Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Tentara di Tegalboto

Tentara memimpin Universitas Jember selama dua dekade. Untuk meredam gejolak politik kampus.

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN orang tumpah-ruah ke jalan-jalan besar dan alun-alun Kota Jember, Jawa Timur. Teriakan "Gantung Utrecht!" bertebaran dari kerumunan demonstran. Pada medio 1964 itu, mereka menentang Sekretaris Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember Dr Ernst Utrecht yang menginstruksikan pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam di fakultasnya.

Sikap Penasihat Agung Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) itu dianggap sebagai cara menguatkan dominasi GMNI di universitas yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Jember ini. Dosen senior kampus ini, Sumaryono, 73 tahun, menceritakan unjuk rasa besar-besaran yang dikenal sebagai Peristiwa Utrecht itu adalah letupan dari kerasnya gesekan organisasi mahasiswa. "Organisasi mahasiswa saling curiga," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Jember angkatan 1964 ini.

Sumaryono bercerita, saat itu Utrecht disebut-sebut sebagai kader Partai Nasional Indonesia yang juga bersimpati pada Partai Komunis Indonesia. Ia malah disebut-sebut sebagai pembina Central Gerakan Mahasiswa Indonesia. Menurut Sumaryono, melihat dosen seperti Utrecht tersebut, Yayasan Tawang Alun sebagai pendiri universitas bergegas menggandeng tentara masuk kampus selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965 demi mengikis habis simpatisan Partai Komunis.

Yayasan Tawang Alun, yang disponsori Bupati Jember R. Soedjarwo, merintis pendirian Universitas Tawang Alun. Pada Januari 1963, Tawang Alun menjadi universitas negeri setelah dijadikan cabang Jember oleh Universitas Brawijaya. Memang, pemerintah pusat yang menunjuk Komandan Kodim 0824 Jember Letnan Kolonel Winoto menjadi rektor, tapi pengurus yayasan diam-diam mendesak anggota mereka, R. Achmad, melepaskan jabatan Ketua Presidium Universitas dan memberikan kursinya kepada Winoto.

Tersingkirnya Achmad tak lepas dari perubahan konstelasi politik saat itu, ketika PNI menyurut dan Angkatan Darat kian dominan. "Achmad itu orang PNI," ujar Sumaryono. Namun, memasuki Orde Baru, tentara tak kunjung keluar dari Universitas Jember. Setelah Winoto, kampus di Tegalboto ini selama dua dekade masih dipimpin tentara, yakni Letkol Soedi Hardjo Hoedojo, Letkol Soetardjo, dan Kolonel Warsito. "Cuma Winoto yang militer aktif, tiga lainnya sudah purnawirawan," katanya.

Para rektor tentara ini tak banyak mengubah perkuliahan. Namun, dalam urusan politik kampus, sepak terjang mereka amat kentara, terutama setelah muncul kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus. Mereka melarang aktivitas organisasi seperti GMNI dan HMI di dalam kampus dan acara-acara berbau politik. "Kegiatan mahasiswa harus direstui pimpinan universitas," kata Pembantu Rektor Bagian Kemahasiswaan Universitas Negeri Jember Andang Subahariyanto.

Andang, alumnus Universitas Jember angkatan 1983, juga mengingat pembersihan perpustakaan kampus dari buku-buku yang masuk daftar hitam pemerintah, salah satunya karya Pramoedya Ananta Toer. Arif Wibowo, aktivis GMNI yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menambahkan, dosen yang juga bekas aktivis kedua organisasi itu banyak yang disingkirkan.

Setelah 20 tahun di bawah militer, dosen-dosen meminta pengelolaan dikembalikan kepada sipil. "Zaman sudah berubah dan kami sudah punya sumber daya bagus, ada beberapa doktor," kata Sumaryono. Kolonel Warsito menjadi rektor tentara terakhir di kampus Jember. Pada 1987, Doktor Simanhadi menggantikan Warsito. Menurut Andang, sejak itu jumlah fakultas dan jurusan bertambah, dosen-dosen dikirim ke luar negeri, dan mahasiswa juga boleh berdiskusi isu-isu terbaru.

Universitas Jember hanyalah satu dari beberapa kampus negeri yang orang nomor satunya dijabat tentara. Brigadir Jenderal Eri Soedewo pada 1966 ditunjuk pemerintah menjadi koordinator perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Pada saat yang sama ia menjadi Ketua Presidium Universitas Brawijaya, Malang; Penjabat Rektor sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga; Ketua Presidium Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang; dan Ketua Presidium IKIP Surabaya.

Hal yang sama terjadi di Universitas Diponegoro, Semarang. Menurut situs resmi universitas tersebut, pada 1965 Kolonel Soewondo dijadikan pembantu rektor bidang kemahasiswaan, yang bekerja sama dengan Komandan Komando Militer Kota Besar Semarang Kolonel Munadi. Tugas mereka mensterilkan kampus dari orang-orang yang dianggap berhaluan komunis.

Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat peristiwa 30 September 1965 menjadi pintu masuk tentara ke kampus. "Alasannya, ada banyak penangkapan sehingga banyak posisi kosong di kampus," katanya. Memang tak semua tentara yang masuk kampus itu perwira aktif, karena ada juga akademisi yang menjadi perwira setelah mengikuti wajib militer. Namun misi mereka sama. "Membersihkan kampus dari orang-orang berhaluan kiri," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus