Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANGUNAN dua lantai berwarna merah muda itu terletak di Gang Sembilan, Kampung Petak Kodok, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora. Penampakan rumah yang berada 40 meter dari mulut gang ini tidak berbeda dengan ratusan rumah lain di salah satu kawasan kumuh di Jakarta Barat itu.
Aroma tidak sedap dari saluran air yang mampet karena dipenuhi sampah dan limbah rumah tangga langsung menyeruak ketika Tempo sampai di sana. Deretan rumah berdempetan menyisakan gang selebar dua meter yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua.
Di rumah ini, Alex Usman lahir dan dibesarkan. Mantan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat yang tersangkut perkara korupsi anggaran siluman di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2014 itu belum lama pindah dari sana. "Sekitar dua tahun lalu dia pindah," kata Tini, seorang tetangga Alex, Kamis pekan lalu.
Ayah Alex, Lili Duldjaya, adalah pensiunan polisi yang membuka usaha penjualan air bersih. Bisnis itu diambil alih Alex begitu ayahnya meninggal pada 2003. Setelah pindah, Alex jarang menengok rumah yang kini dihuni seorang adiknya itu. "Dia sekarang sudah sukses. Rumahnya banyak," ujar perempuan 42 tahun itu.
Dari kawasan kumuh, Alex hijrah ke kawasan perumahan di Duri Kepa, Jakarta Barat. Di sana, Alex membeli empat rumah sekaligus. Salah satunya terletak di Jalan Duri Kencana Nomor 15. Bangunan dua lantai seluas 400 meter persegi itu dua kali lebih besar dibandingkan dengan rumah sekitarnya. Seorang tetangga Alex mengatakan harga rumah termurah di kawasan itu sekitar Rp 2 miliar. Selain punya banyak rumah, Alex memiliki beberapa unit apartemen di daerah Jakarta Barat.
Koleksi mobil Alex juga terbilang banyak. Di halaman rumahnya, Tempo melihat lima mobil terparkir: Toyota Yaris, Mitsubishi Pajero, Toyota Kijang, Mercedes-Benz, dan Honda HR-V. Anggota Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) DKI Jakarta ini juga memiliki Rubicon dan Ferrari. Seorang teman dekatnya kepada Tempo mengaku pernah diajak berkeliling Jakarta oleh Alex dengan Rubicon. "Mobil itu sering di bawa ke kantor," katanya.
Lelaki 51 tahun itu juga memiliki beberapa usaha yang bergerak di bisnis perhotelan, kuliner, dan media. Pada akhir 2013, Alex membeli PT Surya Kota Jaya, penerbit Harian Terbit, seharga Rp 3,5 miliar dari Pos Kota Group. Dalam daftar redaksi koran sore itu, Rina Aditya Sartika, anak Alex, tercatat sebagai pemegang saham.
Pemimpin Redaksi Harian Terbit Herman Budhi menolak medianya dikaitkan dengan Alex. "Enggak ada kaitan Alex dengan Harian Terbit," ujarnya. Adapun Alex enggan menjelaskan soal kekayaannya yang melonjak tajam itu. "No comment," katanya lewat sambungan telepon, Rabu pekan lalu.
KEHIDUPANNYA berubah drastis setelah dia diangkat sebagai Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat pada 2008. Jabatan strategis tersebut ditempati Alex, kabarnya, berkat sokongan Margani Mustar, yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pendidikan. Margani menyangkal kabar bahwa pengangkatan itu karena ada faktor kedekatan. "Ketika itu, saya juga banyak mengangkat pejabat lain," ujarnya. Sebagai pejabat eselon IV, Alex mendapat gaji pokok Rp 4,1 juta setiap bulan di luar berbagai tunjangan.
Seorang teman dekat Alex mengakui kehidupan Alex berubah drastis begitu diangkat menjadi kepala seksi. Pada 2005, saat masih anggota staf, dia mengingat Alex selalu menggunakan kendaraan umum untuk pergi ke kantor. "Saya sudah naik mobil, dia pakai ojek," katanya.
Menurut dia, berlimpahnya kekayaan Alex karena kebagian mengurus berbagai pengadaan dari APBD DKI. Dengan posisi itu, Alex diangkat sebagai pejabat pembuat komitmen atau ketua panitia lelang setiap kali ada pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas Pendidikan Jakarta Barat. "Alex juga memiliki kewenangan mengusulkan pelbagai pengadaan barang dan jasa," ujarnya.
Jejak Alex terkuak dalam dugaan korupsi pengadaan alat penyimpan daya listrik-uninterruptible power supply (UPS)-dalam APBD Perubahan 2014 yang sedang disidik Kepolisian Daerah Metro Jaya. Alex, yang dalam pengadaan itu menjadi pejabat pembuat komitmen, telah diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus sebagai saksi.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menduga ada penggelembungan harga UPS sebesar Rp 5,8 miliar per unit pada 2014. Menurut informasi yang diperolehnya, harga satu UPS dengan kapasitas 40 kilovolt ampere hanya sekitar Rp 100 juta.
Seorang mantan anggota DPRD DKI Jakarta mengatakan Alex tidak sendirian dalam memainkan anggaran. Dalam kasus pengadaan UPS untuk 25 sekolah menengah atas di Jakarta Barat senilai Rp 125 miliar, dia diduga berkolaborasi dengan Fahmi Zulfikar Hasibuan, anggota Komisi Pendidikan DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Hanura. Kebetulan, Alex dan Fahmi sudah berteman sejak 2003 karena sama-sama aktif di FKPPI.
Fahmi membenarkan kabar bahwa ia sudah lama berteman dengan Alex. Namun dia menyangkal terlibat dalam pengadaan UPS. "Saya enggak tahu, enggak mengerti soal itu," katanya.
Selain dengan Fahmi, Alex disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra, M. Taufik. Seorang politikus partai yang diketuai Prabowo Subianto itu mengatakan Taufik-lah yang "membantu" mengantarkan Rina Aditya Sartika menjadi anggota DPRD DKI Jakarta. "Sebagai Ketua DPD DKI Jakarta, dia memiliki kewenangan dalam penempatan nomor urut dan pelimpahan suara sisa," ujarnya.
Namun Taufik menyangkal soal itu. Menurut dia, proses pencalonan Rina sebagai anggota DPRD sesuai dengan prosedur lazim. "Dia mendaftar seperti calon-calon lain," katanya.
Selain dalam soal UPS, Alex diduga terlibat dalam kasus pengadaan enam buku yang menyeret Rina Aditya. Menurut seorang pejabat pemerintahan DKI Jakarta, Rina membuat enam buku itu untuk digunakan sebagai alat kampanyenya. Namun belakangan diketahui buku-buku itu dimasukkan ke APBD Perubahan 2014. Judul keenam buku itu adalah Dari Kampoeng hingga Metropolitan, Batavia Era Kolonial hingga Jokowi, Jakarta Dulu Rawa Sekarang Pencakar Langit, Dari Delman Menuju MRT, Perempuan Betawi Menyusui hingga Tokoh, dan Urban Batavia Urban Jakarta.
Dari dokumen usulan pengadaan yang salinannya diperoleh Tempo, biaya produksi keenam buku itu hanya Rp 390 juta. Sedangkan dalam APBD Perubahan 2014, satu buku dibanderol sebesar Rp 500 juta-kemudian dibagikan ke sekolah-sekolah di Jakarta Barat. Artinya, ada kerugian negara sekitar Rp 3 miliar. Pejabat tersebut mengaku tidak menyangka pendanaan keenam buku itu memakai APBD. "Baru tahu begitu buku dibagikan ke sekolah," ujarnya.
Dalam pengadaan buku itu, Fahmi juga disebut-sebut memiliki peran mendorong agar bisa mendapat anggaran. Namun lagi-lagi Fahmi menyangkalnya. "Saya heran kenapa disebut-sebut terus. Saya enggak tahu," katanya. Adapun Rina hingga tulisan ini diturunkan belum bisa dimintai tanggapan. Dia tidak masuk kantor dalam sepekan kemarin.
Alex menolak permohonan wawancara yang diajukan Tempo. "Saya enggak mau berkomentar dulu," ujarnya. Sebelumnya, Alex berjanji kooperatif dengan aparat hukum. "Saya akan taat dan mengikuti semua prosedur yang telah ditentukan polisi."
Erwan Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo