Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah bercat hijau di Jalan Yos Sudarso, Yogyakarta, itu tampak kesepian. Terisolasi, jauh dari rumah-rumah penduduk, bangunan rumah dinas Komandan Resor Militer Pamungkas itu hanya berteman sebuah pohon mangga. Ya, di rumah berhalaman luas yang dikelilingi gedung-gedung perkantoran, kampus, sekolah, dan stadion olahraga itulah Susilo Bambang Yudhoyono sempat tinggal pada 1995.
Rumahnya terasing, tapi penghuninya cukup gaul. ”Dia menjalin hubungan dengan semua kalangan,” kata Yahya Ombara, yang kala itu Pemimpin Umum Harian Yogya Post. Yahya adalah anggota tim sukses SBY-JK pada 2004. Dari sanalah Yudhoyono melakukan konsolidasi internal, sekaligus meluaskan jangkauan komunikasi: dari kampus hingga pesantren.
”Dia tentara pertama yang masuk dari kampus ke kampus,” kata seorang aktivis mahasiswa tahun itu. Yudhoyono memang akrab dengan intelektual Universitas Gadjah Mada, seperti Afan Gaffar, Cornelis Lay, dan Ichlasul Amal, juga dengan beberapa aktivis mahasiswa.
Menghadapi mahasiswa yang bergejolak, Yudhoyono memilih strategi persuasif. Pernah di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga dia ikut mendengarkan orasi unjuk rasa, kemudian mengajak mahasiswa salat berjemaah, lalu di-sambung dengan dialog. ”Beberapa aktivis masih kerja dengannya,” ujar Yahya. Ia menyebut Andi Arief, Harry Sebayang, dan Aam Sapulete.
Selain sering membagi-bagikan buku kepada mahasiswa saat diskusi, Yudhoyono sesekali mentraktir mahasiswa. Mereka diajak ke Gramedia, Yogyakarta, disuruh memilih buku. Dia yang bayar. Bahkan pernah suatu kali mahasiswa bertemu dengannya di Gramedia. Mereka memberikan salam ke Yudhoyono. Di depan kasir, mahasiswa menyodorkan buku, ”Nanti yang membayar bapak yang itu,” sambil menunjuk Yudhoyono, yang manggut-manggut saja.
Kunjungan ke pesantren juga masuk agenda Yudhoyono. Ia kerap mengunjungi pondok Al-Munawaroh, pimpinan KH Zainal Abidin Munawir, dan pondok Krapyak, yang dipimpin KH Atabik Ali. Tak terkecuali pondok Pandanaran KH Mufid. Yudhoyono juga tak segan sowan ke ndalem keraton, mencairkan kebekuan hubungan Keraton Yogyakarta dengan Presiden Soeharto terkait dengan perbedaan penafsiran sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.
Melihat sisi yang ”berbeda” pada seorang Yudhoyono itu, Riswandha Imawan (almarhum) dari Universitas Gadjah Mada sering mengatakan Yudhoyono calon pemimpin mendatang. ”Dia intelektual berbaju militer, bukan militer umumnya,” katanya.
Prediksi dari Yogyakarta itu terus menunjukkan kenyataan. Dari Yogyakarta, Yudhoyono bertugas sebagai Kepala Pengamat Militer Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pulang dari sana, dia menjadi Kepala Staf Kodam Jaya, pada 1996. Dia juga menjadi pangdam termuda saat menjabat Panglima Kodam II/Sriwijaya.
Agustus 1997, Yudhoyono menjadi Asisten Sosial Politik Kepala Staf Sosial Politik ABRI. Februari 1998, ia naik menjadi Kepala Staf Sosial Politik ABRI. Karier militernya berhenti pada 1999 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengangkatnya sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Dia pensiun dengan pangkat letnan jenderal, dan setahun kemudian mendapat pangkat kehormatan sebagai jenderal penuh.
Sebagian kalangan menyesalkan Yudhoyono tak meneruskan karier militer mengingat kapasitasnya. ”Dia itu benar-benar seorang prajurit yang komplet,” kata mantan Panglima ABRI Feisal Tanjung. ”Bisa jadi kecelakaan dalam konteks pribadinya, yang tepat di militer,” kata Yahya. Terlepas dari penyesalan tersebut, yang terang sejak itu Yudhoyono seakan digiring ke panggung yang lebih besar.
Jauh hari sebelum gedung Sasana Budaya Ganesha, Bandung, menjadi tempat Yudhoyono-Boediono mendeklarasikan diri dalam pemilihan presiden, Bandung telah menjadi persinggahan penting dalam perkembangan karier Yudhoyono. Berpangkat letnan dua setelah lulus Akabri Darat pada 1973, Yudhoyono ke Bandung mengikuti Kursus Dasar Kecabangan Infanteri.
Lulusan terbaik Akabri 1973 dan Kursus Dasar Kecabangan Infanteri 1974 ini kemudian nyemplung di satuan baret hijau Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Yudhoyono masuk Brigade Lintas Udara 17/Kujang I, salah satu pasukan organik Kostrad yang punya reputasi tempur membanggakan, antara lain menumpas beberapa pemberontakan separatis.
Yudhoyono ditugasi sebagai Komandan Peleton 3 Kompi Senapan A, berkedudukan di Dayeuhkolot. Kompi ini berisi perwira yang dinilai memiliki intelektualitas tinggi. ”Letda Yudhoyono selalu terpilih sebagai perencana dalam kompi kami karena perencanaannya terkenal bagus,” kata Arief Budi Sampurna, teman satu angkatannya yang masuk kompi itu.
Yudhoyono juga mendapat tugas tambahan, yakni memberikan les pengetahuan umum dan bahasa Inggris untuk semua anggota batalion bersama Kapten Infanteri Agus Widjojo, seniornya, angkatan 1970. ”Dia selalu mencari dan membagi pengetahuan baru,” Agus mengenang.
Bintang lelaki kelahiran Tremas, Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949 itu terus berpijar setelah mentas dari Lembah Tidar. Pada 1975, Yudhoyono yang sering membantu mengerjakan tugas tingkat brigade itu lantas mengikuti pendidikan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Amerika. Saat itu pangkatnya naik menjadi letnan satu.
Pulang dari negeri itu, Yudhoyono menikah dengan Kristiani Herrawati, putri ketiga Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo. Lima hari setelah menikah, Yudhoyono ke Timor Timur, turut dalam Operasi Seroja selama 13 bulan. Agus Widjojo, yang menjadi atasannya dalam operasi itu, punya catatan tersendiri. Agus sering ditanyai bagaimana memberikan hukuman ke bawahan yang menantu jenderal. ”Bagaimana saya menghukum kalau tidak ada kesalahan?”
Dua tahun menjadi perwira seksi hingga berpangkat kapten pada 1977, ia mendapat promosi sebagai komandan kompi. Dari posisi ini, dia melompati jenjang tugas di batalion dan langsung menjadi perwira staf di tingkat Markas Besar TNI Angkatan Darat. Total 11 tahun Yudhoyono melewati periode jenjang karier sebagai perwira pertama.
Menapaki jenjang perwira menengah, Yudhoyono menempuh pendidikan setingkat kursus lanjutan perwira di Fort Benning, Amerika. Sepulang dari sana, dia kembali ke Bandung, menjadi pelatih di Pusat Infanteri sekaligus memimpin Sekolah Pelatih Infanteri. Jadwalnya penuh dengan latihan di bukit kapur Cipatat, Situlembang, Cimangsud, hingga Eretan di Indramayu.
Usai bertugas melatih infanteri, Yudhoyono menjadi peserta termuda Kursus Komandan Batalion. Sesudah itu, dia menjadi Komandan Yonif 744, batalion pemukul Kodam Udayana di Timor Timur. Ada kejadian beberapa bintara enggan mengikuti instruksi seorang perwira seusai latihan. Soal itu, dalam SBY Sang Demokrat yang ditulis Usamah Hisyam, Komandan Korem Wiradharma Kolonel Infanteri Muhammad Yunus Yosfiah, yang menjadi atasannya, tidak menyalahkan Yudhoyono, hanya menilai Yudhoyono terlalu ”baik” kepada bintara. Dua setengah tahun Yudhoyono memimpin batalion ini.
Yudhoyono ke Bandung lagi mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando. Lulus terbaik pada 1989, dia bertugas menjadi guru militer. Sebagai dosen, dia rajin membuat karya ilmiah, mendirikan pusat kajian, dan sempat menjadi dosen di Telkom Bandung. Pada 1990-1991, dia menempuh pendidikan setingkat Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Command and General Staff College, di Amerika Serikat.
Kembali ke Tanah Air, Yudhoyono bertugas menjadi Perwira Koordinator Staf Ahli Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat. Enam bulan dia bertugas, antara lain, membuat naskah pidato Kepala Staf TNI Angkatan Darat atau pejabat tinggi lainnya. Dia kemudian dipindahkan menjadi Koordinator Staf Pribadi KSAD Jenderal Edi Sudrajat dengan pangkat letnan kolonel.Saat itu, Edi juga merangkap jabatan menjadi Panglima TNI, dan Menteri Pertahanan.
Enam bulan bertugas, Yudhoyono kembali ke rumah lamanya, menjadi Komandan Brigade Infanteri 17/Kujang I Kostrad. Kali ini dia kembali mengalami percepatan penugasan karena komandan brigade saat itu umumnya angkatan 1971 dan 1972. Memimpin brigade itu, dia menggiatkan latihan dan turut berlatih juga. ”Bayangkan kalau prajurit disuruh perang tapi pemimpinnya tidak ikut perang,” kata Yudhoyono dalam SBY Sang Demokrat.
Sukses menjadi komandan brigade, Kolonel Yudhoyono mulai belajar menangani masalah teritorial ketika menjadi Asisten Operasi Kodam Jaya. Setahun bertugas di Ibu Kota, dia terpilih sebagai Komandan Resor Militer 072/Pamungkas yang membawahkan sepuluh kodim di Daerah Istimewa Yogyakarta dan eks Karesidenan Kedu dalam teritori Kodam IV/Diponegoro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo