Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESIBUKAN Yanto Santosa bertambah dalam tiga pekan terakhir. Sejak Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi soal sawit pada 4 April lalu, ahli konservasi dan keanekaragaman hayati di Institut Pertanian Bogor ini harus menjelaskan masalah itu lewat lokakarya ataupun seminar. "Saya harus menjelaskan ke sana-sini," kata Yanto, Rabu pekan lalu.
Resolusi Parlemen Eropa terhadap dokumen "Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests" itu memicu pro-kontra di kalangan akademikus di Indonesia. Dokumen setebal 39 halaman itu disusun oleh Katerina Konecna (Republik Cek) dari Komite Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, dan Keamanan Pangan, yang merupakan bagian dari Parlemen Eropa.
Dokumen itu menyebutkan telah terjadi pelanggaran oleh produsen minyak sawit dunia berupa deforestasi, penggunaan pekerja anak, dan konflik lahan antara masyarakat lokal serta adat dan pemegang konsesi perkebunan. Dokumen itu sejatinya bersifat rekomendasi, tapi didukung mayoritas anggota parlemen.
Sebanyak 640 anggota parlemen setuju dengan resolusi, 18 menolak, dan 28 abstain. Salah satu kesepakatan yang diambil adalah mendesak diberlakukannya skema sertifikasi tunggal untuk sawit yang masuk ke pasar Uni Eropa. Mereka juga meminta penghentian secara bertahap penggunaan minyak nabati itu hingga 2020.
Resolusi ini jelas memukul Indonesia, yang bersama Malaysia menguasai 85-90 persen pasar minyak sawit dunia. "Ini jelas menyinggung kedaulatan Indonesia karena menuduh dan mengajak pihak lain memboikot investasi sawit," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam keterangan tertulisnya, 7 April lalu.
Kekecewaan juga dilontarkan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Fadhil Hasan. Menurut dia, paparan Parlemen Eropa itu tidak berdasarkan fakta dan tak berimbang. "Perlu bukti akurat dan ilmiah dalam memberikan penjelasan," katanya. Argumentasi ilmiah itulah yang dicoba disampaikan Yanto dan sejumlah akademikus yang menolak resolusi tersebut.
Yanto pun menjelaskan hasil penelitiannya tahun lalu yang dibiayai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, lembaga di bawah Kementerian Keuangan, dalam berbagai kesempatan. Bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB, riset dilakukan di 8 perkebunan sawit besar dan 16 kebun sawit swadaya di 4 kabupaten di Provinsi Riau, yakni Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan, dan Siak.
Menurut guru besar Fakultas Kehutanan IPB ini, tim peneliti menganalisis izin perusahaan dengan menelisik sejarah status lahan. Hasilnya, "Status hukum kebun sawit bukan penyebab terjadinya deforestasi," kata Yanto, yang memaparkan hasil temuannya itu dalam sebuah diskusi di Jakarta, 31 Maret lalu.
Selain Yanto, ikut berbicara sejumlah akademikus yang membantah tuduhan Parlemen Eropa. Mereka antara lain Supiandi Sabiham, guru besar Fakultas Pertanian IPB; Chairil Anwar Siregar, pakar hidrologi dan konservasi lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; serta Petrus Gunarso dari Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia.
Namun tak semua akademikus sepakat dengan hasil riset Yanto dan kawan-kawan itu. Penolakan datang dari sejumlah akademikus dan aktivis yang tergabung dalam Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Mereka tak sepakat dengan argumentasi yang dibeberkan Yanto. Dengan mengutip data meta-analisis Busch dan Ferretti-Gallon, mereka berpendapat deforestasi terkait dengan harga komoditas pertanian yang menarik, termasuk kelapa sawit.
Menurut Togu Manurung, Reader on Forestry Issues Thamrin School, fakta di lapangan menunjukkan hutan dirusak, terjadi deforestasi, dan ekosistem hutan tropika basah Indonesia dihancurkan. "Keanekaragaman hayati bernilai tinggi dan jasa lingkungan ekosistem tropika basah menjadi hilang karena land clearing digantikan dengan tanaman monokultur kelapa sawit," ujar Togu, yang juga dosen Fakultas Kehutanan IPB.
Togu menilai ada tiga kelemahan dalam riset Yanto. Pertama, masih menggunakan deforestasi dalam pengertian administratif, bukan pengertian ekologis. Lalu penggunaan data hanya dari beberapa kabupaten di Provinsi Riau, seharusnya seluruh wilayah Indonesia. Yanto juga hanya melihat perkebunan kelapa sawit yang memiliki izin usaha perkebunan dan hak guna usaha. "Semestinya juga kondisi aktual perkebunan kelapa sawit, baik yang legal maupun ilegal," katanya.
Herry Purnomo, guru besar Fakultas Kehutanan IPB, yang juga pernah melakukan riset di Riau bersama Center for International Forestry Research (Cifor), memaparkan hasil penelitian yang berbeda dengan riset Yanto. Herry justru menemukan terjadi deforestasi yang dilakukan secara legal dan ilegal untuk digunakan menjadi kebun sawit. "Perkebunan ini ada yang dimiliki pejabat, politikus, aparat keamanan, akademikus, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat," tuturnya.
Saat melakukan penelitian, Herry dan tim menemukan kelebihan kapasitas dari pabrik dan kilang kelapa sawit. Ada perusahaan besar dan kecil yang membangun pabrik, tapi tidak memiliki kebun sawit. Akibatnya, mereka membeli tandan buah sawit dari kebun ilegal milik warga. "Namun ada pula pabrik milik perusahaan besar yang menolak sawit dari kebun ilegal," ujar Herry, yang juga aktif di Thamrin School.
Herry meyakini perkebunan sawit adalah penggerak langsung deforestasi. Menurut dia, akar masalah ada pada tata kelola yang buruk serta kegagalan pasar dalam menghargai barang dan jasa ekosistem hutan. Dia melihat transisi hutan menjadi kebun sawit harus melewati proses dari hutan, degradasi hutan, deforestasi, dan pengembangan sawit. "Transisi ini bisa terjadi secara legal dan ilegal," ucapnya. Tata kelola yang buruk justru percepatan proses transisi tersebut.
Penolakan terhadap hasil riset Yanto juga dikemukakan Sonny Mumbunan dari Reader on Behavioral and Ecological Economics Thamrin School. Menurut dia, riset tersebut tidak masuk ke akar masalah relasi antara perkebunan sawit dan deforestasi. "Standar ilmiahnya tidak tinggi. Ini berbeda dengan riset yang digunakan Parlemen Eropa," kata Sonny, yang menjadi peneliti di Research Centre for Climate Change Universitas Indonesia.
Sedangkan Togu menuding hasil riset yang dilakukan Yanto bias karena didanai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dalam melakukan riset di empat kabupaten Provinsi Riau itu, Yanto dan timnya mendapat kucuran dana sebesar Rp 1 miliar.
Menjawab berbagai tanggapan negatif tersebut, Yanto mengatakan Riau dipilih sebagai lokasi penelitian lantaran merupakan salah satu provinsi terluas yang memiliki kebun sawit. Kebun-kebun itu dipilih secara acak dan harus memiliki data dari satelit Landsat yang lengkap.
"Riset ini bukan sampling dan tidak mewakili seluruh kebun sawit di Riau, apalagi di Indonesia," ujarnya. Yanto tak membantah bila penelitiannya dibiayai BPDPKS. "Tapi tak ada yang mendikte atau menentukan penelitian yang saya lakukan. Silakan cek saja."
Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo