DI Petisah Hulu, Medan, ada sebidang tanah lebih 2 hektar
luasnya. Kawasan ini meliputi Jalan Syailendra, Jalan Bantam.
Jalan Mataram dan Jalan Sriwijaya. Di atasnya berdiri 150 buah
rumah, dengan penghuni sekitar 2.000 jiwa. Di zaman Jepang tanah
itu dikenal sebagai milik Cong A Fie, orang yang terkenal kaya
di Medan pada waktu itu. Tak lama sejak waktu itu atas
persetujuan Cong A Fie langsung nau pun melalui ahli warisnya,
ke-150 kepala keluarga tadi telah membangun rumah di atas tanah
itu. Tapi di tahun 1952 tanpa setahu penghuni bangunan-bangunan
tadi, tanah dijual kepada Heman Lombangaol oleh ahli waris Cong
A Fie. Setelah Lumbangaol meninggal, tanun 1964, ahli warisnya
menjual tanah tersebut kepada Herlina boru Napitupulu, alias
Nyonya T.D. Pardede pengusaha Medan yang terkenal itu.
Tanpa setahu penduduk Petisah Hulu pula, Nyonya Pardede menerima
sertifikat bulan April 1974. Berdasarkan itu, sang nyonya
memaksa agar penduduk pindah dan membongkar rumah mereka.
Persoalannya sampai ke pengadilan ketika para penghuni menolak
pindah. Dan Nyonya Herlina menang bahkan dikuatkan pula oleh
Pengadilan Tinggi. Tapi sebaliknya Pengadilan Negeri Medan
menerima pula gugatan balik ke-150 pemilik rumah terhadap Nyonya
Pardede. Gugatan ini masih menunggu keputusan Pengadilan Tinggi
Sumatera Utara. Ini terjadi 1974.
Setelah lama tertunda dan tak ada kabar lanjutan soal itu,
pertengahan bulan lalu masalahnya terdengar lagi. Sebab
dikabarkan bahwa Nyonya Herlina akan memakai kekerasan untuk
menggusur penghuni-penghuni tanah yang menurut dia tak syah itu.
Tanah itu harus kosong eanpa ganti rugi. Alasannya, selain
nyGlya itu memiliki sertifikat, pengosongan harus dilaksanakan
sebab ada Surat dari Pengadilan Tingkat I Medan kepada Kepala
Kampung Petisah Hulu yang dikeluarkan 13 Oktober 1977. Dalam
surat itu pengadilan minta bantuankepala kampung dan hansip
untuk membantu juru sita melaksanakan pembongkaran pada 15
Oktober 1977.
Karena itulah sejak pagi hari suasana di Jalan Sriwijaya agak
panas. Ratusan manusia sudah siap menunggu apa yang bakal
terjadi. Ibu-ibu rumah tangga di situ membentang tikar di tengah
jalan dan duduk tenang-tenang. Sasaran pembongkaran dikaharkan
hanya rumah nomor 18 B, sesuai dengan isi surat Pengadilan
Negeri Medan tadi. Sebab rumah milik Zulkarnain itulah yang
sudah ada perintah pengDsongan dari Mahkamah Agung, sementara
rumah-rumah lainnya masih menunggu tingkat banding dari
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Namun rupanya seluruh warga
Petisah Hulu turut menyatakan simpati pada Zulkarnain.
Tapi setelah ditunggu berjamjam ternyata acara pembongkaran
paksa hari itu dibatalkan. "Eksekusi ditunda semetara karena
penghuni rumah di Ja'lan Sriwijaya 18 B tidak bersedia secara
sukarela mengosongkan rumahnya," lata Koeswandi SH, Ketua
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.
Sementara itu para penghuni Kampung Petisah Hulu yang lain tetap
bertahan, tak akan beranjak dari rumah mereka. "Biarpun Nyonya
Pardede menggunakan tangan besi" tantang mereka. Dari pihak
lain, menurut pengacara Nyonya Herlina, yaitu Sulaiman Siregar
SH, penghuni-penghuni di sana pernah ditawari ganti rugi sekitar
Rp 300.000 tjap kepala keluarga agar pindah dari situ. Tapi hal
ini dibantah oleh penghuni-penghuni. "Pihak Nyonya Pardede tak
pernah mengadakan konsultasi dengan kami," bantah salah seorang
penghuni. Tapi, tak lupa pula ke-150 keluarga penghuni kawasan
itu melaporkan nasib mereka kepada Opstib Pusat. Entahlah,
bagaimana lanjutannya kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini