Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tak bisa tinggal diam melihat munculnya dampak dari beroperasinya pabrik-pabrik baja menggunakan teknologi tungku induksi (induction furnace). Dorongan memacu proyek infrastruktur tak boleh mengabaikan efek buruk teknologi itu. Munculnya polusi, boros energi, dan hasil produk yang tidak memenuhi standar keselamatan bangunan harus menjadi perhatian besar.
Tumbuh suburnya pabrik peleburan baja berteknologi tungku induksi semestinya bisa dicegah sejak awal. Kebijakan pemerintah Cina pada 2010 yang melarang pabrik baja menggunakan teknologi itu telah memaksa hampir 2.000 perusahaan merelokasi pabrik. Ketika semua negara Asia Tenggara mengikuti langkah Tiongkok, Indonesia justru membuka pintu selebar-lebarnya. Pada tahun itu, baru sekitar 10 perusahaan Cina yang memindahkan pabrik ke sejumlah daerah Indonesia. Sekarang jumlahnya melonjak mencapai 200 pabrik.
Fakta bahwa pabrik baja tungku induksi tidak ramah lingkungan, gagal memenuhi standar, dan mengganggu industri dalam negeri kerap diabaikan pemerintah. Lagi-lagi pembangunan infrastruktur di Indonesia senilai Rp 5.519 triliun hingga 2019 yang akan memerlukan baja sebanyak 17,46 juta ton per tahun menjadi alasannya. Sejumlah akrobat regulasi disiapkan sebagai insentif bagi pabrik hasil relokasi untuk beroperasi.
Kemudahan pembangunan pabrik di daerah-daerah yang mengabaikan regulasi sudah menjadi rahasia umum. Aturan tentang jarak minimal dengan tempat tinggal penduduk dan perlunya analisis mengenai dampak lingkungan sering diabaikan. Tak jarang "insentif" janggal itu menimbulkan banyak protes keras dari masyarakat. Misalnya, pada September 2016, sebuah sekolah dasar di Mojokerto, Jawa Timur, mengalami kekurangan murid karena banyak yang keluar akibat terganggu polusi pabrik baja yang hanya berjarak 40 meter dari sekolah itu.
Soal dampak lingkungan ini, yang paling mengkhawatirkan adalah langkah pemerintah mencoret slag baja dari golongan limbah bahan berbahaya dan beracun. Beleid ini memang menjadi ganjalan bagi pabrik relokasi Cina karena mengganggu pasokan bahan bakunya. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun menyebutkansteel slagmerupakan hasil proses peleburan baja yang salah satunya menggunakan teknologi induction furnace.
Kemurahan lain dari pemerintah adalah pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Baja untuk Kepentingan Umum bagi produk logam tersebut. Dispensasi ini berpotensi menyulitkan masyarakat awam sebagai konsumen dalam membedakan baja yang berkualitas standar dan yang tidak. Konstruksi besar yang menggunakan konsultan pasti bisa mengecek lantaran sebelum pembangunan biasanya menerapkan uji lab untuk baja beton yang akan digunakan.
Pelbagai insentif ini membuat biaya produksi pabrikan baja tungku induksi jauh lebih murah ketimbang pabrik baja lokal. Dampaknya, pemain lokal yang menggunakan teknologi blast furnace yang kegiatan produksinya tidak mencemari lingkungan dan produknya memenuhi standar kembang-kempis. Mereka kalah bersaing dalam harga jual. Inilah penyebab 60 persen lebih pasar baja nasional dikuasai pabrik hasil relokasi dari Cina.
Perhatian para pembuat kebijakan sangat diperlukan dalam membuat persaingan yang sehat di industri baja dalam negeri. Tidak bijak membiarkan industri dalam negeri terancam gulung tikar dan lingkungan jadi tercemar demi ambisi pemerintah menandai keberhasilannya dengan beragam proyek infrastruktur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo