Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bupati vs kodok

Kalangan kiai di demak merasa keberatan adanya warung kodok yang berlogo "swike demak". selain demak dikenal sebagai kota wali, mayoritas penduduknya beragama islam yang menganut mazhab.

3 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARUMNYA Demak sebagai "Kota Wali" nyaris terusik oleh haramnya kodok. Tersebutlah Saipah, 35 tahun, warga asli Demak, Jawa Tengah, sejak 20 tahun silam membuka warung kodok di Jalan Sultan Fatah, jalan raya Semarang-Kudus. Sehari-hari ramai, dan pembelinya kebanyakan bermobil. "Umumnya dari luar kota. Yang dari Demak sendiri, ya, sedikit," kata Saipah kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Mudah dimaklumi. Penduduk Demak (sekitar 776.800 jiwa) 99% menganut Islam. "Bagi pengikut mazhab Imam Syafii, daging kodok adalah haram," kata Agus Salim, Ketua NU cabang Demak. Dan mayoritas masyarakat Demak adalah penganut mazhab ini. Selain itu, Demak luas dikenal sebagai kota para wali dan bekas kota kerajaan Islam pertama di Jawa pada abad ke-15. Di kota ini ada pusara Sunan Kalijaga, tak jauh dari makam Sultan Fatah. Di tengah suasana Islami itulah di warung Saipah dipajang logo "Swike Demak". Swike adalah istilah slang Cina untuk kodok santapan. "Nama itu saya pasang sejak 1975," kata Saipah. Awalnya di Demak, hanya Saipah sendiri yang membuka warung swike, tapi belakangan muncul saingannya. Kini ada empat pedagang di sana, dan semua mereka menggunakan logo "Swike Demak" juga. Sedangkan di Semarang ada dua, juga berlogo sama. Dari warung Saipah tiap hari orang melahap 60 kg daging kodok. "Kalau hari Minggu bisa sampai 100 kg," katanya. Ibu empat anak itu dibantu lima pekerja. "Penghasilan saya bisa untuk kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak. Sedikit masih bisa menabung," katanya. Berjalan sekian tahun, tanpa terasa Demak parktis beken menjadi kota swike. "Swike bukan makanan khas Demak. Kalau makanan, Demak dikenal sebagai penghasil buah belimbing," kata K.H. Marwan, Rais Syuriah NU Cabang Demak. Itu sebabnya Kiai Marwan minta perhatian pemerintah daerah ihwal merek dagang "Demak" tersebut. Tak hanya kalangan kiai yang menyatakan keberatan. Kecaman soal swike ini sempat masuk agenda sidang paripurna DPRD, waktu pengesahan APBD 1990/1991. "Kami sangat menyesalkan promosi label Swike Demak di rumah makan Demak maupun di Semarang. Itu mencemarkan nama daerah Demak yang religius dan sebagai Kota Wali," ujar Sutrisno, Ketua DPRD Demak, seraya minta pemerintah turun tangan. Kalangan pemrotes ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Urusan kodok ini pun dibenahi Bupati Demak, H. Soekarlan. Saudagar swike itu dikumpulkannya di Balai Kelurahan Bintoro, September lalu. Pada pertemuan tatap muka itu, para pedagang diimbau agar tak mengaitkan kodok Demak. "Berdaganglah, kami tak melarang. Tapi jangan sampai mengundang masalah," pesannya. Menurut juru bicara Pemda Demak, Sutanto, "Pak Bupati memang sekadar mengimbau, sebab beliau sadar tak punya dasar hukum untuk melarang." Dan seruan Bupati tak sia-sia. "Meski kini minus nama Demak, omset kami biasa saja, tidak turun," cerita Saipah. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus