BAGI Jakarta pencemaran atau polusi akibat industri memang belum
begitu mencemaskan. Tapi apa mau dikata jika penduduk yang 5
juta itu bertambah terus sementara jumlah industri nampaknya
akan menggelembung pula. Belum lagi, luapan asap knalpot
kendaraan bermotor di saat-saat tertentu sudah cukup menampar
hidung maupun paru-paru wara kota. Ditambah pula yang benama
sampah. Bukankah setiap hari tak kurang dari 10.000 M3 kotoran
itu seperti makin menjepit areal ibukota yang semakin sempit.
Dari pihak Pemerintah DKI memang dari pagi-pagi sudah mencium
keadaan yang bakal tak menyenangkan itu. Ketika Ali Sadikin
masih menjadi gubernur, misalnya, pernah lahir Peraturan Daerah
(Perda) no.12 tahun 1971 melalui DPRD DKI. Isinya tak' lain
tentang langkah-langkah untuk mencegah pengotoran udara, air dan
lepas pantai wilayah DKI. Namun nasib Perda ini hampir tenggelam
begitu saja, hampir tak pernah disebut, apalagi diteriakkam Baru
5 tahun keinudian melalui SK Gubernur No.382 bertanggal 9 Juni
1977 muncul langkah pelaksanaannya. Isinya antara lain
menyebutkan tentang kewajiban-kewajiban bagi seluruh perusahaan
industri dan badan perusahaan di wilayah DKl untuk memeriksakan
hasil/bahan buangannya pada Laboratorium Pencemaran Pusat
Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan (PPMPL).
Pembentukan PPMPL sendiri belum begitu lama, bahkan semula
berupa embel-embel dari Kantor Sensus dan Statistik DKI.
Kemudian barulah PPMPL menjadi aparat tersendiri di bawah
Bappeda DKI. Sejak inilah tampaknya masalah pencemaran ini
memperlihatkan tanda-tanda hendak ditangani secara bersungguh
hati oleh pihak DKI. Bahkan pertengahan bulan lalu, Gubernur
Tjokropranolo meresmikan pemakaian sebuah mobil unit
laboratorium PPMPL. "Untuk sementara cukup satu dulu" kata
Soetjipto Wirosardjono MSc, Ketua PPMPL, "merigingat masalah
yang ada sekarang diperkirakan sudah akan dapat diatasi dengan
satu mobil saja." Apalagi, tambahnya, kita boleh juga risau
dengan semakin banyaknya industri, tapi peranannya dalam
pencemaran belum begitu besar." Sikapun ada, katanya lagi, baru
terdapat di tempt-tempat tertentu, seperti di sekitar pabrik gas
dan kawasan industri Pulo Gadung.
Rencana Induk Sampah
Menurut Ketua PPMPL itu, pencemaran seperti akibat deterjen yang
pernah menghebohkan Jakarta belum lama ini (TEMPO 1 Oktober
1977), terjadi secara musiman. Artinya, "kalau volume air besar
(musim hujan) bahan-bahan yang menyebabkan pencemaran tersebut
akan cepat larut. Sebaliknya di musim kering seperti belakarlgan
ini, pencemaran deterjen pada air memang tinggi." Tapi kata
Soetjipto sumber pencemaran paling besar di Jakarta, 80% adalah
sampah.
Tentang sampah yang selalu bertimbun itu, menurut Dipl. Ing.
Bian Poen, Wakil Ketua PPMPL, "karena kurangnya disiplin
masyarakat dalam soal pembuangan sampah." Bian Poen melihat
perlu adanya rencana induk khusus mengenai sampah ini. Dan ini
katanya masih terus dalam pengolahan antara lain oleh Dinas
Kebersihan DKI dan PPMPL, Tapi menurut Wakil Ketua PPMPL itu,
"yang praktis ialah masyarakat harap mengikuti larangan
pembuangan sampah sembarangan, apa lagi peraturan pencegahan
pencemaran sudah lama ada."
Dengan mobil-unit laboratorium itu sendiri, PPMPL dapat bergerak
secara aktif. Artinya mobil itu dapat mengangkut peralatan
laboratorium, seperti: spektro foto meter, gas detektor,
alat-alat bakteriologi dan cairan-cairan kimia lainnya. Sehingga
penelitian dapat dilakukan di tempat. Dengan demikian PPMPL tak
bersifat pasif,. tak hanya menunggu keluhan atau laporan
masyarakat. Karena itu pula, sekarang ini semua sungai di DKI
sudah diketahui kriterianya dan dapat dijaga kelestariannya dari
sumber-sumber pencemaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini