SEORANG wanita, asal Jakarta, yang duduk di samping saya di kapal terbang, setelah ngobrol sebentar, menyatakan merasa lega dan bersyukur. Soalnya, putrinya diterima di salah satu perguruan tinggi di Surabaya, bukan di Yogyakarta. Dia khawatir anaknya melanjutkan studi di Yogyakarta karena isu kumpul kebo yang gencar sejak 1984, ketika hasil studi Kelompok Diskusi Dasakung yang menghebohkan itu diumumkan. "Mahasiswa Yogyakarta banyak yang hidup bersama termasuk tidur bersama." Dia khawatir anaknya ketularan. Hasil studi itu memang membikin Yogya hiruk-pikuk dalam pembicaraan tentang perilaku seks. Orang Yogya yang berkebudayaan luhur dianggap mustahil berperilaku demikian. Lalu ada tudingan bahwa pelaku-pelakunya tentu orang yang berasal dari luar. Orang lupa bahwa kumpul kebo itu sendiri sebagai konsep yang berasal dari kebudayaan Jawa. Kalau putri ibu tersebut kawin dan bermukim di Jakarta, mungkin dia khawatir pula akan kesetiaan menantunya. Bukankah penelitian Dr. Naek L. Tobing -- yang juga menghebohkan itu -- menunjukkan bahwa dua pertiga pria di Jakarta pernah melakukan penyelewengan seksual? Jika ibu tersebut mendapat menantu yang termasuk "kelompok dua pertiga", semoga dia tidak membawa penyakit ke rumah. Berbagai penelitian tentang perilaku pacaran dan seks di Indonesia cukup menghebohkan, termasuk angket Sulistyo Eko (1983) di kalangan pelajar SMA di Yogyakarta. Eko sempat ditahan polisi karena hasil penelitiannya itu dan dipaksa pindah sekolah. Juga sangat menghebohkan hasil angket Dr. Wimpie Pangkahila mengenai seks terhadap 663 pelajar dari 4 SLTA di Denpasar dan Singaraja. Ketika hasil penelitian tersebut ditampilkan pada Seminar Tentang Masalah Seksologi di Universitas Udayana, Denpasar, terdapat tuduhan-tuduhan bahwa hasil penelitian tersebut tidak dapat dibenarkan. Ada tokoh-tokoh yang berpendapat bahwa -- pada masyarakat yang berpegang teguh pada agama dan adat seperti Bali -- pengetahuan dan praktek pelajar dalam hal seks mustahil sudah sejauh itu. Topik-topik yang peka, seperti seks, agama, kemiskinan, dan politik, mudah sekali dilempari tuduhan mengenai kesahihannya, dan sejauh mana pula dapat dibuat generalisasi dari penemuan tersebut. Di samping itu, bisa pula ada tokoh atau pejabat yang merasa terkena atau bisa juga menimbulkan keresahan secara meluas dalam masyarakat. Ketika keluar hasil penelitian saya dengan David Penny mengenai kemiskinan di Sriharjo (1974), saya tidak menduga bahwa persoalannya menjadi sensitif dan menerima banyak kritikan. Banyak ahli ekonomi yang tidak percaya pada hasil penemuan tersebut, bahwa masalah kemiskinan di desa tersebut separah itu, dan ada tuduhan bahwa kami pesimistis terhadap usaha pembangunan pemerintah. Namun, setelah di media massa bermunculan kasus kemiskinan di Jawa Barat -- orang miskin terpaksa memakan eceng gondok -- pelan-pelan orang mulai percaya kepada hasil penelitian kami tersebut. Penelitian-penelitian tidak luput dari berbagai masalah. Dalam pengambilan sampel orang perlu berhati-hati. Si peneliti juga perlu berhati-hati dalam menguraikan hasil penelitiannya tersebut. Dalam studi kasus, orang perlu berhati-hati menarik kesimpulan yakni bahwa hasilnya terbatas pada kasus tersebut, secara geografis dan sosial. Jangan cepat-cepat membuat generalisasi walaupun tidak mustahil bahwa fenomena tertentu, kalau diteliti, memang terdapat secara meluas di tempat-tempat lainnya. Ada kalanya terdapat masalah konsep, masalah mutu kuesioner (daftar pertanyaan), mutu wawancara atau mutu pengisian kuesioner, dan juga masalah analisa. Tiap tahap perlu dilakukan dengan hati-hati karena, sekali data sudah terkumpul dan dianalisa, si peneliti akan percaya pada hasilnya, percaya pada tabel-tabelnya. Tidak etis jika dia sendiri kurang percaya kepada angka-angkanya itu dan mengharapkan orang lain percaya. Karena masalah konsep yang tidak atau kurang dimengerti oleh responden, boleh terjadi kuesioner asal diisi, asal dijawab. Itu juga dapat terjadi kalau, karena suatu hal, dia kurang suka kepada si penanya. Dijawab seenaknya saja. Sebaliknya, jawaban mungkin cenderung terarah kepada jawaban tertentu, apalagi kalau dihadiri pula oleh pamong desa, yang merasa perlu untuk menghadirinya. Jawabannya dia sesuaikan dengan keinginan pamong. Kalau kontrol diadakan dengan baik, ada kalanya ditemukan masalah "radar", yakni asisten peneliti ternyata mengisi sendiri kuesioner tersebut, tanpa menemui responden. Ada kalanya dia sendiri kurang paham akan isi pertanyaan tersebut sehingga terjadi kesalahan yang sistematis. Umpamanya pertanyaan mengenai interval antara kelahiran anak dan hubungan seks kembali setelah melahirkan ditafsirkan secara keliru dengan menanyakan lamanya nifas kepada responden. Itu adalah dua konsep yang berbeda. Maka, pelatihan yang baik -- mengenai konsep, pemakaian bahasa, mengenai sikap yang supel menghadapi responden -- sangat diperlukan supaya dapat dihimpun data dengan kualitas yang tinggi. Pernah terjadi, dalam penelitian di daerah transmigrasi, pewawancara asal Jakarta bertanya: "Bapak ngerjain tanah berapa luasnya?" Responden terkejut dan menjawab: "Saya ngerjain tanah?" Dan suasana wawancara menjadi kurang enak dan ini dapat mempengaruhi objektivitas jawaban. Sering terdapat jawaban yang menyimpang dari tujuan karena tidak termasuk ke dalam kategori yang dimaksudkan. Untuk menyisihkan jawaban tersebut dipakai istilah NA (not applicable) atau "tidak berlaku". Sekiranya tabloid Monitor menyisihkan Nabi Muhammad dari 50 tokoh yang dikagumi, dan jawaban yang masuk dianggap "tidak berlaku" karena beliau jelas tidak tergolong manusia biasa, persoalannya menjadi lain, walaupun secara metodologis masih dapat diperdebatkan mengingat keanekaragaman tokoh-tokoh yang dikagumi tersebut. Sebaliknya, ada kalanya penelitian tertentu tampaknya sensitif tetapi ternyata tidak sensitif. Ketika Pusat Penelitian Kependudukan UGM mempunyai proyek penelitian kondom melalui pos (1975) dan menerima ribuan pesanan, kami pernah khawatir bahwa akan datang kritikan-kritikan karena alasan potensinya merusak moral. Ternyata, kritikan tidak ada dan malah banyak diterima surat ucapan terima kasih karena merasa tertolong. Namun, muncul juga masalah yang tidak diduga. Kami menerima pesanan kondom dari tiga wanita di Jakarta, yang ternyata pelajar SMA dari sekolah yang sama. Mereka melaporkannya kepada kepala sekolah dan memprotes kami melalui media massa karena menerima kondom yang tidak pernah mereka pesan. Ternyata, pelajar pria yang jail dari kelas yang sama yang mempermainkannya. Melalui fotokopi tulisan tangan pada amplop pesanan, anak yang nakal tersebut ditemukan dan kemudian mendapat hukuman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini