Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bukan Dialek, melainkan Bahasa Daerah

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cinta Hasan Ali pada bahasa Osing bukan hanya dituangkan dalam Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia. Ia melawan arus, bersilang pendapat dengan para pakar bahasa Jawa. Menurut Hasan, bahasa Osing adalah bahasa daerah yang berkembang di tengah etnis Osing di Banyuwangi. Sedangkan para pakar bahasa Jawa yakin bahasa Osing tak lebih dari dialek saja. Menurut mereka, bahasa Osing adalah bahasa Jawa berdialek Osing atau dialek Banyuwangi.

Hasan tak hanya berperang wacana di media massa. Dalam Kongres Bahasa Jawa di Batu, Malang, tahun 1996, ia tampil sebagai pembicara. Di depan ratusan pakar bahasa Jawa, ia menegaskan bahwa bahasa Osing adalah bahasa daerah dan bukan sekadar dialek. Kesimpulan ini berangkat dari penelitian Prof. Dr. Suparman Heru Santosa. Setelah melewati uji rumus dan teori linguistik, bahasa Osing dinyatakan sebagai dialek dari bahasa Jawa Kuno. "Artinya, sama dengan bahasa Jawa Baru, Madura, Sunda, sebagai turunan dari bahasa Jawa Kuno," katanya.

Budayawan Banyuwangi ini tak menampik adanya kedekatan ungkapan antara bahasa Osing dan bahasa Jawa. Misalnya kosakata "sekali lagi". Masyarakat Osing menyebutnya "maning" dan orang Jawa bilang "maneh". Contoh lain kalimat "ada apa?". Dalam bahasa Jawa biasa diungkapkan "ono opo?". Sedangkan dalam bahasa Osing diungkapkan dengan "ono paran?". Adanya kesamaan leksikon dan pinjam-meminjam istilah ini, "Sesuatu yang lumrah dan wajar," kata pria berdarah Madura, Pakistan, dan Osing ini.

Novi Anoegrajekti, dosen Fakultas Sastra Universitas Jember, dalam pengantar novel Kerudung Santet Gandrung, punya pendapat menarik tentang bahasa Osing. Masyarakat Osing adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan kecil di ujung timur pulau Jawa yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Penyerbuan terus-menerus oleh Majapahit membuat masyarakat Osing cenderung defensif, mengisolasi diri dari pengaruh luar. Dan itulah potensi oposisi terhadap orang-orang Jawa Kulon.

Sikap oposisi ini diwujudkan dalam bentuk sosio-kultural. Masyarakat Osing enggan mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa. Mereka menegaskan identitas diri yang berbeda. Salah satunya, "Menggunakan bahasa Osing," kata Novi. Selain itu, muncul kesenian gandrung yang sebenarnya mirip tayub dan ronggeng di Jawa Tengah. "Ini contoh mereka menegaskan identitas dirinya," katanya.

Istilah Osing sendiri berasal dari kata sing atau hing, yang berarti "tidak". Menurut Novi, penduduk "asli" Banyuwangi yang menolak hidup bersama pendatang dari luar, sikap defensif ini buah dari trauma psikologi penyerbuan orang-orang Majapahit ke Kerajaan Blambangan. Penegasan identitas diri itu melahirkan bahasa, tradisi, dan pranata sosial yang berbeda dengan masyarakat Jawa kebanyakan.

Bahasa Osing pernah mencapai masa kejayaan ketika Prabu Tawang Alun (1655-1691) menjadi penguasa Kerajaan Blambangan. Pada 1743, Blambangan harus berada di ketiak VOC gara-gara Pakubuwono II menyerahkan Jawa Bagian Timur kepada VOC. Untuk memperkuat argumentasi ini, Hasan Ali menyodorkan cerita tentang Sri Tanjung, Sudamala, dan Sang Satyawan. "Tapi, setelah masa itu, bahasa Osing mengalami kemunduran," kata Hasan, yang telah menulis buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using sebagai kurikulum sekolah.

Kemunduran bahasa Osing makin terasa karena tak ada lagi peninggalan berupa karya tulis. Keberadaannya hanya menjadi bahasa lisan dalam pergaulan sehari-hari. Padahal di sanalah muncul aneka sentimen diskriminatif yang berakhir dengan pengukuhan Osing sebagai sosok kelas dua. Lihatlah pelesetan-pelesetan. Termasuk pelesetan kosakata Osing "kelendi kabare?" (apa kabar). Kata "kelendi" sering dipelesetkan menjadi "ngelek kendi" (menelan kendi).

Bisa jadi rasa malu itu membuat masyarakat Osing sendiri beralih ke bahasa Jawa. Apalagi, sebelum Hasan Ali memperjuangkannya masuk kurikulum sekolah, nyaris tak ada sekolah yang mengajarkan bahasa Osing. Kondisi rawan ini membuat Hasan tergugah. "Kalau dibiarkan, dalam satu abad bahasa Osing akan punah," katanya. Senyampang belum parah dan punah, tak salah jika Hasan bercapek-capek mewariskan dokumentasi tertulis berupa kamus.

Arif Firmansyah, Mahbub Junaedi (Banyuwangi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus