Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Burundi mandi darah

Puluhan ribu orang menjadi korban bentrokan suku hutu dan tutsi di burundi. berawal dari berkuasanya suku tutsi yang minoritas di pemerintahan. presiden burundi, p. buyoya mencoba mengatasi, tapi gagal.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPANJANG jalan berdebu di utara Burundi, Afrika, para wanita petani kelihatan menyilaukan. Mereka mengenakan rok hijau menyala, merah mengkilap, ungu, atau kuning jeruk. Dengan punggung tegak lurus, mereka lalu lalang dengan keranjang buah atau sayuran segar di atas kepalanya. Warna merah jambu pun bertaburan di dahan kamboja, dilanjutkan oleh semarak kembang sepatu sepanjang jalanan, mengingatkan kita pada pesona Tahiti. Amat sulit membaurkan kecantikan alam yang nampak damai itu dengan apa yang telah terjadi beberapa mil dari sana. Truk yang kami tumpangi segera kemudian memasuki jalanan kosong, tempat yang beberapa hari lalu menjadi ajang perang suku. Ladang masih ditaburi hijau tanaman. Tetapi tak seorang petani pun kelihatan. Lembu-lembu kuning kemerahan, bertanduk melengkung, berkeliaran bebas dengan anggunnya. Semuanya begitu senyap dan mencekam. Pintu gubuk-gubuk lumpur di sisi jalan dibiarkan menganga, gelap, dan melompong. Mereka yang tak terbantai telah kabur ke seberang perbatasan, atau tetap bersembunyi di rawa-rawa bermalaria yang memisahkan Burundi dari tetangganya, Rwanda. Di sebuah jalan berdebu di luar Kota Ntega, sopir kami amat penasaran. "Di mana, sih, para penduduk ini?" tanyanya. Kemudian pembantaian yang mengerikan itu terhidang di depan kami. Di sebuah rumah sakit misi yang sederhana dalam lembah, kami jumpai seorang wanita diangkut dengan usungan bambu dari hutan. Sembari terbaring di beranda terbuka, ia mencoba tenang, menunggu giliran dioperasi. Luka tusukan bayonet pada lengannya telah bernanah, sementara infeksi peluru di dada kirinya menusukkan nyeri. Sebentar lagi sebagian kakinya akan dipotong. Sementara itu, dalam bangsal, di antara sejumlah korban yang dibebat perban, bocah laki-laki berumur 2 tahun duduk di dipan besi. Tangan kirinya telah diamputasi. Di tempat tidur yang sama, tergeletak bayi 18 bulan dibalut perban. Baju dan sarung tangan Dokter Ralph Dupre, orang Jerman, berlumuran darah. Ia terpaksa bekerja dengan peralatan steril seadanya dan antibiotik yang tak mencukupi. Dokter itu telah mengamputasi 20 orang wanita dan anak-anak dalam lima hari terakhir. Agaknya, masih banyak lagi yang mesti dipotongnya. Rupanya, perang suku di Burundi -- Hutu melawan Tutsi -- yang berlaga pada bulan Agustus lalu betul-betul dahsyat. Kekerasan antara keduanya sudah mengalir secara berkala di negeri mungil di jantung Afrika ini. Penyebabnya: suku Tutsi, yang hanya 15 persen dari populasi negeri itu, menguasai sistem politik. Seorang Hutu -- yang mayoritas, hampir mencapai 85 persen -- baru di pertengahan Oktober lalu diangkat menjadi perdana menteri Burundi untuk mempersubur persatuan bangsa. Tetapi Hutu tetap belum terwakili di setiap tingkat pemerintahan. Di ladang-ladang kopi di utara Burundi, gerombolan Hutu, yang terang-terangan diejek oleh suku Tutsi yang sedang memimpin provinsi, menyerbu Tutsi dengan parang, tombak, dan batu. Di Ntega, seorang biarawati suku Hutu mengisahkan bagaimana kerumunan orang sesukunya menghambur ke halaman gereja, meminta agar ia tak melindungi Tutsi yang mengungsi ke sana. "Mereka akhirnya menemukan rumah-rumah di belakang," tutur biarawati Liberatrice itu, dalam bahasa Prancis. Bahasa itu memang sering dipakai oleh kaum terpelajar di bekas Koloni Belgia ini. Bahasa nasional mereka, yang dipakai oleh Hutu maupun Tutsi, bernama Kirundi. Pagi hari, biarawati itu membawa kami keluar gedung, ke tempat keganasan. Menurut dia, di sana 14 orang Tutsi dipukuli hingga mati. Percikan darah tergugat di tembok-tembok. Jalan masuk sampai hitam oleh onggokan bekas Apiyang membakar tubuh korban. Setelah penyerbuan itu, Tutsi, yang menguasai militer, meluapkan dendam dengan mengobral senapan otomatis dan bayonet ke arah suku Hutu. Dua batalyon tentara disebar ke lokasi. Perintah resminya, jangan menyerang bila tak diserang. Tetapi kenyataannya, para komandan tertinggi di daerah mengabaikannya. Di Ntega saja, tercatat ribuan Hutu terbunuh. Para wanita dan anak-anak Hutu menjadi buntung kena tikaman bertubi dan sabetan peluru. Selama beberapa hari, tentara mengamuk tak terkendalikan. Presiden Burundi, Mayor Pierre Buyoya, seorang Tutsi, mengimbau tentara agar berhenti menembaki para petani Hutu dari helikopter. Dokter Hupre bilang, dua orang Hutu, tenaga medis rumah sakitnya, diciduk tentara selagi pulang ke rumah, lalu dibunuh. Tak ada yang mempertanyakan, kata Hupre, sebagian besar korban adalah Hutu. Di akhir pekan, pemerintah mencatat sudah lima ribu orang mampus. Hupre dan banyak orang lain yakin, angka sebenarnya jauh lebih bengkak dari itu. "Pemerintah bilang lima ribu," kata dokter berumur 33 tahun itu, "tapi saya memperkirakan 20 ribu." Seorang diplomat di Bujumbara, ibu kota Burundi, menduga bahwa setidaknya 50 ribu orang Burundi telah tewas. "Kami tak akan pernah tahu berapa banyak," kata seorang pejabat pemerintah padaku. Suaranya lunak dan perlahan, sepertinya ia menghitung kembali berapa banyak keluarganya yang terbunuh sewaktu liburan di daerah utara. Pada mulanya, Tutsi dan Hutu hidup damai. Apalagi ada Pangeran Rwagasore, tokoh Tutsi yang memperistri seorang Hutu. Tetapi, pada suatu sore bulan Oktober 1961, Rwagasore ditembak mati oleh lawan politiknya (lihat Negeri tanpa Damai). Setelah itu, hubungan Tutsi dan Hutu pun berangsur mendidih. Memang, hubunan Tutsi dan Hutu dimulai dengan perkawinan antarsuku. Inilah yang mengaburkan beda fisik di antara mereka. Acap kali sulit mengamati kebiasaan suku dari seorang Burundi (Dalam pernikahan antarsuku, anak-anak mengikuti suku ayahnya). Di pemerintahan, status mereka sebenarnya sama. Tutsi dan Hutu sama-sama bangsa Burundi. Amat tak sopan bagi orang asing untuk bertanya pada orang Burundi, apa suku asalnya. Suatu pagi di Bujumbara, aku berbicara dengan dua orang remaja. Namanya: Francois dan Martin. Keduanya melewatkan liburan sekolah dengan bekerja pada proyek "Lembaga Perdamaian". Selama berbincang beberapa jam, keduanya tak menunjukkan ciri-ciri sukunya. Mereka hanya nampak bersemangat membicarakan soal "kesulitan" di utara. Aku duga, Martin -- yang bangga mengenakan kancing Sylvester Stallone di jaketnya selama kami berjalan keliling di pasar -- adalah Tutsi. Dan Francois, penjaga gawang sepak bola yang berotot itu, tentulah Hutu. Tapi aku tak yakin. Jikapun mereka berbeda, seperti yang kusangka, aku tak menemukan perbedaan yang jelas. Seorang sukarelawan "Lembaga Perdamaian" bilang bahwa mereka tak pernah mendapat pertanyaan atau bercerita siapa yang Hutu, siapa yang Tutsi. Kalau tak muncul ciri suku orang dapat menduga suku asal seseorang dengan melihat pekerjaannya. Para wartawan televisi, misalnya -- banyak di antara mereka yang mengantarkan koresponden Barat ke daerah utara -- adalah orang-orang Tutsi. Begitu juga para editor koran-koran nasional. Seorang dokter Tanzania yang bekerja di Bujumbara yang (seperti Hutu) datang dari daerah Bantu, menjelaskan padaku bagaimana ketika ia pertama kali datang. Mulanya ingin bertemu dengan orang-orang Hutu, tapi ternyata itu mustahil. Selama dua tahun, teman-temannya Tutsi semua. "Dalam lingkungan kerjaku, merekalah yang terpelajar dan menduduki posisi yang lebih senior," kata dokter itu. "Saya tak punya kenalan Hutu selain pembantuku." Sikap pemerintah Burundi pada dunia yang lapar informasi amat baik. Presiden Buyoya memberikan konperensi pers panjang lebar. Ia berbicara dalam bahasa Prancis, menunggu dengan sabar sampai pertanyaan-pertanyaan berakhir. Sikapnya menyiratkan keinginan untuk hidup damai. Namun, ia mengelak untuk menyatakan: lebih banyak Hutu ketimbang Tutsi yang: terbunuh dalam pembalasan dendam oleh tentara. Ia ogah menjawab langsung pertanyaan seorang reporter Amerika tentang: berapa banyak Hutu dan berapa banyak Tutsi yang "lewat". "Jika Anda menghadapi tubuh-tubuh itu, Anda tak akan perlu berkeliling untuk mengidentifikasi dari suku mana mereka berasal?" kata Buyoya dengan taktis. "Kami meratapi semua yang telah tewas." Sewaktu Pierre Buyoya yang berusia 39 tahun itu merebut kepresidenan (dengan kudeta tak berdarah) dari Jean Baptise Bagaza akhir tahun lalu, banyak orang merasa optimistis. Sejak awal memerintah, pimpinan militer yang berpendidikan Barat ini berupaya membangun jembatan antara kedua suku. Dialah yang mengangkat tujuh orang Hutu buat memimpin kementerian -- jumlah yang tak pernah ada sebelumnya. Di universitas, sejumlah seminar diselenggarakan buat mencari jalan memadamkan rasa curiga yang mendalam antara Hutu dan Tutsi. Secara pribadi, Buyoya mengatakan pada para diplomat bahwa ia akan menyelenggarakan pemilihan umum setiap 4 tahun. "Kami berharap bisa bekerja sama dengan sebanyak mungkin intelektual Hutu, menjaga para petani Hutu untuk tetap tenang bekerja, serta berharap (kerusuhan) semacam ini takkan terjadi lagi," kata Buyoya, sebagaimana yang dituturkan oleh seorang diplomat Barat. Lalu apa yang salah? Segala macam teori telah dipergunakan untuk menganalisa, oleh seorang diplomat Eropa berpengalaman. Ironisnya, ia melihat, sikap progresif Buyoya-lah yang menjadi masalah. "Yang menjadi persoalan adalah perbedaan kecepatan," kata diplomat itu. "Pemerintah pusat menerapkan suatu kecepatan, dan para pejabat daerah lokal di utara memakai kecepatan lain." Presiden Buyoya mulai berbicara soal berdialog dan berkonsultasi, serta kebebasan berekspresi. Hutu mendengar itu, dan mulai melakukannya. Tapi para Tutsi, pejabat di utara, masih tetap menekan mereka, sama seperti rezim terdahulu. "Jika engkau memberi harapan kebebasan dan di sana masih ada penekanan, lalu semuanya menjadi lebih tak tertahankan." Kendati mengalami bentrokan suku, Burundi adalah penerima per kapita terbesar pinjaman lunak Bank Dunia. Bank Dunia menyokong banyak pada pembangunan sekolah dan klinik kesehatan baru. Imbal baliknya, pemerintah setuju mendevaluasikan uangnya, menghilangkan pembatasan impor, menaikkan harga hasil tanaman, dan melonggarkan ketentuan surat jalan yang melarang Hutu berpindah-pindah ke seluruh wilayah negeri, untuk mencari kerja. Seorang pengamat berpengalaman, Rene Lemarchand, menyatakan bahwa Bank Dunia, di pihak lain, merasa Burundi sebagai tempat yang baik buat investasi bantuan. Keyakinan itu, kata Rene, justru lantaran Burundi dikelola oleh orang Tutsi elite, dengan menyingkirkan orang-orang Hutu. Sekalipun Buyoya dapat menghimpun Tutsi moderat di seputarnya dan menekan Tutsi ekstrimis, khususnya di ketentaraan, dana pinjaman itu, menurut para donatur Barat, masih kurang aman. Oktober lalu, Kongres mengesahkan resolusi tanpa syarat yang mengaitkan bantuan Amerika mendatang dengan upaya Burundi untuk menghentikan kekerasan dan menghilangkan ketimpangan antarsuku. Barangkali untuk menyambut tekanan macam itu, akhir Oktober lalu, Presider Buyoya mengumumkan penunjukan politikus Hutu ternama, Adrien Sibomana, untuh mengisi pos baru perdana menteri. Buyoya juga menambah jumlah orang Hutu yang menjadi kabinet, dari tujuh menjadi sebelas. "Saya tak yakin bahwa bila seorang Hutu memerintah, itu akan merupakan salah satu keadilan sosial," tutur seorang profesor suku Tutsi di sebuah universitas. "Mereka membunuh wanita dan anak-anak. Mengapa? Bukankah mereka kemudian akan membunuhi semua orang Tutsi? Orang-orang Tutsi akan mempertahankan diri sendiri. Akulah yang mula pertama akan melakukannya. Dan itu adalah jawaban buat survival." Demikianlah tugas Buyoya tetap sulit. Seperti nenek moyang mereka dulu di Stanley dan Livingston -- kini menjadi Burundi -- antara kedua suku itu masing-masing dihinggapi perasaan syak dan wasangka. Mereka selalu ingat pada masa lalu, tatkala racun menjadi senjata umum. Ketika itu semua botol -- minuman ringan, air soda, atau bir -- jangan dulu dibuka sebelum dihidangkan di meja. Seorang Burundi, kabarnya, tak akan mau menerima minuman tanpa mengetahui dari botol mana asalnya. Beberapa waktu setelah pembantaian, tradisi itu menghangat lagi, bahkan lebih hangat dibanding sebelumnya. Terutama di kalangan Tutsi yang moderat dan terpelajar. Mereka telah lama sepakat, keselamatan Burundi tercapai apabila ada lebih banyak kesamaan antara Hutu dan Tutsi. Tutsi yang menempati posisi terhormat serta mendapatkan gaji yang baik inilah yang ketakutan. Tak lama setelah pembunuhan, selebaran menjijikkan beredar di ibu kota mengajak semua Hutu untuk mengangkat senjata mengenyahkan Tutsi. Hanya setelah kekuasaan Tutsi tercampak, kata pamflet itu, orang Hutu bisa berharap hidup damai. Intrik, bagaimanapun juga, meruyak tatanan sosial Burundi. Orang-orang pun penasaran, dari manakah selebaran itu berasal. Adakah itu gas beracun yang ditebar oleh kelompok kecil ekstremis Hutu, mungkin pelajar Hutu di luar negeri. Ataukah pamflet-pamflet itu -- menunjuk pada kebengisannya, kata sejumlah teori yang masuk akal -- kerja provokasi orang Tutsi? Selama beberapa malam, dua bar di pusat ibu kota kosong. Padahal, sebelumnya orang-orang Tutsi kelas atas yang membawa pas jalan, yang memungkinkan mereka lolos dari jam malam, memenuhi bar-bar itu. Beberapa hari kemudian, enam orang Hutu ditangkap dan didakwa mengobarkan "sentimen rasial". Mereka sebagian dari 27 orang Hutu -- para mahasiswa dan pembantu sipil -- yang menandatangani surat terbuka pada Presiden Buyoya. Mereka meminta agar pembantaian antarsuku itu diusut, dan minta berbagai kekuasaan lebih banyak. Sebagian besar Tutsi Burundi ingat apa yang terjadi di Rwanda tahun 1959. Di pemberontakan itu, Hutu membikin sentakan, memotongi kaki Tutsi untuk membikin pendek tubuh mereka. "Itu trauma besar," kata seorang Belgia penduduk Bujumbara, yang waktu itu berada di Rwanda. "Di sini, di Burundi itu adalah soal hidup dan mati buat orang Tutsi. Mereka merasa, engkau pun akan membunuh sebelum engkau dibunuh."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus