Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kapakan Pukat Harimau

Menyusul peristiwa dibunuhnya a seng, seorang nakhoda pukat harimau oleh nelayan tradisional, seorang nelayan tradisional telah dibunuh oleh nelayan pukat harimau.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAIN Cilacap, lain lagi di Asahan. Jika di pantai selatan Jawa Tengah bulan Oktober lalu para nelayan tradisionil menyerang pukat-pukat harimau (trawl) (TEMPO, 5 Nopember 1977) di Asahan sebaliknya. Peristiwanya sendiri hampir berbarengan. Terjadinya di perairan pantai Sialang Buah, Asahan 14 Oktober sore. Waktu itu Djarkasih. Buyung, S. Pangaribuan dan Zakaria sedang menyebar jaring menangkap udang, 1 mil dari pantai perairan Sialang Buah. Ketika ke-4 nelayan itu sedang asyik mengumpulkan rezeki, tiba-tiba 3 buah kapal pukat harimau muncul dari arah timur untuk menyebarkan jaring-jaring di sekitar sampan-sampan nelayan-nelayan tradisionil tadi. Seorang dari nelayan tradisionil memperingatkan bahwa pukat-pukat harimau itu sudah melanggar batas daerah operasi. Peringatan itu tak diacuhkan, malahan perang mulut kemudian terjadi. Tapi tak lama kemudian salah sebuah pukat harimau tiba-tiba memutar hal-hal dan menabrak salah sebuah sampai nelayan tradisionil. Sampan pecah. Penumpangnya tercebur. Tak hanya sampai di situ. Pukat-pukat harimau yang lain berbuat serupa pula terhadap sampan-sampan lainnya. Setelah penumpang-penumpang sampai tumpah di air, para penumpang pukat harimau mulai menyerang mereka dengan kapak, botol, ganeu, batu, bahkan bungkah-bungkah es batu. Akibatnya cepat terlihat: Djarkasih mati seketika terkena kapak keningnya, sementara teman-temannya luka-luka. Namun perkelahian tak seimbang belum selesai. Ketika M. Dahlan, Kepala Kampung logak Besar (tak jauh dari sana) bersama beberapa orang lainnya datang hendak melerai, mereka ini juga terkena sasaran. Mereka juga mengalami luka-luka. Begitu melihat korban-korban sudah tak berdaya, ke-3 pukat harimau adi bergegas lari. Entah ke mana, tapi sampai sekarang belum diketahui jejak maupun tanda pengenalnya. Karena ketika kejadian itu berlangsung, nomor-nomor selarnya sengaja ditutupi dengan karung-karung. Dibeking Yayasan Kejadian itu bukanlah untuk pertama kalinya di kawasan perairan cana. Pengadilan Negeri Tanjung Balai (Asahan) sendiri sekarang sibuk mengadili S orang nelayan tradisionil yang dituduh membunuh Wie Kian Weng alias Aseng nakhoda sebuah pukat harimau belum lama ini. Menurut Hasbul Dachlan, bendallara dan anggota pengurus Harian HSNI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Cabang Deli Serdang, belakangan ini setidaknya terjadi 8 kali insiden serupa itu. Semua itu kata Hasbul, selalu dilaporkan kepada Kalnla Tanjung Balai, tapi tak pernah digubris. Bahkan pengurus HSNI itu menuduh, pukat-pukat harimau itu dibeking oleh sebuah yayasan milik instansi resmi di kawasan itu. "Kami kekurangan tenaga personil, untuk kawasan Deli Serdang ini hanya ada 4 orang dan 1 but," begitu Hasbul mengulangi ucapan seorang petugas Kamla di sana. Padahal daerah Selat Malaka itu terkenal sebagai perairan yan paling banyak dilayari pukat-pukat harimau. Hal itu diakui Dirjen Perikanan, Imam Sardjono. "Terpusatnya armada trawl di Selat Malaka sudan tentu tidak sehat," ucap Dirjen itu, sebab justru konsentrasi terbesar nelayan tradisionil "berada di pantai Sumatera Utara, pantai utara Jawa dan Cilacap." Memberi keterangan khusus kepada TEMPO sehubungan dengan peristiwa Cilacap, Imam Sardjono menyayangkan bahwa kecepatan perumbuhan armada trawl belum bisa diimbangi kecepatan pengaturan operasinya. Sehingga seperti terjadi di Cilacap, trawl yang seharusnya beroperasi di Bagan Siapi-api, bisa nyelonong ke perairan Cilacap. Pukat-pukat harimau yang beroperasi di sesuatu daerah perairan mempunyai tanda pengenal melalui warna kapalnya. Untuk perairan Riau misalnya berwarna hijau tua, sedang trawl-trawl daerah Cilacap berwarna merah tua. Menurut Imam Sardjono, jika terjadi trawl Riau sampai beroperasi di Cilacap ini menunjukkan bahwa di perairan Selat Malaka itu sudah terlalu banyak pukat harimau. Sayangnya, jika terjadi bentrokan pisik atau pelanggaran pihak Perikanan tak dapat trut menyelesaikan. "Dirjen tak mempunyai wewenang polisionil. Untuk melakukan pengawasan diserahkan kepada keamanan setempat?" kata Sardjono. Untuk inipun diakuinya, Angkatan Laut tak cukup armada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus