Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Negeri tanpa damai

Usaha presiden burundi p. buyoya tak berhasil. perang hutu-tutsi makin bergejolak, bermula dari terbunuhnya pangeran rwagasore. burundi yang sempat bersatu, pecah oleh ketidakpuasan tutsi tentang kekuasaan.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI manakah negeri kecil yang tengah berdarah itu? Di sana. Di pedalaman belahan tenggara Benua Afrika. Persis di tepi timur laut Danau Tanganyika. Dulu, sebelum merdeka pada 1962, ia bernama Urundi. Terkurung di tengah-tengah negeri tetangganya, jauh dari embusan angin laut. Tanzania membelitnya dari timur laut sampai selatan, memisahkannya dengan Samudra Hindia. Bagi rakyat Burundi, pantai senantiasa kabar yang hebat, yang mengundang hasrat untuk datang melihat. Tetapi, Burundi tidak sendirian. Zaire, dulu Kongo, tetangganya di barat, juga mustahil disinggahi riak samudra. Seluruh luas bentangannya berada di jantung Afrika. Lalu Rwanda, tetangga terdekat di utara, yang sama mungilnya, bernasib sama. Ya, mungil. Tanah Burundi hanya 27.865 kilometer persegi -- bandingkan dengan Indonsia, yang 5193.250 kilometer persegi. Sebuah wilayah sempit yang sebagian besar berada di dataran tinggi, lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut. Seperti halnya Rawanda, Burundi adalah bagian dari rangkaian pegunungan kuno Precambrian, yang membujur dari utara ke selatan melalui Afrika Timur. Kendati tak memiliki laut Burundi tidak pernah merasa kekurangan air. Selain menguasai separuh bagian utara. Danau Tanganyika -- bagian lainnya dimiliki Zaire dan Tanzania -- Burundi diberkahi dua sungai besar: Ruzizi dan Ruvubu. Sungai Ruzizi, anak Sungai Kongo-Nil, cabang Sungai Nil di Zaire, mengalir deras dari utara ke selatan, berhenti di Danau Tanganyika. Lembah di tepi-tepinya menjanjikan kesuburan. Ruvubu, anak Sungai Kagera, di paruh timur juga menciptakan lembah-lembah hijau. Curah hujan rata-rata 1.400 milimeter. Iklim masih tergolong tropis, dengan variasi suhu udara di berbagai tempat. Di daerah terendah mencapai 33C, di pegunungan 21C, sedang di wilayah berketinggian 6.500 kaki hanya 6C. Dalam kondisi geografis dan iklim semacam itulah sebagian besar rakyat Burundi hidup bercocok tanam. Pemerintah secara serius menggalakkannya, karena tahu persis, sektor pertanianlah yang bisa diandalkan untuk memasukkan devisa. Sekitar 50,9% wilayah Burundi dimanfaatkan untuk pertanian. Dan hasilnya memang memadai. Lebih dari 50% penghasilan negara diperoleh dari sini. Kopi adalah tanaman idola. Ia menjadi komoditi ekspor terpenting. Tahun 1984 saja mencapai 83,6% dari keseluruhan nilai ekspor. Sekarang, masih di atas 80%. Sebagian besar dilempar ke Jerman Barat (33,5%). Teh menduduki peringkat kedua, meski persentasenya di bawah 10 persen. Sedang katun, daging, dan nanas hanya menjadi barang ekspor sampingan. Sementara itu, hutan seluas kurang lebih 600 kilometer persegi itu -- 2,4% dari keseluruhan wilayah -- tidak banyak memberikan nilai tambah, kecuali kayu-kayu untuk keperluan dalam negeri. Penduduk Burundi tidak banyak. Sensus tahun 1986, menurut catatan Britanica World Data, cuma 4.830.000 jiwa. Terbagai dalam empat kelompok suku besar: Hutu atau Bahutu (83,3%), Tutsi atau Batutsi (14,2%), Twa Pigmy atau Batwa Pigmy (1%), Zairian (1,6%), dan para pendatang -- seperti dari Eropa, Asia, atau Arab -- teramat minoritas (hanya 0,1%). Sebanyak 79,5% penduduk menganut agama Kristen -- 73,3 persen Katolik Roma dan hanya 4,4 Protestan. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Kurundi. Mereka, penduduk itu, tersebar di 13 provinsi: Bubanza, Bujumbura, Bururi, Cankuzo, Cibitoke, Gitega, Karuzi, Rutana, dan lain-lain. Tahun 1990 nanti pemerintah memperkirakan, jumlahnya akan mencapai 5.305.000, hampir lima setengah juta. Tetapi dengan kepadatan 186 jiwa per kilometer, Burundi termasuk wilayah berpenduduk padat menurut ukuran Afrika. Sebab-musabab meletusnya perang suku yang terjadi beberapa waktu lalu sebenarnya dapat dirunut dari komposisi jumlah penduduk. Hal itu lebih ditunjang oleh perebutan pengaruh dan pembagian kue kekuasaan yang tidak imbang di Burundi. Kebudayaan, bagi Burundi, nampaknya juga bukan faktor penyulut. Di sana hampir tidak ada perbedaan adat-istiadat, bahasa maupun norma-norma sosial religius. Karena hampir 80% menganut Nasrani. Sedang masalah bahasa pun tak mempengaruhi meletusnya perang, kendati di sana ada sebagian masyarakat yang mengucapkan bahasa Prancis. Padahal, di Belgia, suku Vlaam, pemakai bahasa Belanda, dan Wallon, yang menggunakan bahasa Prancis Kuno, sampai hari ini belum menyelesaikan ketegangan mereka akibat perbedaan bahasa itu. Sementara itu, masalah kemiskinan nampaknya hanya menjadi faktor tambahan. Apalagi bila mengingat hasil per kapita di sana yang sudah mencapai 220 dolar Amerika, berada di atas rata-rata rakyat Afrika lainnya. Bandingkan dengan hasil per kanita di Indonesia, yang 500 dolar ini. Artinya, kemiskinan Burundi belum terlalu mengenaskan. Perebutan kekuasaan. Inilah petaka dunia yang mulai diperkenalkan orang-orang Tutsi sejak 400 tahun silam. Ketika itu mereka adalah gerombolan penggembala yang datang dari utara. Sedikit demi sedikit ditaklukkannya suku-suku di Rwanda dan Burundi. Kedua negeri ini disatukan di bawah pemerintahan para mwami (raja) dari suku Tutsi. Tetapi ketika Jerman memasukinya, pada 1897, kekuasaan itu dipecah dua, menjadi Burundi dan Rwanda. Di akhir Perang Dunia I, Jerman morat-marit dihajar Sekutu. Tentara Belgia, yang kebetulan menguasai Zaire, dengan mudah menyeberang ke Burundi. Sejak 1916 Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada Belgia untuk mengurus Kongo dan Burundi di bawah satu buku administrasi. Setelah Perang Dunia II, status kedua negeri ini dimasukkan ke dalam Daerah Pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang disatukan dengan Rwanda. Sedang administrasinya tetap dipegang Belgia. Rakyat Burundi segera memahami bahwa penjajahan adalah malapetaka. Semangat kebangsaan pun perlahan-lahan muncul, menurunkan sejenak kobaran rasa kesukuan. Tahun 1950 suku-suku itu membentuk pergerakan kebangsaan di bawah pimpinan Pangeran Louis Rwagasore -- putra tertua Raja Mwabutsa. Di beberapa tempat memang masih terjadi perkelahian. Tahun 1959, misalnya, bentrokan akbar pecah di dekat garis perbatasan Burundi dan Rwanda. Karena orang-orang Tutsi mendominasi kawasan ini, maka banyak orang Hutu yang terpaksa hijrah ke Tanzania, Zaire, atau ke wilayah Burundi yang lain. Pangeran Rwagasore tentu saja prihatin melihat peristiwa berdarah tersebut. Tak bosan-bosannya ia menyerukan semangat kebangsaan. Namun, Belgia tak senang. Dan nasib malang menimpa pangeran yang tampan ini -- menurut ukuran Afrika. Malam itu adalah bulan Oktober 1961. Rwagasore sedang menikmati keindahan alam sambil santap malam di beranda sebuah restoran di tepi Danau Tanganyika. Tiba-tiba beberapa pelor yang dilepaskan seorang Yunani, kaki-tangan Belgia, membuatnya tewas berlumur darah. Seluruh rakyat marah. Mereka, Tutsi, Hutu, maupun Twa Pigmy, bergabung menyusun pemberontakan. "Pembunuhan itu betul-betul mengubah sejarah negeri," kata seorang diplomat asing di Bujumbura, ibu kota Burundi, sebagaimana dikutip The New York Times Magazine bulan lalu. Diplomat itu nampaknya hendak berkata bahwa perasaan sukuisme di Burundi mendadak reda akibat terbunuhnya Rwagasore. Burundi bangkit dalam semangat kebangsaan menggebu-gebu. Dengan persenjataan sederhana, mereka berusaha mengharu-biru pendudukan Belgia. Kendati korban berjatuhan di pihak inlander Belgia pun tidak betah tinggal lebih lama. Akhirnya, Belgia memberikan kemerdekaan pada 1 Juli 1962, hampir bersamaan waktunya dengan Rwanda. Alam kemerdekaan dan perjalanan sejaral ternyata tidak melumatkan emosi kesukuan. Bedanya, sekarang orang Tutsi tidak lagi berkuasa. Mwabutsa tamat kisahnya. Takhta kerajaan atas nasihat Belgia -- sebaiknya dipegang oleh pemimpin suku mayoritas. Naiklah Ntare, pemimpin suku Hutu. Selama empat tahun ia menjabat mwami. Kue kekuasaan pun dibagi menurut seleranya. Tetapi ia tidak mengabaikan orang-orang Tutsi yang memiliki kelebihan dalam berbagai hal, termasuk di bidang perekonomian. Michel Micomboro, misalnya, diangkat menjadi kepala pasukan kerajaan. Hanya saja, Tutsi tidak cukup puas. Mereka menghendaki kekuasaan sepenuhnya. Tentu saja suku Hutu gusar luar biasa. Bibit persatuan yang telah terbentuk mendadak berantakan. Masyarakat Hutu mulai membunyikan genderang perang. Angin, anti-Tutsi berembus kencang di seluruh negeri. Sebaliknya, orang-orang Tutsi tak mau tinggal diam. Bentrokan-bentrokan mulai muncul: Hutu vs Tutsi. Dari hari ke hari semakin ganas dan mencemaskan. Suku-suku lainnya cukup menonton di luar lingkaran medan tempur, meski dengan perasaan cemas. Kalangan terpelajar Burundi, terutama dari suku Tusti, memanfaatkan kekacauan berantai itu untuk mengecam Ntare. Mereka menilai, sistem kerajaan yang telah ratusan tahun diterapkan itu tiba saatnya untuk disingkirkan. Mereka melancarkan isu pembangunan alam demokrasi melalui bentuk negara republik. Ini penting untuk menghentikan iri dengki kesukuan. Karena kekuasaan absolut di tangan raja cenderung mengakibatkan pembagian kekuasaan yang tidak merata. Kelompok militer pun rupanya sudah lama mengincar takhta. Di bawah pimpinan Michel Micomboro, militer mengadakan hubungan dengan kaum "republiken" yang ada. Paling tidak untuk memperoleh dukungan bila sewaktu-waktu meletus kudeta. Dalam sejarah memang tercatat bahwa bilamana militer menghendaki kekuasaan, kesempatan itu sebentar lagi bakal tiba. Dan riwayat kekuasaan Ntare habis pada 28 November 1966, tatkala militer melancarkan kudeta. Micomboro tentu tidak melupakan kehendak kalangan terpelajar warga Tutsi. Ia memproklamasikan perubahan bentuk negara menjadi Republik Burundi. Sebagai imbalannya ia "menawarkan" diri sebagai presiden pertama. Hasilnya sudah bisa diduga: tidak ada yang berani menolak! Selanjutnya giliran Hutu yang gemas. Micomboro ternyata terlampau ke-Tutsi-Tutsi-an. Pembantu-pembantu terdekatnya diambil dari sukunya sendiri. Berbagai kesempatan emas, seperti menjadi pegawai negeri, memperoleh pendidikan ke luar negeri, menjalankan proyek-proyek negara, diberikan kepada orang Tutsi. Keruan Hutu jengkel. Genderang perang suku kembali terdengar. Tahun 1972, perkelahian meletus dahsyat. Dimulai oleh orang Hutu, Burundi betul-betul riuh waktu itu. Sumpit, bedil, panah atau benda apa saja yang bisa dijadikan senjata, dihunus. Sebagai presiden, Micomboro tentu tidak tinggal diam. Dengan alasan menenteramkan negara, ia mengerahkan tentara untuk menghentikan kerusuhan. Tetapi pasukannya terlalu pilih kasih. Dibantainya orang-orang Hutu, sementara Tutsi cenderung dilindungi. Walhasil, korban berjatuhan, sekitar 100.000 nyawa, sebagian besar warga Hutu. Tindakan Micomboro tak menyenangkan Hutu. Diam-diam mereka menyusun kekuatan. Dari kediamannya yang selalu diawasi, raja terguling Ntare meniupkan pemberontakan Hutu semesta. Tetapi Micomboro mencium niat jailnya. Tahun 1977, Ntare ditembak mati. Justru inilah yang menyulut pemberontakan Hutu. Burundi kembali mandi darah. Lagi-lagi perang berkobar, ribuan korban jatuh, kehidupan ekonomi kalang kabut. Dan untuk kedua kalinya, Micomboro mengerahkan tentara, menumpas ganas kaum pemberontak. Berhasil. Burundi terpaksa diam dengan dendam kesumat masih menyala. Lidah api di balik kepalanya. Lewatnya tahun tetap tak menghapus dendam. Hanya Micomboro yang sudah turun panggung. Jean Baptise Bogaza terpilih sebagai penggantinya. Presiden kedua ini sikapnya lebih cinta Tutsi lagi, tinimbang Micomoro. Hutu dibersihkan dari jabatan-jabatan penting. Sekitar 5.200 tentara -- jumlah personel tahun 1985 dimanfaatkan secara efektif untuk memojokkan Hutu. Sikap seperti itu agaknya bertentangan dengan Pierre Buyoya, seorang perwira yang memiliki pandangan lebih arif. Tahun 1987, ia menjatuhkan Baptise lewat sebuah kudeta. Di masa kekuasaan Buyoya, orang-orang Hutu mendapat angin segar. Buyoya memberikan peluang-peluang di berbagai sektor kepada mereka. Sedapat mungkin, ia menekan perbedaan pemberian kesempatan dan perlakuan terhadap seluruh warga Burundi. Inilah sebuah perubahan mendasar, sebuah pembaruan sikap dalam menghadapi kerusuhan suku. Hutu menyambutnya dengan senang. Sebaliknya, warga Tutsi, terutama yang tinggal di daerah-daerah dan yang masih tebal rasa kesukuannya, menolak glasnost versi Buyoya ini. Mereka mengungkit lagi superioritas Tutsi. Dan Hutu bergegas pasang kuda-kuda. Dendam kesumat yang semula agak surut tiba-tiba mendidih kembali seperti tahun-tahun sebelumnya. Bulan Agustus 1988, glasnost Buyoya tak mujarab. Perang Hutu-Tutsi tak terhindarkan lagi. Di manakah negeri kecil yang berdarah itu? Di sana. Di mana damai tak pernah singgah. Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus