat bagi kekuasaan tertinggi politik," kata Agus Widjojo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus