SELASA pagi 1 Nopember itu, Jakarta terasa sejuk. Sebab Senin
sore kemarinnya. hujan cukup lebat mengguyur kota. Tapi suasana
di Pusat Perdagangan Senen Blok I dan II terasa panas. Karena
113 toko dan 193 los (seluruhnya terdapat 227 toko dan 760 los
di Blok I dan II), ternyata sudah kedapatan disegel, Penyegelnya
(dilakukan Senin malam) adalah Badan Pengelolaan Pusat
Perdagangan Senen (BPPPS) diwakili Nugroho dan Suparto dari
Badan Keamanan setempat.
Para pemilik dan pelayan toko atau los yang disegel tentu jadi
bingung tak bisa membuka toko/losnya. Yang bisa mereka perbuat
hanyalah bergerombol atau duduk-duduk santai di ubin bersama
sesama kawannya. Ian sikap serupa tak cuma dilakukan oleh yang
terkena segel, tapi juga pedagang-pedagang Pasar Senen lainnya,
hingga nyaris secara menyeluruh. "Tadinya mau buka, tapi ada
yang teriak sembari mendekati toko saya: " . . . hooo'. Ngeri.
Mendingan nggak buka," tutur pemilik toko pakaian anak-anak dan
kosmetika Queen. Sementara yang lain menggerutu: "Habis mau apa,
sewa dinaikkan 2 kali lipat. Kalau nggak begini kita bisa
digencet terus."
Suasana makin bertambah panas. Hingga 15 polisi yang didatangkan
Komwil Jakarta Pusat dan menyerukan agar yang tak disegel
membuka toko/losnya, tak berhasil merubah keadaan. "Kalau ada
yang ngamuk, polisi segitu bisa kewalahan," gerutu seseorag. Dan
tatkala pemilik toko Santoso sekitar jam 3. sore mabuk karena
kebanyakan minum minuman keras, 6 orang polisi cuma
berkerurnunsiap siaga.
15 Desember
Sampai siang hari belum jelas benar apa yang jadi alasan
penyegelan. Sebab kertas segel berupa stensilan di atas secarik
kertas yang ditempel di kunci-kunci toko/los tak menyebutkannya.
Tapi para pedaang dan pemilik toko/ los yang ditanyai mengakui
bahwa mereka enggan membayar sewa dan biaya administrasi yang
terasa tidak wajar. Tapi tatkala pada siang hari itu persoalan
penyegelan tersebut sampai ke Operasi Tertib Pusat, semua pihak
sepakat untuk membuka kembali toko/los di Blok I dan II yang
pernah dibakar dalam peristiwa 15 Januari 1974 yang lalu.
"Hasil pertemuan dengan Opstib memang memutuskan buka kembali
dengan ketentuan harus membayar sewa dan biaya administrasi yang
telah disepakati. Batas waktu sampai 15 Desember 1977," tutur
Hertog Sungkono SH, Wakil Badan Pengelola Pusat Perdagangan
Senen di kantornya di Gedung Jaya, Jalan Tharnrin. "Kalau tak
juga mau bayar, lapor saja pada Opstib," begitu Hertog yang juga
pimpinan PT Pembangunan Jaya mengutip pesan Opstib.
Menurut Hertog meski alasan penyegelan tak disebutkan, tindakan
itu sudah merupakan konsekwensi dari pasal 7 surat perjanjian
sewa-menyewa. Yakni, "segala pelanggaran atas
peraturan-peraturan atau penetapan-penetapan menjadi tanggungan
dan risiko pihak penyewa yang mengakibatkan dengan sendirinya
surat perjanjian itu menjadi batal tanpa diperlukan pembatalan
dari Hakim/Pengadilan." "Tindakan yang dirnaksud kan
macam-macam," ucap Herjog seraya menunjuk tindakan penyegelan
tadi.
Sisa masa kontrak yang belum dilunasi apakah dianggap hilang
begitu saja? "Memang begitu, tukas Hertog, "sebab sudah menjadi
perjanjian antara penyewa.dan pembeli." Seoran penyewa yang
sudah mengontrak dari tahun 1966 hingga 1976 (10 tahun) dan
telah melunasi kewajibamlya, maka sisa kontraknya tinggal 2
tahun lagi karena kebakaran pada peristiwa 15 Januari ]974.
Menurut perjanjian sisa 2 tahun itu dengan sendirinya hangus dan
harus membuat perjanjian baru, mulai tahun pembayaran 1974
hingga 1984. Tapi selama masa 2 tahun yang hangus itu,
pengontrak tak diwajibkan membayar bunga (istilah PT Pembangunan
Jaya uang administrasi) yang mestinya 12%, tapi hanya dikenakan
6%. Menurut Hertog kewajiban membayar bunga 6% itu adalah
karena pembangunan kembali Pasar Senen (setelah terbakar 1974
itu) memakai uang pinjaman bank sebanyak Rp 800 juta - dari
biaya seluruhnya Rp 2,1 milyar, sisanya dibantu pemerintah.
Nani Razak
Bunga itu diakui Hertog memang terasa berat, sebab dapat
melebihi uang sewa. Toko Malabar misalnya harus membayar bunga
(uang administrasi) sebanyak lebih dari Rp 5« juta, padahal
sewanya hanya sekitar Rp 5,1 juta. Karena itu Hertog menasehati
"lunasilah sekaligus 10 tahun, jangan tahun per tahun, untuk
menghindari pembayaran bunga." Tapi pengacara ani Razak SH yang
diserahi para anggota Perdak (Persatuan Pedagang Kecil Ekonomi
Lemah Pusat Perdagangan Senen) untuk mewakili mereka, buru-buru
menjawab Hertog: "Bukan pedagang enggak mau bayar,. tapi
perinciannya yang enggak jelas." Menurut Nani, yang bernama
biaya administrasi mestinya tidak boleh lebih dari 1%.
Hertog Sungkono menolak alasan bahwa perdagangan sedang lesu,
khususnya di Pasar Senen. Ia mengatakan punya bukti bahwa banyak
pedagang pasar itu yang menyewakan toko/kiosnya kepada orang
lain dengan sewa 4 - 5 kali lipat. "Keterlaluan dan lucunya
mereka berteriak-teriak minta bebas bunga." Ia
menyesalkan-pengacara Nani Razak. "Nani Razak belum mempelajari
isi kontrak," ucap Hertog.
Hampir bersamaan dengan keputusan Opstib agar para pedagang
membuka kembali toko mereka, Gubernur DKI Tjokropranolo
membenarkan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh BPPPS dalam
bentuk penyegelan itu. Melalui Kepala Humas DKI. B. Harahap,
menurut gubernur penyegelan itu sesuai dengan isi kontrak yang
dibuat sendiri oleh para pedagang dengan pihak BPPPS, pernyataan
ini dikeluarkan Gubernur Tjokropranolo sesaat setelah menerima
penjelasan dari Eric Sola SH, pimpinan BPPPS.
Sementara itu para pedagang di Senen - sebagian besar 'non-pri'
bersikap menunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini