Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kolaborasi Dua Raksasa Yang Sia-sia

Maestro Zhang Yimou Seperti Pelanduk Di Antara Dua Raksasa: Hasilnya Sebuah Film Dengan Pretense Sejarah Tembok Raksasa Cina Bercita Rasa Hollywood.

9 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zhang Yimou, Hollywood, dan mitos tembok raksasa.

Mengapa tidak? Itu yang muncul dari kepala Thomas Tull, bos Legendary Entertainment, perusahaan film kerja sama Hollywood dan Beijing. Maka hasilnya adalah mengirim Matt Damon sebagai pahlawan yang menyelamatkan sebuah kerajaan fiktif di masa lalu. Tembok Raksasa Cina yang sudah dibangun sejak berabad-abad silam itu memang melahirkan puluhan cerita legenda. Dan inilah salah satu legenda versi para pemilik mesin hitung uang Hollywood itu.

Syahdan, setiap 60 tahun, Kekaisaran akan selalu diserbu oleh ribuan monster pimpinan Sang Ratu. Monster itu disebut Taotie, spesies berbentuk seperti dinosaurus pemakan manusia. Mereka bukan cuma berlari-lari dan menganga seperti dalam film-film lain yang berfantasi tentang dinosaurus, tapi Taotie luar biasa agresif berjumlah jutaan; memiliki kemampuan strategis untuk menyerang. Lihat saja, mereka tahu bagaimana dan kapan menyerbu tembok raksasa kerajaan; mereka tahu bagaimana melindungi dan melayani Sang Ratu yang tak kunjung kenyang mengganyang manusia. Tentu saja Sang Kaisar yang masih kecil, yang mungkin diinspirasikan oleh tokoh nyata Kaisar Pu Yi, memiliki pemimpin militer dan ahli strategi peperangan seperti Wang (Andy Lau) dan Komandan Lin Mae (Jiang Tian), yang luar biasa cekatan dan prima, tapi tetap saja serangan monster itu mengancam kepunahan seluruh kekaisaran dan rakyatnya.

Muncul William Garin (Matt Damon) dan kawan-kawan, antara lain Pero Tovar (Pedro Pascal). Mereka prajurit bayaran yang datang ke Timur untuk mencari ¡±bubuk hitam¡± ajaib yang kelak kita kenal sebagai bahan peledak. Meski diawali dengan saling curiga antara kelompok asing dan tentara kekaisaran, toh akhirnya ketika terjadi serangan ribuan monster, Garin dan Tovar ikut membantu mereka menghalau binatang keji itu. Bayangkan saja serangan Taotie itu seperti jutaan rayap yang menggerogoti rak kayu Anda, tapi ini dalam ukuran gigantik dan yang digerogoti adalah tubuh Anda. Menjijikkan dan mengerikan.

Dari sisi cerita tentu saja kita tak bisa mengharapkan apa-apa. Ini ide cerita Hollywood: manusia versus monster, yang kemudian dicangkokkan ke masa kekaisaran Cina. Apakah mereka memang butuh seorang maestro seperti Zhang Yimou untuk film seperti ini? Tidak. Jika mereka ingin sekadar blockbuster dengan latar belakang kisah legenda Tembok Raksasa, tak perlu menyeret-nyeret sineas sekelas Zhang Yimou, karena toh plot cerita sama saja seperti kisah monster versus manusia buatan Hollywood. Bedanya ini ditambah "rasa Timur" dan komandan perempuan cantik serta keahlian pasukan perempuan yang mampu bertempur sambil melayang-layang; meski toh jagoannya tetap si pemanah kulit putih, William Garin.

Plot cerita tidak ruwet. Sinematografi penuh cita rasa Zhang Yimou yang selalu mementingkan warna, gerak, dan format yang cantik bahkan dalam bentuk kolosal seperti film Curse of the Golden Flower (2006). Bahkan sebelum adegan perang yang keji dan menjijikkan itu-jutaan binatang buatan CGI mempersembahkan manusia untuk dilahap oleh Sang Ratu-Zhang Yimou masih memerlukan genderang perang yang ditabuh dan ratusan bendera yang dilambaikan.

Persoalan berikut yang diramaikan adalah: apakah film ini sebuah upaya whitewashing, ini sebuah istilah dalam industri film ketika film yang seharusnya menampilkan tokoh kulit berwarna diperankan oleh aktor kulit putih (seperti film The King and I, raja Thailand Mongkut diperankan Yul Brynner; atau film Lawrence of Arabia, Pangeran Faisal diperankan oleh aktor kulit putih Alec Guinness). Dalam hal ini, tokoh William Garin sejak awal digambarkan sebagai orang asing yang meluncur masuk ke Cina, karena cerita ini adalah produk dari perkawinan industri film Hollywood dan Tiongkok. Ini sama seperti film The Last Samurai (Edward Zwick, 2003) ketika tokoh Tom Cruise masuk ke sebuah kampung di Jepang menjadi pahlawan sekaligus mengalami pencerahan. Jadi tak ada whitewashing dalam film ini. Yang ada hanyalah cerita klise dari produksi raksasa. Dan kesia-siaan menggunakan Zhang Yimou dan Andy Lau dalam film ini. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus