Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup di bui, Riky Hariansyah berbagi kamar seluas separuh lapangan bulu tangkis dengan sepuluh narapidana. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Siak, Riau, itu ditahan sejak 9 Maret lalu di Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru. Mahkamah Agung menghukum kader Partai Kebangkitan Bangsa itu enam bulan penjara. ”Lawan yang saya hadapi berat, anggota Dewan,” kata Riky, yang ditemui Tempo, awal bulan lalu.
Adalah pertemanan dengan Muhammad Nasir, anggota Dewan dari Partai Demokrat, yang membawa Riky ke penjara. Riky mengenang, ia akrab dengan sepupu Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, itu sejak 2003. Ketika itu, Nasir adalah Bendahara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kabupaten Siak dan ikut membantu ayah Riky sebagai bupati.
Dekat dengan keluarga bupati, perusahaan milik Nasir dan Nazaruddin sering memperoleh proyek: dari pengadaan barang hingga pembangunan infrastruktur. Menurut Riky, satu proyek bernilai belasan miliar rupiah. Perusahaan Nasir dan Nazaruddin masih terus menggarap berbagai proyek di Siak meskipun Nasir belakangan hengkang ke Partai Demokrat. Hubungan keduanya dengan Riky pun baik-baik saja.
Pada 2006, Riky meminjam Rp 1,545 miliar dari Nasir untuk keperluan bisnis. Perinciannya: Rp 1,1 miliar tunai dan sisanya dalam bentuk cek. Belakangan, Nasir menagih uang yang dalam tanda terima ditulis sebagai ”uang titipan”. Riky setuju mengembalikan uang. Entah dengan dasar apa, menurut Riky, Nasir justru meminta utang dibayar dengan proyek pembangunan turap tebing sungai senilai Rp 45 miliar. ”Dia menyebut uang yang saya pinjam sebagai uang proyek,” kata Riky.
Utang-piutang itu berujung ke kepolisian. Nasir dan Muhajidin Nur Hasim, adik Nazaruddin, melaporkan Riky ke Kepolisian Daerah Riau pada akhir 2006. Anehnya, kata Riky, Nasir menyebutkan PT Anak Negeri—perusahaan yang dikelola Nazaruddin, Nasir, dan Hasim—sebagai pihak yang dirugikan. Nasir menuduh Riky menggelapkan dana Anak Negeri sebesar Rp 1,545 miliar.
Kasus itu berlanjut hingga pengadilan. Pada tingkat pertama dan banding, Riky dinyatakan tak bersalah. Pada tingkat kasasi, 6 Desember 2010, Mahkamah Agung menghukum Riky enam bulan penjara. Ketika putusan kasasi keluar, Nazaruddin dan Nasir telah menjadi anggota Dewan dari Partai Demokrat. Inilah yang dianggap Riky sebagai ”lawan berat”.
Nazaruddin, yang dihubungi via BlackBerry Messenger pekan lalu, tak mau mengomentari cerita ini. Adapun Nasir dan Hasim tak bisa dimintai tanggapan. Empat nomor telepon seluler Nasir tak dapat dihubungi. Permintaan wawancara yang dilayangkan melalui surat dan pesan pendek juga tak berbalas. Telepon seluler Hasim pun tak aktif. Adapun alamat rumah Nasir dan Hasim, seperti yang tertera dalam akta PT Mega Niaga, perusahaan mereka, ternyata fiktif.
Kiprah trio Nazaruddin, Nasir, dan Hasim diakui sebagian politikus Senayan. ”Kalau soal proyek di kementerian, banyak pengusaha ngeper begitu tahu perusahaan tiga orang itu ikut lelang,” kata sejumlah politikus. Proyek mereka pun, kata beberapa legislator yang juga pengusaha, tersebar di sejumlah instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Perusahaan yang dimiliki tiga orang itu terbilang cukup banyak. Kamaruddin Simanjuntak, pengacara Daniel Sinambela, bekas mitra bisnis yang kemudian bermasalah dengan Nazaruddin, mengaku pernah menyelidiki jumlah perusahaan trio itu. ”Lebih dari 20 perusahaan,” ujarnya.
PT Anak Negeri salah satunya. Dalam akta pendirian perusahaan itu pada 2003 tercatat Nazaruddin dan Nasir duduk di jajaran komisaris. Sedangkan Hasim menjadi direktur utama. Nuril, anggota staf Nazaruddin di DPR, membenarkan hubungan ketiganya sebagai saudara. Hasim adalah adik kandung Nazaruddin. ”Sedangkan Nasir sepupu keduanya,” kata Nuril.
Menurut Riky Hariansyah, perusahaan trio itu cukup banyak bermain di proyek daerah hingga nasional. PT Anak Negeri disebut-sebut terlibat dalam kasus suap pembangunan wisma atlet di Palembang setelah salah satu direkturnya, Mindo Rosalina Manulang, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Rosalina diduga ikut menyuap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam.
Acap kali bisnis keluarga itu bertabrakan dengan mitra mereka. Achmad Zahri, pengacara Abdul Sohib, pengusaha yang juga bermasalah dengan Hasim dan Nasir, menuduh dua orang itu sebagai penipu. Eko, panggilan Achmad Zahri, mengatakan pada 2006 Hasim dan Nasir memberikan uang Rp 200 juta ke seorang pengusaha. Uang itu disebutkan sebagai jaminan untuk mendapatkan proyek pembangunan kantor kecamatan di Pekanbaru senilai Rp 1,4 miliar. Sohib hadir sebagai saksi perjanjian.
Belakangan, proyek dipecah-pecah sehingga perusahaan Hasim dan Nasir gagal mendapat Rp 1,4 miliar. Hasim dan Nasir menagih uang mereka. Menurut Eko, dalam kuitansi tanda terima, Hasim dan Nasir menambahkan klausul mobil Nissan X-Trail Sohib bakal disita jika ia tak membayar Rp 200 juta. ”Klien saya diseret-seret,” ujar Eko. Sohib sempat mengalami depresi karena kasus ini. Baru pada 2009 kasus ini dilaporkan ke Kepolisian Daerah Riau. ”Tapi sampai sekarang belum ada kejelasan,” kata Eko.
Sejumlah politikus bercerita, untuk memperlancar urusan bisnis, ketiganya sengaja bergabung ke partai politik. Nazaruddin, misalnya, menjadi calon legislator Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilihan Umum 2004, tapi gagal memperoleh cukup suara. Baru pada 2009, ia dan Nasir bisa duduk di Senayan di bawah bendera Partai Demokrat.
Hasim direncanakan masuk Partai Kebangkitan Bangsa. Seorang petinggi partai itu menyebutkan Hasim sampai mengeluarkan uang Rp 300 juta untuk bisa menjadi calon legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur, basis utama PKB. Tapi sebagian petinggi tidak setuju dan mencoret namanya. Musababnya, Hasim bukan kader partai dan tak memiliki pendukung. Ketua PKB Marwan Ja’far mengakui Hasim berusaha masuk partainya. ”Tapi banyak pengurus tak setuju,” kata Marwan.
Selain memiliki banyak perusahaan, trio ini menggunakan perusahaan lain untuk menggarap proyek yang menggunakan anggaran negara. Koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia Leonardus Pasaribu menyebutkan Nazaruddin dan Nasir serta anak buah mereka, Mindo Rosalina dan Marisi Matondang, Direktur Utama PT Mahkota Negara, menggarap proyek pengadaan alat bantu mengajar Kementerian Kesehatan senilai Rp 449 miliar pada 2010.
Proyek itu dimenangi PT Buana Ramosari Gemilang, tapi pengerjaannya oleh Mahkota Negara. ”Dari proyek ini, Buana Ramosari diduga mendapat fee sekitar Rp 1,5 miliar,” ujar Leonardus.
Modus yang sama, kata Leonardus, terjadi pada proyek pengadaan pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Proyek tahun 2008 senilai Rp 8,7 miliar itu dimenangi PT Alfindo Nuratama Perkasa. Tapi pengerjaannya disubkontrakkan ke PT Sundaya Indonesia dengan nilai proyek Rp 5,2 miliar melalui peran Marisi Matondang. Diduga negara dirugikan Rp 3,6 miliar akibat subkontrak ini. Komisi antikorupsi menduga ada keterlibatan Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin, sebagai negosiator subkontrak itu.
Lama malang-melintang di pelbagai proyek, tiga bersaudara itu kini harus menghadapi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pramono, Fanny Febiana, Rusman Paraqbueq (Jakarta), Jupernalis Samosir (Pekanbaru)
Satu Udin, Seribu Perkara
Setelah perkara suap wisma atlet terbongkar, satu demi satu kasus yang melibatkan Muhammad Nazaruddin terkuak. Terakhir, perusahaan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu terendus dalam dugaan korupsi proyek alat bantu pendidikan dokter di Kementerian Kesehatan pada 2010.
Bisnis pria 32 tahun itu malang-melintang dalam berbagai proyek pemerintah. Berikut ini sejumlah perkara yang diduga melibatkan Nazaruddin dan perusahaannya.
2005
2008
2011
Naskah: Anton Septian Sumber: pdat, riset
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo