Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Lelaki yang Melahirkan Kamus

Mereka bekerja diam-diam. Mencatat, tanpa suara. Di belakangnya, bahasa yang terancam hapus dari muka bumi. Di hadapannya, keterbatasan modal dan sempitnya publikasi yang sekonyong-konyong bisa memadamkan semangat. Nun jauh di pulau-pulau terpencil, para penulis kamus itu mengais-ngais kata. Majalah ini mencoba merekam sebagian kecil kepahlawanan mereka. Tentu banyak yang tak tercatat. Tapi itulah dunia penting, teramat penting, yang jarang dikunjungi.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Talugai no tundulu Talu gouha nonggolu Talogia nonggohulu Doao ado Allah ado Rasul Mootoduwo notindaho nuru (sanjak kematian dalam bahasa Suwawa)

Ia datang untuk mendengar dialog orang-orang tua. Kata-kata itu, kata-kata dalam bahasa Suwawa, menggunakan banyak afiks dan tak memiliki vokal "e".

Ia, Mansoer Pateda, 64 tahun, seorang profesor linguistik, seorang yang tekun. Tiap-tiap hari ia menjalani ritual yang tak berubah. Pukul sepuluh malam, ia mengatur rencana esok hari: dari mengajar di kampus hingga bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya sudah membuat janji. Di luar itu, ia menghabiskan sisa waktunya menulis di rumahnya yang bercat putih dan dikelilingi tanaman bunga.

Hasilnya istimewa. Sebuah rutinitas yang melahirkan 30 buku mengenai tata bahasa, kaidah bahasa Gorontalo, dan kamus. Menarik sekali, dosen IKIP Gorontalo ini melakukan hal yang seakan-akan tidak berujung. Mansoer menyusun tiga kamus: kamus Gorontalo-Indonesia, Suwawa-Indonesia, dan Atinggola-Indonesia.

Bulan Agustus 1978, Mansoer dan istrinya, Yennie, mulai menggali bahasa Suwawa. Perlahan, kata demi kata. Membawa bolpoin dan kertas, ia berbelanja, menangkap kata-kata di pasar Suwawa. Ia rajin datang ke perjamuan adat dan mengunjungi acara pelantikan camat. Mansoer, sering bersama Yennie, mencatat dan memburu makna kata-kata Suwawa. Ia mewawancarai tokoh Suwawa dan mengundang para mahasiswa asal Suwawa tinggal di rumahnya. Makan gratis, tidur gratis. Tapi, dari mereka, ia mengamati dan memahami bagaimana dialog keseharian dilakukan dalam bahasa itu.

Tujuh tahun berselang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Kamus Bahasa Suwawa-Indonesia. Tapi itu bukan titik akhir. Hingga sekarang ia tetap mencatat kata-kata Suwawa, kata-kata yang tak sempat masuk dalam kamus setebal 345 halaman itu. Ada 2.000 eksemplar kamus dibagikan cuma-cuma ke sekolah-sekolah di Gorontalo.

"Agar bahasa Suwawa tidak punah," bisik Mansoer. Ya, regenerasi terjadi dan satu per satu bahasa lokal terkubur. Dan Suwawa adalah bahasa yang terancam: 11 desa menggunakannya pada 1978, tinggal 8 desa yang memakainya sekarang. Suwawa sebuah kota berjarak 14 kilometer dari Gorontalo. Warga di Kabupaten Bone-Bolango berbicara dalam bahasa ini, namun dalam jumlah yang menyusut. Umur bahasa Suwawa ikut ditentukan oleh tiga bahasa yang dominan: bahasa Indonesia, dialek Manado, dan bahasa Gorontalo.

Suwawa kerajaan tertua di Gorontalo. Satu kerajaan yang berlokasi di Pinogu. Bahasanya disebut Suwawa Bonda. Dan sanjak kematian di atas adalah sanjak yang diucapkan saat memandikan jenazah: berkisah tentang air sebagai awal kehidupan, air hujan yang turun dari langit, mengalir dari hulu sungai. Air yang didoakan kepada Allah. Ungkapannya universal, tapi tidak berlaku untuk semua. Kata-kata itu hanya diperuntukkan bagi jenazah bangsawan dan pemangku adat. Di samping itu, bahasa Suwawa sering digunakan untuk bercerita: dongeng nasihat dan dongeng lelucon.

Suwawa terancam. Tapi, menurut Abdul Rajak Maksum, ketua pemangku adat Suwawa, bahasa ini akan masuk dalam kurikulum sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Kini, Suwawa telah lepas dari Kabupaten Gorontalo, menjadi ibu kota Kabupaten Bone-Bolango.

Entahlah. Yang terang, Mansoer Pateda masih mencatat kata-kata, menyusun kamus. Ia masih datang untuk mendengar dialog orang-orang tua. Tapi kali ini ia menyusun kamus bahasa Atinggola, bahasa yang ditelitinya sejak 1983. Bahasa Atinggola, 100 kilometer dari Gorontalo, masih serumpun dengan bahasa Gorontalo. Perbedaannya: tinggal tiga desa yang berbicara dalam bahasa itu sekarang. Tak banyak yang peduli, tapi Mansoer tetap mencatat, kata demi kata.

Di Desa Mangir, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur. Seorang lelaki sepuh beserta senyumnya, sebuah rumah berdinding anyaman bambu. Ia, Hasan Ali, 71 tahun, seperti seorang pendaki gunung yang baru menjangkau puncak.

Ia sebenarnya pernah berada di beberapa titik tertinggi. Sepanjang 1978-1998, ia adalah Ketua Dewan Kesenian Banyuwangi. Sebelum itu, ia anggota DPRD Banyuwangi yang mewakili para seniman. Juga, ia dikenal sebagai penemu "geter kerep", gong yang menjadi simbol gamelan musik angklung Banyuwangi. Tapi, "puncak" bukanlah itu semua.

Puncak itu akhir pergulatan selama 22 tahun. Pada 2000, Hasan Ali merampungkan kamus berisi 28 ribu kata dan subkata, dan lahirlah Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia cetakan pertama. Cetakan pertama dan kedua dibagikan cuma-cuma ke instansi pemerintah daerah dan seluruh sekolah di Kabupaten Banyuwangi. Edisi ketiga dicetak tahun ini, juga oleh PT Intan Pariwara Klaten. Kini, wajah budayawan seni tradisional Banyuwangi ini wajah orang yang puas, lega.

Osing bahasa yang semakin terbenam. "Bahkan orang Osing sendiri cenderung malu menggunakan bahasa ini," tuturnya.

Hasan Ali "menemukan" Osing pada suatu hari tahun 1978. Waktu itu ia tengah sibuk menelusuri latar belakang, setting sosial daerahnya. Hasan Ali ingin membuat novel, dan mulai mengumpulkan kata-kata Osing. Semua kata yang diingat ia tulis. Sejak itu, ia hanyut dalam kegiatan tersebut. Kertas dan pena tak pernah lepas dari sakunya. Ia menyerap semuanya: dari kata-kata yang diucapkan teman sekantor, para pedagang di pasar, hingga pembicaraan di antara para penumpang angkutan umum.

Hasan sibuk. Pengumpulan kosakata bersumber dari tiga sentra masyarakat Osing: Banyuwangi kota, Banyuwangi Barat, dan Selatan. Tiga wilayah itu terdiri dari 13 kecamatan. Kosakata yang dikumpulkan biasanya kosakata Osing kuno. Bukan cuma itu. Hasan juga memburu kosakata Osing yang berkembang di luar komunitas Osing di Situbondo, Bondowoso, dan Jember. Di tiga kabupaten yang berbatasan dengan Banyuwangi ini bahasa Osing berkembang secara inovatif, dengan berbagai kata serapan.

Hasan serius. Ia belajar bahasa Osing secara autodidak. Tapi, itu saja tentu tak cukup. Ia menggali metodologi penyusunan dan ilmu-ilmu bahasa dari disertasi Prof. Dr. Suparman Heru Santosa. Guru besar Universitas Udayana, Denpasar, ini menyusun disertasi tentang bahasa Osing pada 1987. Dari situ, ia mengenal karakter, pola pengucapan, dan seluk-beluk bahasa Osing lain.

Yang menarik, Hasan menemukan masukan berharga saat membaca buku kumpulan kata-kata Osing yang disusun Van Der Tuk terbitan tahun 1970. Juga buku serupa karya Prof. Th. G. Th. Pigeaud yang disusun pada 1922-1923. Van Der Tuk sarjana Belanda yang lama tinggal di Banyuwangi dan hidup di Singaraja, Bali.

Literatur yang membahas bahasa Osing itu membelalakkan mata Hasan. Banyak kosakata kuno yang sudah tidak dikenal masyarakat Osing sendiri. Belum lagi dialek yang harus diucapkan. Hasan mencontohkan kata koled (artinya lama). Kata ini apakah berakhiran "d" atau "t" tidak pernah jelas. Ada juga kata klendah. Bagi masyarakat Osing di Banyuwangi Barat, kata itu berarti kelapa. Tapi, kata ini tidak dikenal masyarakat Osing di Banyuwangi Timur.

Pria yang mendirikan perkumpulan kesenian Damarwulan pada usia 15 tahun ini mengambil jalan tengah. Kosakata yang hanya digunakan segelintir orang akhirnya tidak disertakan dalam kamus. Begitu juga kosakata yang dialeknya terlalu lokal. Misalnya, kata yang hanya dikenal di satu kampung tertentu dan tidak dikenal di kampung tetangga. "Saya ambil yang umum saja dan banyak orang Osing yang mengerti," kata pria yang pernah main film Tanah Gersang garapan Mochtar Lubis pada 1971 ini.

Upaya mantan anggota DPRD Banyuwangi mewakili seniman ini ibarat meniti jalan panjang penuh liku. Proses pengetikan kosakata juga butuh perjuangan lain. Bapak enam anak ini dibantu Rizka Hardini, anak kelimanya. "Saya mendikte, dan dia yang mengetik," katanya. Semua dilakukan dengan mesin ketik manual. Pada 1990, kumpulan kosakata Osing pun makin berjibun. "Saya tidak tahu mau diapakan kertas-kertas itu," kata kakek penyanyi Denada ini. Asal tahu saja, proses pengumpulan kosakata ini didanai uang pribadi.

Saat Hasan "lelah" merogoh koceknya terus-menerus, tiba-tiba datang seorang peneliti dari Jepang pada 1995. Igarasi namanya. Melihat kegigihan Hasan, warga Jepang itu tergerak mencari sponsor. "Tahu-tahu saya dikirimi formulir dari The Toyota Foundation," kata alumni SMA 1 Malang ini. Setelah utusan Toyota datang melakukan survei, Hasan dinyatakan berhak mendapat bantuan Rp 45 juta. Uang ini ia pakai membeli komputer dan biaya operasional pembuatan kamus Osing.

Budayawan yang sedang menyusun Ensiklopedi Budaya Blambangan ini makin tergugah setelah bertemu Igarasi. Di Jepang, kata Igarasi, sosok seperti Hasan akan disokong pemerintah karena melestarikan tradisi lokal. Apalagi tujuan pembuatan kamus ini untuk menghindari kepunahan dan bukan komersial semata. "Semangat saya kembali berkobar," tutur Hasan.

Sejak memiliki seperangkat komputer itu, kumpulan kosakata hasil ketikan manual dipindah ke komputer. Rizka Hardini lagi-lagi punya peran penting. Lulusan Diploma 1 Ilmu Komputer Universitas Brawijaya, Malang, ini kebagian tugas menyalin semua data. Senyampang Rizka memasukkan data, Hasan terus menambah daftar koleksi kosakata Osing. Kebiasaan bertanya kepada kalangan tua masih dilakukan. Sampai-sampai banyak orang bingung kenapa Hasan Ali begitu sibuk bertanya kosakata Osing.

Upaya kerasnya selama 20 tahun "memulung" kata demi kata akhirnya berbuah manis juga. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi bersedia mengulurkan tangan. Pada 2002, pemerintah mendanai pencetakan Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia di percetakan Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah. Edisi pertama 1.200 eksemplar dibagikan gratis. Sebanyak 200 eksemplar bersampul luks disebar ke instansi pemerintah sekabupaten. Sisanya, dalam sampul biasa, dibagikan ke sekolah-sekolah.

Jumlah tersebut ternyata tak cukup. Edisi kedua dicetak 1.500 eksemplar dan dibagikan gratis ke semua sekolah dan pondok pesantren di Kabupaten Banyuwangi. Cetakan ketiga juga dirampungkan di percetakan yang sama. Hasan tak menabukan aspek komersial pada karya fenomenalnya ini. "Tidak menutup kemungkinan dijual bebas di pasar," kata mantan Ketua Cabang Lembaga Kebudayaan Negara (LKN) Banyuwangi ini. Apalagi ada tiga penerbit yang menyatakan tertarik.

Hasan tidak pernah berhenti. Sejak lima bulan lalu ia menyiapkan Ensiklopedi Budaya Blambangan. Seperti saat menyusun kamus, Hasan bekerja dengan caranya sendiri. Mengais ingatan sambil menelisik setiap lembar buku literatur di ruang tamu rumahnya yang sederhana.

Arif Firmansyah, Verriyanto Madjowa (Gorontalo), Mahbub Junaedi (Banyuwangi), Bibin Bintariadi (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus