Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Namaku Manari

Kolonialisme Eropa dan nasionalisme negara baru adalah dua sosok yang punya andil besar melenyapkan bahasa-bahasa lokal. Satu kemungkinan lagi: Internet.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namaku Manari. Dalam bahasa Zaparo, itu berarti kadal raksasa yang hidup di dalam hutan. Tapi, kalau kami ingin mendaftarkan nama untuk pencatatan resmi, kami harus memberikan nama Spanyol. Jadi aku juga dipanggil Bartolo Ushigua. Orang Zaparo adalah salah satu dari orang-orang Indian terhebat. Dukun-dukun kami sakti dan manjur karena mereka memahami rahasia 500 jenis tanaman."

Kata-kata itu direkam Carlos Andrade, seorang linguis, juga wartawan, dari surat seseorang bernama Manari. Ia memohon campur tangan Kedutaan Besar Ekuador di Peru. Kawan-kawan Manari berkepentingan melintasi perbatasan Ekuador-Peru. Mereka ingin menjumpai kerabatnya di hutan-hutan Peru yang puluhan tahun tak pernah dilihat, dan ia berharap pemerintah Peru memberi kemudahan.

Manari, 25 tahun, putra seorang dukun. Ayahnya, kepala suku yang jadi pemimpin 115 Indian Zaparo, meninggal tiga tahun lalu. Manari beserta sukunya tinggal di Provinsi Pastaza, yang melingkupi lembah-lembah Sungai Conambo, 240 kilometer dari ibu kota Ekuador, Quito. Sungai itulah yang mempercepat tenggelamnya perikehidupan orang-orang Zaparo: berbagai penyakit menular, panen karet, perbudakan, pengeboran minyak, dan "dunia modern".

"Ketika para pedagang karet datang ke hutan kami," kata Manari, "mereka menculik orang-orang kami dan menjualnya seperti sapi. Mereka juga membawa penyakit yang tak dapat disembuhkan dukun-dukun kami, sehingga banyak orang kami yang meninggal."

Sepuluh tahun silam, sebuah artikel muncul dengan kabar istimewa: bahasa Zaparo secara resmi bisa dikatakan punah. Sekarang, di antara bermacam tantangan, mereka berusaha bertahan. Tiga tahun terakhir para pemuda Zaparo, di bawah pimpinan Manari dan dukungan organisasi pelindung orang-orang Indian, bertarung menghadapi setiap rintangan. Mereka bertekad menyelamatkan budaya dan cara hidup tradisional selaku pemburu dan pengumpul kayu. Tujuan mereka: mempertahankan bahasa Zaparo, memperjelas ruang lingkup pengguna bahasa itu, mengadakan pertemuan dengan para pengguna di perbatasan Peru, negeri tetangga.

Alkisah, 60 tahun silam, pecah perang antara Ekuador dan Peru. Sebuah sengketa perbatasan lahir. Sejak itu masyarakat Zaparo di Ekuador nyaris tak dapat lagi berhubungan dengan orang-orang sesuku di Peru. Perjalanan sama sekali tidak singkat: sebulan jika sungai sedang surut, tiga bulan jika pasang naik.

"Kami orang Ekuador," kata Manari, "Tapi, ada waktunya dulu ketika semua orang Zaparo satu, hidup bersama dalam satu teritori di hutan. Jadi, kami tak terbiasa minta izin bila hendak melintas batas, menjumpai rekan sesuku."

Bagaimanapun, sebuah rencana tersusun sudah. Empat anak Zaparo Ekuador akan dikirim ke Peru untuk belajar. Masa depan Zaparo Ekuador terancam karena dukun terakhir mereka meninggal tiga tahun lalu. Kini mereka kehilangan satu-satunya sumber pengetahuan tentang tradisi, tanaman-tanaman obat, dan beribu rahasia mengenai hutan. "Sejak kematian ayahku, tak ada lagi yang merawat kami, banyak orang sakit dan meninggal," kata Manari.

Pengetahuan tradisional dan obat-obatan para dukun hanya bisa diwariskan melalui bahasa. Melestarikan bahasa Zaparo bukan sekadar soal budaya. Kini, secara fisik masyarakat ini terancam punah. Dan rencana penyelamatan itu sebuah pertandingan melawan waktu, karena saat ini hanya ada lima orang tua yang berbahasa Zaparo. Dan tempat hidup mereka berjauhan satu sama lain. Salah satunya, Sasiko Takiauri, lahir 70 tahun silam di lembah-lembah Conambo. "Saat itu," ia mengenang, "setiap orang bicara Zaparo." Ia sendiri baru mengenal bahasa lokal lainnya saat berusia 18 tahun.

Kisah tentang Zaparo menyerupai kisah-kisah bahasa penduduk asli di wilayah Ekuador-Peru lain. Dalam kurun 60 tahun, orang Zaparo mulai melupakan dirinya seraya mengidentikkan diri dengan Quenchua—suatu akulturasi yang menakjubkan. Quenchua adalah suku Indian, rekan dagang Zaparo. Satu generasi berselang, terbuktilah: anak-cucu-cicit Sasiko hanya mengucap kata-kata dalam bahasa Quenchua dan Spanyol. Di sekolah-sekolah, pemerintah hanya memperkenankan pelajaran dua bahasa itu.

Kita tak tahu apakah Sasiko diberi umur panjang atau tidak. Yang terang, kisah tentang bahasa-bahasa lokal adalah kisah dunia yang menipis. Dunia yang kehilangan 10 bahasa setiap tahun—bahkan ada sejumlah ahli yang memperkirakan hapusnya 50-90 persen bahasa, akhir abad ini. Ya, dunia Internet yang sangat selektif hanya fasih berbicara dalam bahasa Inggris dan sedikit bahasa Eropa lainnya. UNESCO pernah menerbitkan sebuah catatan: 58 persen para pengguna Internet berbahasa Inggris.

Ranka Bjeljac-Babic, psikolog bahasa pada Universitas Poitiers, Prancis, menyebut dua sosok yang punya andil besar melenyapkan bahasa: kolonialisme dan nasionalisme. Bjeljac-Babic yakin, penjajahan orang-orang Eropa terhadap negara-negara di dunia ketiga menghapus minimal 15 persen bahasa setempat. Namun, ironi segera muncul begitu negara-negara itu merdeka dan mengukuhkan bahasa nasionalnya masing-masing. Negara-negara itu memilih satu bahasa, menyingkirkan yang lain. Indian Zaparo mengalami kedua mimpi buruk itu.

Hapusnya sebuah bahasa adalah peristiwa besar. Bagi Indian Zaparo, ia sama dengan lenyapnya pengetahuan tentang tanaman obat, suatu ancaman yang bisa berujung pada kepunahan etnis. Bagi para peneliti, hal itu sama saja dengan bertambahnya missing link yang menghalang-halangi harapan untuk menemukan bahasa pertama yang dipergunakan di muka bumi. Tapi, di luar itu, yang paling penting adalah hilangnya mind construct, hapusnya pola pikiran di sebuah masyarakat. Pola pikiran yang menjauhi alam dan lingkungan sekitar.

"Kami tidak suka minta tolong," kata Manari, "Tapi, karena kami hanya beberapa orang, kami takut inilah akhir perjalanan itu." Sejauh ini sebuah resistansi berlangsung, perlahan. Dipimpin Sasiko, orang-orang tua mulai memberi nama Zaparo bagi cucu-cucunya: Newa (sejenis burung meliwis), Toaro (parkit), Mukutzagua (burung kepodang). Dengan begitu, Sasiko dan segelintir kawan bisa beranggapan: Zaparo masih eksis.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus