SEBUAH pengakuan bisa bermula dari sapaan di pasar. Berawal dari perjumpaan di sebuah siang, di Pasar Timika, sehari setelah peristiwa maut 31 Agustus tahun lalu, yang membuat pemerintah Amerika mencak-mencak, dalam kondisi mabuk, Decky Murib bertemu dengan Ibu Yoaken, istri kerabatnya yang menjadi pegawai sipil di Komando Distrik Militer Timika.
Saksi kunci kasus penembakan yang menewaskan dua warga Amerika dan seorang warga Indonesia itu terkejut saat Ibu Yoaken menanyakan kasus Timika tersebut. "Decky, ko (kau) pasti tahu pelaku penembakan di mil ke-62 itu, kan?" tanya si Ibu. Dengan mimik merah setengah kaget, ia pun balik bertanya, "Kenapa bertanya begitu? Berarti Ibu sudah tahu, ya?" Ibu Yoaken sering melihat Decky berakrab-ria dengan tentara. Tanpa ragu-ragu, ia pun menegaskan, "Ya, saya tahu peristiwa itu."
Sejak saat itu, hati Decky gundah. Atas bujukan keluarganya, akhirnya ia meminta perlindungan Tom Beanal, tokoh Papua Merdeka. Ia pun disembunyikan di Gereja Katolik. Di situ ia bertemu dengan Pastor Jongga.
Setelah empat hari bersembunyi, dia dibawa ke kantor sebuah LSM yang berdekatan dengan pastoran itu. Di kantor itu sudah ada Tom Beanal, Jhon Rumbiak (dari Elsham Papua), Paulina Makabori (kontak Elsham di Timika), Demi Bebari (dari Lemasa), serta Pastor Jongga. Di hadapan orang-orang tersebut, ia bercerita tentang peristiwa penembakan Timika itu. Mereka meminta agar Decky pergi ke Elsham Papua.
Setelah menginap tiga hari di rumah Paulina, Decky dipertemukan dengan Kepala Satuan Intel Kepolisian Daerah Papua, yang akan mengawalnya ke Jayapura. Kepergiannya ke Jayapura dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Beberapa pengurus Elsham Papua sudah menunggunya di Bandar Udara Sentani. Rombongan itu langsung membawa Decky ke Polda Papua. Mereka bertemu dengan Wakil Kepala Polda Papua Brigjen Raziman Tarigan, yang ditemani beberapa polisi lainnya. "Saya ditanya-tanya tentang kasus Timika dari siang sampai jam satu malam," katanya kepada TEMPO, Selasa pekan lalu.
Belum cukup. Esok harinya, ia kembali ke Polda Papua. Aktivitas pulang-pergi Polda-Esham Papua ini ia lakukan sejak 17 September hingga 2 Oktober 2002. Selama ia berada di Jayapura, keluarganya sering didatangi orang tak dikenal.
Di depan tim polisi, Decky pun ngoceh memberikan kesaksian tentang peristiwa penembakan itu. Ia mengaku sebagai tenaga bantuan operasi (TBO) Kopassus. Dengan detail ia menceritakan peristiwa 31 Agustus itu.
Begini kisahnya. Waktu itu, sekitar pukul 07.00 Waktu Indonesia Timur (WIT), Decky baru saja sarapan di Hotel Serayu, Timika. Tak lama kemudian, datang Kapten Margus Arifin (anggota Kopassus). Margus?di dalam berita acara pemeriksaan disebut Kapten Markus?langsung mengajaknya pergi. Dia bilang, "Murib, sebentar kita ke Tembagapura." Di depan hotel sudah menunggu mobil Freeport berwarna putih dengan nomor lambung 609. Di dalam mobil, kata Decky, ada 10 orang. Margus duduk di depan bersama sopirnya, yang juga anggota Kopassus, sementara ia duduk di belakang.
Decky mengaku pernah melihat kesepuluh orang itu sewaktu ada upacara di Polres atau Kodim Timika. "Semua berambut lurus dan badannya tinggi besar, pakai kaus dan rompi hitam, dan semuanya membawa senjata," katanya. Apa jenis senjatanya, Decky tak tahu persis. Kepada TEMPO, ia pernah mendeskripsikan bentuknya: warnanya hitam, pendek, di atasnya ada keker (teleskop), dan magasinnya di bawah agak miring.
Saat melewati pos penjagaan, mereka pun tak ditanyai macam-macam. Mereka berhenti di mil ke-58. Karena jalannya naik, Decky dan empat orang lain diturunkan, sementara Kapten Margus beserta yang lainnya naik ke arah Tembagapura. Saat berhenti itu, ia diberi lima botol bir hitam. "Saya minum dua botol sudah mabuk. Rasa minuman itu tidak seperti biasanya. Yang lain tidak minum. Kartu identitas saya diambil," ujarnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi "dor!" Tak lama kemudian, letupan "dor? dor!" terdengar kembali. Teman-temannya bilang tembakan itu bukan dari rombongan Margus, tapi dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tak lama kemudian, mobil yang membawa Margus datang. Margus pun segera meminta mereka cepat naik untuk kembali ke Timika. Namun, baru sampai di mil ke-50, rombongan ini naik ke tempat kejadian di mil ke-62. Di situ, kata Decky, sudah banyak tentara dan polisi berkumpul.
Tapi polisi tak gampang percaya. Brigjen Tarigan, yang memimpin investigasi kasus ini, langsung menunjukkan sederet foto anggota Kopassus. Decky mengaku, dua di antara anggota itu ikut dalam satu rombongan dengannya. Dua orang itu adalah Letnan Satu Wawan Suwandi dan Prajurit Satu Jufri Uswanas.
Polda Papua pun segera bereaksi dan melacak jejak kejadian. Tim Polda menyebutkan, pada 31 Agustus 2002 itu, kurang-lebih pukul 12.40 WIT, telah terjadi penembakan di mil ke-62 Tembagapura yang dilakukan sekelompok orang tak dikenal. Sasarannya lima unit kendaraan yang melintasi jalan itu. Tembakan itu menyebabkan tiga orang meninggal dan 12 orang menderita luka.
Peristiwa itu, menurut laporan polisi, diketahui setelah Andrew James Neale, karyawan Freeport, dihadang tiga orang tak dikenal. Begitu mendengar suara tembakan, Andrew, yang ikut dalam arak-arakan mobil itu, langsung berbalik arah dan melaporkan kejadian itu ke pos TNI terdekat, yang jaraknya kurang-lebih 2 kilometer ke arah Tembagapura.
Sekitar pukul 13.00 WIT, Komandan Kompi Kostrad 515 beserta anggotanya berangkat dari posnya di mil ke-64 menuju tempat kejadian perkara (TKP) di mil ke-62 dengan menggunakan mobil Defender. Pada saat itu, mereka juga telah ditembaki sekelompok orang tidak dikenal. Mereka pun sempat melakukan kontak senjata, tapi tidak ada korban jiwa.
Masih menurut versi polisi, penyerangan kelompok tak dikenal juga terjadi saat tim gabungan reserse Kepolisian Resor Timika dan reserse-intel kepolisian sektor setempat pada Minggu, 1 September, sekitar pukul 08.45 WIT, menuju TKP di mil ke-62. Tak ada korban jiwa dalam penyerangan ini. Tim ini pun akhirnya meminta bantuan dari Batalion Kostrad 515. Secara bersama-sama mereka akhirnya melakukan pencarian terhadap pelaku penembakan itu.
Sekitar pukul 12.00 WIT, bus Kostrad 515 dengan nomor lambung 14-0016 dari arah mil ke-58 yang menuju TKP juga ditembaki oleh kelompok tak dikenal. Tembakan itu hanya mengenai bagian atas kabin belakang bus. Tim ini juga melakukan penyisiran sekitar pukul 15.00 WIT. Hasilnya? Ditemukan mayat dari kelompok bersenjata yang tak dikenal di lokasi terjadinya kontak senjata di mil ke-62. Mayat ini oleh polisi disebut Mr. X. Belakangan diketahui Mr. X yang disebut itu adalah Elias Kwalik yang diduga dari OPM.
Dari hasil visum et repertum terhadap mayat itu, polisi menyimpulkan bahwa seluruh tubuh mayat sudah kaku. Bagian belakang tubuhnya lebam berwarna keunguan, kedua mata terbuka 3 milimeter, selaput bening mata telah keruh, ada tonjolan tulang di bawah kulit bahu dan wajah atas sebelah kanan, patah tulang lengan atas kanan, dan di bagian tengah perut di bawah tulang dada ada luka robek seluas 10 x 15 sentimeter. Ususnya terburai keluar dan mengering. Ulat kecil berkeliaran di sekitarnya.
Semula polisi menyimpulkan bahwa mungkin mayat mati kurang-lebih 6 jam sebelum tiba di Rumah Sakit Tembagapura. Kematian mungkin disebabkan oleh sebuah proyektil tajam berkecepatan tinggi yang masuk dari belakang dan tembus ke depan sehingga merusak pembuluh darah besar di dalam perut.
Polisi juga menyimpan barang bukti si mayat. Antara lain berupa topi hijau bergambar baret merah bertuliskan "Komando", satu buah kaus biru-putih bertuliskan "Chicago Bulls", satu ikat pinggang Kopri berwarna hitam, cincin akik hijau, gelang karet, gelang rotan, gelang secan warna-warni, dan kalung manik-manik.
Dari hasil pemeriksaan di lapangan, polisi juga menemukan kurang-lebih 143 lubang tembakan. Mereka juga menemukan sekitar 126 butir selongsong di TKP. Dari bekas lubang tembakan itu, menurut temuan polisi, tembakan dilakukan secara teratur dan terarah. Polisi mensinyalir pelakunya adalah orang yang cukup terlatih dengan senjata otomatis yang telah dilengkapi dengan peralatan canggih.
Dari hasil uji balistik diketahui bahwa peluru itu masing-masing berkaliber 5,56 mm dan 7,62 mm. Polisi memperkirakan jenis senjata api yang digunakan untuk menembakkan peluru kaliber 5,56 itu antara lain senjata api SS-1dan M-16. Sedangkan senjata api yang digunakan untuk menembakkan peluru kaliber 7,62 diperkirakan jenis SP buatan Pindad. Namun, untuk kepastiannya, pihak kepolisian Papua masih menunggu hasil identifikasi Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri.
Tudingan adanya keterlibatan TNI akhirnya membuat markas tentara gerah untuk turun juga menyelidiki. Menurut Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, markas besar sempat menerjunkan empat timnya. Tim pertama diturunkan Markas Besar TNI Angkatan Darat. Tim kedua dan ketiga diturunkan oleh Mabes TNI Cilangkap.
Hasil ketiga tim ini dianggap belum memuaskan. Sebab, mereka masih berkutat pada peristiwa tanggal 1 September. Padahal yang dimaui TNI adalah peristiwa 31 Agustus karena peristiwa itulah yang berbuntut pemerintah Amerika mencak-mencak kepada pemerintah Indonesia. Bahkan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto pun sempat menggugat harian The Washington Post yang menuding bahwa penembakan Agustus itu atas izinnya. Akhirnya, TNI dan Polri sepakat membentuk tim gabungan. Dari TNI ada 10 orang anggota dipimpin Brigjen Hendardji dan dari Polri 5 orang anggota dipimpin Brigjen Indarto.
Hingga saat ini, tim gabungan itu terus bekerja. Tim itu bekerja berdasarkan laporan Decky di Polda Papua. Mereka juga memeriksa sejumlah saksi. Mereka pun bertemu dengan Decky. Semuanya diuji di lapangan. "Tak satu pun pengakuan Decky kepada polisi itu benar," kata Brigjen Hendardji. Sayang, saat uji pengakuan itu dilakukan, Decky tidak hadir. Jadinya, upaya membongkar kasus ini agak tersendat.
Apalagi banyak keganjilan. Dalam laporan polisi disebut Mastur, 27 tahun, sopir Freeport yang menjadi korban penembakan di paha dan disebut-sebut mengenali wajah pelaku. Tapi, setelah ditemui, dia mengaku sama sekali tak kenal dengan pelaku. Dia, kata Hendardji, baru mengangkat kepalanya setengah jam seusai kejadian. "Padahal saya berharap banyak kepada dia," ujarnya kepada TEMPO. Saksi lain melihat pelaku berambut gimbal, berbaju loreng, memakai rompi loreng, tapi bukan orang TNI.
Begitu juga dengan temuan selongsong, kendaraan Freeport nomor 609, dan saksi yang bernama Kapten Margus. Dari selongsong peluru yang ada itu belum bisa dipastikan TNI terlibat. Sedangkan Margus, yang disebut-sebut saat kejadian bersama Decky, setelah dicek ternyata saat kejadian berada di Bandung mengikuti pendidikan.
Resepsionis Hotel Serayu, Timika, hotel langganan Margus, juga mengatakan Margus saat itu tak menginap di hotelnya. "Kamar 607 itu, yang katanya digunakan Margus, ternyata diisi orang yang bernama Sasmito. Sementara itu, ada nama Markus yang menginap di kamar 212, tapi bukan dari TNI," kata Hendardji. Sedangkan kendaraan 609, setelah dicek, ternyata sudah sejak 1995 tak pernah dipakai. Walhasil, uji tim gabungan ini mengeliminasi semua temuan polisi setempat. Brigjen Tarigan pun harus hengkang dari Papua.
Fajar W.H., Arif Zulkifli., Edy Budiyarso (Jakarta), Wenseslaus M., Cunding (Timika)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini