Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tantangan itu terus mengusiknya. Berhari-hari Abdul Chaer, 63 tahun, menimbang-nimbang perkataan dari sang teman yang bekerja di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional. Kala itu, si teman datang menenteng kamus dialek Jakarta buah karya penulis Jerman, Hans Kahler, yang terbit pada 1966. "Masa, sih, kita harus menunggu dulu ada orang asing yang menyusun kamus Betawi," kata temannya menantang.
Mendengar itu, Chaerbegitu pria berdarah Betawi asli ini biasa disapasontak tertantang. Dan ia kian tersengat untuk mewujudkan tantangan temannya itu ketika seorang asing memintanya mengajarkan dialek Jakarta. "Saya ingin mengerti istilah seceng, noceng, gue, elo, dan sebagainya," tutur Chaer menirukan orang asing itu. "Saya kelabakan, tak bisa memenuhi permintaan itu," ujar pria kelahiran Jakarta, 8 November 1940, itu mengenang babak penting dalam perjalanan hidupnya sebagai penulis kamus Betawi.
Chaer mulai melangkah. Sebelum terlalu jauh, ia meminta masukan dari rekan-rekannya yang menguasai perkamusan. Karena benar-benar swadaya dan memang enggan menerima sponsor, ia berjalan sendirian, seadanya. Demi mengirit pengeluaran, misalnya, ia memakai kertas bekas yang halaman sebelahnya masih kosong untuk mencatat data. "Saya kumpulkan dan saya potong-potong sendiri selebar kartu pos," ujarnya.
Saking rajinnya mengumpulkan kertas-kertas bekas formulir, undangan, soal ujian, dan sebagainya, dosen bahasa Indonesia dan linguistik umum di Universitas Negeri Jakarta itu sempat diejek rekan-rekannya, "Mau dikiloin? Masa, sudah golongan III masih ngiloin kertas." Padahal, menurut Chaer, saat menyusun kamusnya dulu, Poerwadarminta (penulis Kamus Umum Bahasa Indonesia) menggunakan kartu pos sungguhan yang dibelinya dari kantor pos.
Karena dialek Jakarta belum memiliki ragam tulis, Chaer mengumpulkan data dengan mendengar percakapan orang-orang Betawi. Kapan dan di mana pun ia selalu menyimak percakapan merekaentah di bus kota, halte, pasar, ataupun warung. Memang ada sebagian yang ia peroleh dari ragam tulisan, seperti cerita Nyai Dasima karya S.M. Ardan, Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo, dan tulisan Firman Muntaco di berbagai media. Namun, tak banyak data yang diperoleh. Sebab, sebagian besar kata yang digunakan adalah kata-kata bahasa Indonesia yang di-Jakarta-kan dengan memberi awalan dan akhiran khas Jakarta.
Langkah Chaer tak hanya berhenti di situ. Selama proses pencarian data yang berlangsung sekitar satu tahun itu, ia tak hanya beredar di dalam kota. Ia menelusuri kampung-kampung pinggiran yang masih kental dengan dialek Betawinya. Sebut saja Tangerang, Depok, Cileungsi, Bekasi, Cibarusa, Cikarang. Dan selama perburuan kata-kata Betawi ke pinggiran Jakarta itu, ia kerap melintasi pematang sawah dan jalan berlumpur. Suatu hari, dalam perjalanannya dari Cibarusa ke Cikarang di Kabupaten Bekasi, ia tergelincir ke dalam sawah berlumpur. "Sial, semua data ikut tercebur dan tidak terbaca lagi," ayah dua anak buah perkawinannya dengan Hafsah Hoya itu mengenang.
Setiap kata yang didengarnya itu ia tulis pada kertas yang telah disiapkannya. Setelah itu, ia memberi makna dan contoh kalimatnya. Dalam pemberian makna, Chaer tak terlalu menemukan kendala berarti. Hampir semua kata Betawi hasil buruannya dapat dimaknai, termasuk lewat bantuan teman dan kerabatnya. Sedangkan dalam penulisan buku bertajuk Kamus Dialek Melayu Jakarta-Bahasa Indonesia yang terbit pertama kali pada 1976 itu, ia memilih subdialek Jatinegara. Alasannya, "Subdialek ini pengaruhnya paling luas, meski penuturnya tidak sebanyak subdialek Tanah Abang, Karet, dan Kebayoran," ujarnya menjelaskan.
Lain Abdul Chaer, lain pula pengalaman Bundari. Bundari, 38 tahun, terus diganggu lontaran sang ayah yang "memarahi" keponakannya suatu hari pada tahun 2001. Saat itu sang keponakan minta dibelikan mainan. Tapi permintaan itu tak dipenuhi. Keponakannya, yang berusia lima tahun, itu pun merajuk sembari mengentak-entakkan kakinya terus-menerus seolah tiada mau berhenti. Nah, waktu itulah ayah Bundari muncul seraya berkata, "Diem! Kenapa sih nih anak dari tadi kekejek aja?"
Bundari menyaksikan adegan tersebut, tapi pikirannya tertuju pada kata-kata yang disemprotkan ayahnya itu. Khususnya kata kekejek. Menurut Bundari, kata tersebut baru didengarnya saat itu. Padahal sejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga yang sehari-hari menggunakan bahasa Betawi. "Terus terang baru waktu itulah saya mendengar kata kekejek itu," kata pria Betawi asli yang lahir di Kampung Gandaria, Jakarta Selatan, pada 1966 itu.
Yang jelas, kejadian itu kemudian melecutnya untuk mengumpulkan kata-kata bahasa Betawi dan menyusunnya dalam sebuah kamus. Langkahnya dimulai dengan mengingat-ingat kembali kata-kata yang kerap digunakannya sehari-hari di lingkungan keluarganya. Di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan perusahaan properti, Bundari mencatat setiap kata yang diingatnya dalam sebuah buku kecil. Ia lalu memberi makna, mencari padanannya dalam bahasa Indonesia, dan membuat contoh kalimatnya. Dalam sehari, biasanya terkumpul tiga hingga lima kata Betawi. Setelah terkumpul sekitar sepuluh kata, barulah ia menyimpannya dalam komputer.
Perburuan kata-kata bahasa Betawi juga dilakukan Bundari dengan menyimak percakapan sanak-famili orang tuanya saat mereka berkumpul. Suatu hari, dari perbincangan para orang tua itu, ia menemukan kata Betawi yang benar-benar asing di telinganya: cengi. Kata itu terlontar dari encing-nya (pamannya) ketika berkisah tentang zaman penjajahan Jepang di Tanah Air. "Kalo nyiksa orang kite, tuh tentara Jepang cengi banget deh," kata sang encing. "Mereka lebih cengi ketimbang tentara Belande."
Bundari, yang asing dengan kata cengi, lantas menanyakan arti kata tersebut. Ternyata, baik encing maupun orang tuanya kesulitan memberi maknanya. Ia pun meminta para orang tua itu memberikan contohnya dalam kalimat lainnya. "Rupanya, cengi itu artinya kejam," ujarnya. "Jadi, maksud kalimat tadi, kalau menyiksa orang Indonesia, tentara Jepang itu kejam sekali," putra pasangan Hasan dan Muhayah (almarhumah) itu menjelaskan.
Cengi hanyalah satu di antara kata-kata Betawi yang baru ditemukannya. Menurut Bundari, masih banyak kata dalam bahasa Betawi yang kerap sulit menemukan makna dan konteksnya dalam kondisi sekarang. Misalnya kata belok (kotor) dan angon (gembala). Dulu, saat ia masih kecil di sekitar ru-mahnya di Gandaria, masih banyak sawah dan tegalan tempat kambing merumput. Sehingga, kalau ia bersama teman-temannya main di sawah sembari menggembalakan kambing, kakinya belok (kotor) penuh lumpur. "Sekarang kata belok itu terdengar asing karena sawah yang berlumpur telah berubah menjadi Mal Pondok Indah. Lalu, penggembala kambing sudah sulit ditemui di Jakarta," kata master of real estate (MRE) dari School of Property, Jakarta, itu.
Selama sekitar dua tahun, lajang yang punya hobi membaca dan menulis itu terus berburu kata-kata Betawi. Dan jerih payahnya itu akhirnya membuahkan hasil. Setelah gopoh-gapah mencari sokongan kiri-kanan, Bundari berhasil menerbitkan Kamus Bahasa Betawi-Indonesia (Dengan Contoh Kalimatnya). Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Agustus 2003, kamus setebal 170 halaman itu berisi sekitar 1.000 kata bahasa Betawi beserta contoh kalimatnya. "Sampai sekarang, saya masih terus mengumpulkan kata-kata bahasa Betawi untuk menambah kata yang ada dalam kamus itu," ujar pria yang juga menulis buku 101 Banyolan ala Betawi itu.
Begitulah. Yang pasti, baik Bundari maupun Abdul Chaer mengaku bangga bisa menyumbangkan sesuatu bagi tanah leluhurnyameski mungkin cuma secuil. Keduanya berharap, buah karyanya itu bermanfaat bagi mereka yang ingin mengetahui bahasa dan budaya Betawi. Apalagi saat ini bahasa Betawi seakan ada dan tiada. Dibilang ada, karena bahasa ini merupakan bahasa daerah yang sudah turun-temurun. Dibilang tiada, karena pengguna bahasa ini sudah mulai menyusut. "Sekarang kalau kita ngomong Betawi dibilang kayak pemain lenong."
Nurdin Kalim, Adek
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo