PRETTTY WOMAN Karya: Garry Marshall Skenario: J.F. Lawton Pemain: Richard Gere, Julia Roberts, Laura San Giacomo Produksi: Touchstone Pictures DATANGLAH ke Hollywood. Tanah yang menjanjikan impian. Ada yang menjadi kenyataan, ada pula yang tidak. Ini dinyanyikan seorang gembel kulit hitam sambil melenggang di jalan raya Los Angeles sebagai pembukaan film Pretty Woman. Gembel itu bukannya ngecap. Produser Touchstone Pictures, bersama penulis skenario J.F. Lawton dan sutradara Garry Marshall, mencoba mengemas impian ala Hollywood itu, yang ternyata menjadi film hiburan yang menarik. Namanya juga impian, jadi segalanya terjadi begitu saja. Pengusaha muda asal New York, Edward Lewis (Richard Gere), nyasar di jalan raya Los Angeles dan bertemu dengan pelacur jalanan, Vivian Ward (diperankan dengan baik oleh Julia Roberts). "Saya hanya butuh penunjuk jalan," Edward menampik dengan sopan. Tawar-menawar terjadi. Vivian dibayar sebagai penunjuk jalan Edward menuju hotelnya yang mewah. US$ 20 meningkat menjadi US$ 100 karena Edward mengajak Vivian untuk menemaninya di lantai Penthouse yang megah itu selama satu jam. Dan US$ 100 berkembang menjadi US$ 300 untuk tarif Vivian satu malam, karena Edward lebih suka ngobrol dulu sebelum mereka beranjak ke tempat tidur. Karena ini sebuah mimpi, jangan heran jika Edward -- pengusaha kelas ikan paus yang sehari menghasilkan milyaran dolar -- malah meminta Vivian bersedia menemaninya selama seminggu. Dan, "Tiga ribu dolar!" teriak Vivian dengan girang pada germonya (Laura San Giacomo) melalui telepon. Itu memang harganya selama seminggu. Namun, seminggu itu ternyata -- secara perlahan, tapi pasti -- telah membuat hubungan mereka bukan lagi seperti seorang pembeli dan pelayan seks. Melalui kesegaran dan kepolosan Vivian, Edward pelan-pelan merasakan pengaruh Vivian di atas dirinya. "Jadi, kau tak memiliki apa-apa? Kau tak membuat sesuatu?" tanya Vivian heran, ketika Edward menjelaskan pekerjaannya, yakni membeli perusahaan besar yang akan runtuh dan memecahnya berkeping-keping untuk menjualnya kembali dengan harga mahal. "Kita tak pernah berbuat apa-apa...," kata Edward pada pengacaranya yang menggebu-gebu ingin melahap perusahaan yang diincar. Mungkin karena itu, Edward tak bisa melepas Vivian pergi. Dan Vivian sendiri mulai tersinggung ketika Edward memberi tahu pengacaranya tentang identitas Vivian. Hubungan emosi antara keduanya mulai terjalin. Sekilas, kita menikmati mimpi ini dan menyimpulkan bahwa ini kisah cinta antara seorang wanita kelas bawah dan seorang pria dari kelas sosial tinggi. Namun, sebenarnya, "ini bukan sekadar film percintaan antara sepasang wanita dan pria. Ini adalah kisah dua orang yang mempunyai problem dalam hidup dan sama-sama belajar untuk menghadapi problem itu," ujar Julia Roberts, dalam sebuah wawancara TV Amerika. Dengan akting prima, Julia Roberts berhasil menampilkan Vivian yang jebolan kelas 2 SMA. Vivian yang dengan polos menanyakan garpu mana yang dipakai untuk salad. Vivian yang meludahkan permen karetnya di tengah keramaian, tapi juga Vivian yang meneteskan air mata ketika menonton adegan opera yang mengharukan. Kesegaran dan tingkahnya yang tidak pretensius justru membuat Edward jatuh hati. Ternyata, kejujuran Vivian menjadi pelajaran bagi Edward untuk lebih manusiawi. Pada akhir cerita, Edward memutuskan, daripada melahap perusahaan kawannya, lebih baik bekerja sama membangun perusahaan baru. Hubungan semacam itu juga ada dalam kisah klasik Pygmalion. Karya dramawan G.B. Shaw ini mengisahkan seorang profesor bahasa Inggris yang mengajar Eliza Doolittle -- seorang penjual bunga jalanan -- untuk berbahasa dan bertingkah laku seperti seorang lady. Di akhir cerita, sang profesor justru belajar tentang ketulusan Eliza, tempat ia kemudian menambatkan hatinya. Dalam versi lain, kisah ini tampil dalam Educating Rita, karya sutradara Lewis Gilbert. Dalam versi Gilbert, Rita (dimainkan dengan luar biasa oleh Julie Walters), seorang pekerja salon kelas bawah London bersuami seorang buruh kasar. Rita punya semangat belajar sastra Inggris dan minta tutorial mingguan dari seorang profesor Universitas Oxford (Michael Cane). Seperti dalam kisah Pygmalion, sang profesor membimbing Rita untuk menaiki tangga sosial strata masyarakat satu per satu. Tapi yang penting, justru Rita telah memberikan pelajaran tentang ketulusan kepada gurunya. Film Pretty Woman mungkin bisa disebut Pygmalion dengan gaya yang pop. Tapi Garry Marshall memilih untuk membuat impian itu jadi kenyataan. Jadi, biarlah si pengusaha Edward Louise berteriak dari limousine-nya dengan seikat kembang di tangannya sambil memutar lagu opera. Biarlah Vivian muncul dari loteng penginapannya. Biarlah Edward muncul sebagai pangeran yang menyelamatkan sang putri dari lembah nista. Apa salahnya mimpi yang indah? Marshall memang kurang menjelajahi kemungkinan pengambilan shot yang memiliki karakter meskipun film ini unggul dalam cara bercerita dan akting pemain. Sementara itu dukungan musik James Newton Howard (termasuk aransemen baru lagu lama Pretty Woman) enak di telinga. Cocok dengan lenggang si gembel kulit hitam yang muncul lagi di akhir cerita, yang kembali bernyanyi, "Inilah Hollywood. Tanah penuh impian. Ada yang menjadi kenyataan. Ada yang tidak." Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini