Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bush Berang, Militer Terlibat?

Insiden penembakan warga AS di Timika bikin gerah Washington. Bantuan militer terancam disetop. Bagaimana pembelaan TNI?

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIA itu meninggalkan ruangan bagai seorang jenderal kalah perang. Di Markas Kepolisian Daerah Papua, ia mengemasi barang-barangnya. Raut mukanya sedikit tegang, tapi ia berusaha rileks. Sambil mengapit sebuah tas kecil, ia bergegas. "Saya ke Bandara Sentani dulu, ya," katanya kepada TEMPO. Tak ada pengawal atau ajudan pribadi yang mendampinginya hari itu.

Senin pekan lalu itu adalah hari yang murung bagi Wakil Kepala Kepolisian Papua, Brigadir Jenderal Raziman Tarigan. Ia harus hengkang dari kantor pada saat koleganya mengikuti rapat penting dengan anggota Komisi II DPR. Ironisnya, agenda yang dibahas adalah peristiwa yang sebelumnya mencuatkan nama Raziman: penembakan di mil ke-62,5 Freeport Tanjungpura. Raziman menuding, insiden yang menewaskan tiga orang ini—dua di antaranya warga AS—dilakukan oleh aparat TNI. "Saya sebenarnya ingin ikut dalam pertemuan itu. Tapi saya disuruh menjemput Wakil Kepala Polda yang baru," katanya getir.

Tak jelas siapa yang menyuruh Raziman meninggalkan kantor. Tapi, yang pasti, sejak pekan lalu, ia memang tak lagi punya wewenang di Polda Papua: posisinya digantikan Komisaris Besar Polisi Tommy Trider Jacobus. Raziman harus angkat koper kembali ke Jakarta. Bersama Raziman, juga terdepak Ajun Komisaris Besar Polisi H. Sumarjiyo, Kepala Kepolisian Resor Mimika (Timika)—orang yang juga mempercayai TNI di belakang insiden Timika.

Tersingkirnya dua petinggi polisi ini hanyalah salah satu dampak tragedi Timika. Ekses lainnya mendunia. Amerika berang: Presiden George W. Bush meminta Indonesia segera mengusut kasus ini dan menawarkan bantuan FBI, penyelidik federal AS, untuk membantu mencari pelaku penembakan. "Amerika akan menunda bantuan militer kepada Indonesia hingga hasil investigasi yang memuaskan diperoleh," kata Bush kepada Presiden Megawati, seperti dikutip harian Sydney Morning Herald.

Kenneth Michael Balk Hopkins dan Saundra Joy Elizabeth Hopkins—suami-istri warga AS yang terluka dalam insiden Timika—kini "bergerilya" di Kongres untuk meminta parlemen AS menjatuhkan sanksi kepada Indonesia. "Ini bisa menjadi faktor penguat bagi Kongres untuk tidak memulihkan hubungan militer kedua negara," kata Hasnan Habib, bekas Duta Besar Indonesia di Washington, kepada wartawan Tempo News Room, Budi Riza.

Pemerintah Indonesia bukan tidak bertindak. Minggu pekan lalu, sebuah rapat penting dilakukan di Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Terkesan mendadak, rapat ini dihadiri oleh Menteri Koordinator Susilo Bambang Yudhoyono, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, dan sejumlah petinggi militer lainnya. Agendanya mendengarkan temuan investigasi tim gabungan TNI dan polisi yang baru kembali dari Timika. Hasilnya? Seperti menganulir temuan polisi, menurut Susilo, "Pemerintah belum dapat menemukan pelaku penembakan." Tim juga belum menemukan indikasi keterlibatan TNI dalam kasus ini.

Peristiwanya terjadi pada 31 Agustus 2002. Ketika itu, di sebuah kelokan di mil ke-62,5 jalan raya Timika, tiga bus sekolah internasional Tembagapura yang mengangkut rombongan guru diberondong peluru oleh orang tak dikenal. Tiga orang penumpang bus pertama tewas seketika. Mereka adalah Ted Burcon dan Rickey Spear (keduanya warga AS), serta F.X. Bambang Riwanto (Indonesia). Sembilan "bule" lain luka-luka. Penumpang bus kedua dan ketiga lolos dari maut.

Polisi bertindak. Mereka memeriksa saksi, dan hingga awal Januari lalu telah memberkas kesaksian 98 orang—baik karyawan PT Freeport maupun masyarakat sekitar. Dan yang terpenting, polisi mendapat keterangan dari Decky Murib, seorang sipil binaan yang pernah menjadi informan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), satuan elite di Angkatan Darat. Kesaksian ini menegaskan keterlibatan TNI dalam tragedi mil ke-62,5.

Alkisah, dua minggu setelah penyerangan, Decky, yang gelisah karena merasa telah ikut terlibat dalam pembantaian itu, melapor ke polisi. Di Markas Polda Papua, 18 September 2002, di hadapan Wakil Kepala Polda Raziman Tarigan, sejumlah polisi lainnya, seorang pastor, serta aktivis organisasi non-pemerintah, dia menunjuk keterlibatan tentara dalam peristiwa berdarah itu.

Pada hari nahas itu, Decky sedang sarapan pagi di Hotel Serayu, Timika. Ia lalu diajak oleh Kapten Margus Arifin, aparat Kopassus yang telah lama dikenalnya, untuk pergi ke Tembagapura. Bersama Margus ikut juga 10 orang berbadan tegap, memakai rompi hitam dalam sebuah mobil Freeport bernomor 609. "Beberapa anggota rombongan saya kenal karena pernah saya lihat waktu upacara di Polres atau Kodim," kata Decky.

Beberapa menit berkendaraan, di mil ke-58, Decky mengaku diturunkan dari mobil bersama empat orang penumpang lainnya. Sementara Margus dan penumpang sisanya melanjutkan perjalanan. Di sana, Decky diberi minum dua botol bir dan langsung mabuk. "Yang lain tidak ikut minum. Rasa minuman itu agak lain dari biasanya," katanya. Dalam keadaan setengah teler itulah ia mendengar tembakan. "Saya tanya apakah itu tembakan Komandan (Margus). Mereka bilang bukan," kata Decky.

Tak lama kemudian rombongan Margus kembali. Ia meminta Decky dan kawan-kawan naik mobil dan mereka tancap gas kembali ke Timika. Tapi, anehnya, baru di mil ke-50, Margus berubah pikiran. Ia memerintahkan sopir kembali ke atas, ke lokasi tembakan. Di sana mereka membantu korban, sementara Decky, karena mabuk, kembali ke Timika. Raziman menduga sepak terjang pasukan ini bagian dari sebuah operasi intelijen.

Dugaan polisi ini diperkuat dengan penemuan mayat Elly Murib alias Eliken Kwalik, salah seorang anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), oleh TNI di dekat lokasi tak lama setelah insiden itu. Semula polisi percaya Elly Murib—yang ditembak TNI dalam sebuah operasi pasca-insiden—adalah bagian dari pelaku penembakan warga AS itu.

Tapi polisi menemukan banyak keanehan. Di tempat Elly tergeletak tak ditemukan ceceran darah. Saat ditemukan, hanya enam jam setelah peristiwa, jasadnya sudah dimakan ulat. Padahal lokasi kejadian yang bercuaca dingin mestinya tak akan membuat mayat membusuk secepat itu. Visum dokter menyimpulkan Elly memang sudah tak bernapas lama sebelum penembakan (lihat TEMPO, 1 Desember 2002). Polisi menduga ini cuma akal-akalan tentara untuk menyembunyikan jejak.

Kecurigaan polisi ini dibenarkan seorang petinggi Freeport. "Kondisi mayat sudah kaku. Saya tak lagi yakin 100 persen bahwa TNI tak terlibat," kata sumber itu. Padahal, pada awalnya Freeport menduga tokoh OPM bernama Titus Murib yang bertanggungjawab atas serangan ini. Tapi tentara membantah. Menurut juru bicara TNI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, peristiwa tanggal 31 Agustus dan penemuan mayat Elly adalah dua hal yang terpisah. "Itu nggak ada hubungannya," kata Sjafrie.

Keterangan ini agak mengherankan. Soalnya, selama beminggu-minggu, soal jenazah Elly itulah yang jadi silang sengketa antara TNI dan Polri. Ada dugaan, TNI ingin menganulir argumennya tentang jenazah Elly Murib—yang dinilai lemah—sekaligus mencari bukti baru untuk mematahkan keterangan Decky.

Untuk "perang argumen" itu, TNI dan Polri memang telah menurunkan beberapa tim investigasi ke lapangan. Mula-mula polisi dan tentara di tingkat lokal. Belakangan datang tim dari Markas Besar Angkatan Darat, kemudian tim Mabes TNI. Karena tak juga ada kecocokan, lalu dibentuk tim gabungan. Hasil tim bersama yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Hendardji (Puspom TNI) dan Brigjen Indarto (Polri) inilah yang dibahas dalam rapat Politik dan Keamanan pekan lalu. "Tim terakhir ini dibentuk agar dua institusi itu melihat sama-sama. Karena sebelumnya temuan keduanya tidak pernah sama," kata Komandan Puspom TNI, Mayor Jenderal Sulaiman A.B.

Tapi betulkah tim gabungan itu bekerja kompak seia sekata? Tidak selalu. Seorang anggota tim polisi mengeluh, penyidik TNI terkesan ingin menganulir temuan polisi sebelumnya. "Akibatnya, banyak saksi yang pada awalnya berani bicara belakangan mengubah keterangannya," kata polisi itu.

Sebelum tim bersama terbentuk, perseteruan lebih kental. Kepala Polres Mimika yang tersingkir, Komisaris Besar Sumarjiyo, bercerita bahwa ia dan anak buah sempat dihujani tembakan oleh pasukan tak dikenal ketika mendatangi TKP beberapa jam setelah insiden. Anehnya, "Permintaan bantuan polisi ke pos TNI terdekat tak langsung ditanggapi," kata Sumarjiyo.

Pada kesempatan lain, beberapa kali investigasi polisi terhambat karena aparat harus meminta izin kepada TNI untuk bisa mendekati lokasi. "Tempat kejadian juga sudah sudah diacak-acak," kata Sumarjiyo. Barang bukti, seperti selongsong peluru, kebanyakan diterima polisi dari tentara, bukan mereka temukan di lapangan.

Tentara membantah telah menghalang-halangi polisi. Mereka malah balik menuding polisi terlalu gegabah mengambil kesimpulan. Keterangan Decky Murib dinilai tak valid. Menurut Hendardji, ketika dilakukan uji dengar di lapangan, dari mil ke-58, sejumlah saksi terbukti tak mampu mendengar suara tembakan yang meledak di mil ke-62,5. Keterangan Decky tentang Kapten Margus juga dinilai bohong. Margus disebutkan tinggal di kamar 607 Hotel Serayu, "Ternyata, setelah dicek, kamar itu ditempati orang yang namanya Sasmito," kata Hendardji. Berkali-kali tim Hendardji mengundang Decky untuk menghadiri rekonstruksi, tapi berkali-kali pula Decky tak datang.

Kepada TEMPO, Decky membantah tudingan tim investigasi TNI. "Saya mendengar tembakan dari jarak yang lebih dekat dari yang mereka katakan. "Soalnya lokasi (rekonstruksi) ditunjuk oleh mereka sendiri," katanya. Ia sengaja tak memenuhi undangan Hendardji. Tapi bukan tanpa sebab. Akhir Desember lalu, ia mendatangi Markas Polisi Militer Timika. Hatinya tak enak begitu mendengar panggilan Kapten Margus Arifin yang lebih awal datang. Decky lari masuk hutan untuk bersembunyi. "Saya selalu teringat Pak Theys, yang dibunuh setelah bertemu tentara," katanya. Theys Hiyo Eluay adalah Ketua Presidium Dewan Papua dan kepala suku Sentani yang tahun lalu tewas dibunuh Kopassus setempat.

Mana yang benar? Sulit memastikannya. Yang pasti, insiden Timika telah membuat orang mereka-reka tentang motif pelaku.

Tentara, yang meyakini kejadian ini sebagai ulah OPM, mempercayai insiden Timika sebagai upaya organisasi kemerdekaan Papua untuk mendiskreditkan TNI. Mereka percaya, pelakunya adalah rombongan Titus Murib, komandan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka, yang beroperasi di kawasan Kabupaten Mimika dan di kawasan Pegunungan Tengah. Dalam struktur OPM, Titus Murib adalah tangan kanan Kelly Kwalik, Komandan Wilayah Pegunungan Tengah. Kelly adalah tokoh yang pernah menggemparkan dunia ketika menculik sejumlah peneliti asing dalam insiden Mapenduma 1996 lalu. "OPM telah merencanakan untuk menyerang proyek-proyek vital," kata seorang jenderal Angkatan Darat. Jenderal itu menyodorkan bukti: kopi surat Panglima Tertinggi OPM Mathias Wenda tertanggal 14 September 2002 yang berisi perintah penyerangan. Sejauh mana kebenaran surat itu? Wallahualam.

Skenario ini dibantah polisi. "Sejak semula penyelidikan kami tidak mengarah pada OPM," kata Sumarjiyo. "Selama dua tahun saya bertugas di Timika, hampir tidak ada peristiwa penembakan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka." Polisi berkeras pelakunya adalah tentara.

Aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) juga cenderung menuding tentara. "Insiden itu tipikal militer Indonesia dan tak mungkin dilakukan OPM. Saya telah bertemu dengan Kely Kwalik dan ia menyatakan tidak melakukan penembakan itu," kata John Rumbiak, aktivis Elsham Papua.

John kini tengah berada di Amerika untuk melobi pemerintah AS agar menekan pemerintah Indonesia karena kasus Timika.

Lalu apa motif tentara? Ada yang mempercayai ini soal fulus. Telah lama tentara mendapat jatah dari Freeport. "Jumlahnya sekitar Rp 400 ribu per prajurit," kata Sjafrie mengakui. Seorang petinggi perusahaan tembaga dan emas itu menyebutkan, mereka mengeluarkan US$ 4 juta hingga US$ 6 juta setahun. "Tapi 80 persen di antaranya berbentuk barang, bukan uang," katanya. Bantuan itu berupa makanan, bahan bangunan, dan pengobatan. Sisanya untuk uang saku personel dan biaya operasional pengamanan obyek vital, seperti pengadaan suku cadang tiga helikopter TNI. Di luar itu masih ada yang lain, misalnya pernah dikucurkan sekitar US$ 30 ribu untuk perbaikan rumah sakit militer. Dibandingkan dengan dana yang dikucurkan untuk community development yang sekitar US$ 25 hingga US$ 35 juta setahun, biaya pengamanan ini dinilai pejabat tadi wajar saja. Namun, sumber TEMPO di kalangan LSM Papua menyebut, setelah insiden Timika, terjadi peningkatan bujet Freeport untuk TNI menjadi tiga kali lipat.

Soal peningkatan bujet itu dibantah oleh manajemen Freeport. "Saya kira itu tidak benar. Tapi saya tidak tahu persis berapa dana keamanan yang dikeluarkan Freport," kata Hermani Suprapto, manajer umum perusahaan tambang itu. Tudingan ini juga disangkal oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Sjafrie Sjamsoeddin.

Hampir lima bulan setelah kejadian itu, belum jelas ke mana kasus ini akan bergulir. Secara formal, pemerintah RI masih menunggu hasil kerja tim gabungan polisi dan Puspom TNI yang belum bisa ditentukan kapan akan dirampungkan. Waktu terus berjalan, tim gabungan Puspom dan Polri kini jadi sorotan. Apalagi mata Abang Sam kini tengah mendelik tajam.

Arif Zulkifli, Fajar W.H., Edi Budyarso, Tomi Lebang (Jakarta), Wenseslaus Manggut, Cunding Levi (Timika), Supriyono (New York)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus