Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERAGUAN diajukan Dr. Hidayat Nurwahid, Presiden Partai Keadilan, terhadap validitas hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) yang dipaparkan TEMPO Edisi 23 Desember lalu. Ini merupakan sikap yang baik karena hasil studi apa pun tidak ada yang mutlak, harus terbuka terhadap keraguan dan bantahan. Tapi bantahannya harus didukung dengan bukti dan logika yang lebih baik.
Islamisme yang menjadi fokus penelitian PPIM kami konsepsikan sebagai paham atau keyakinan dalam masyarakat Islam. Intinya, Islam diyakini sebagai ajaran yang mengatur seluruh aspek kehidupan yang tidak mengenal perubahan ruang dan waktu. Aturan-aturan itu bersifat mutlak dan rinci sehingga tinggal dilaksanakan dalam kehidupan individual, sosial, ataupun politik umat Islam, di mana pun dan kapan pun. Islam adalah aturan hidup yang menyeluruh dan koheren (kaffah).
Dalam penelitian tersebut ada 15 parameter untuk mengukur Islamisme, dari yang bersifat umum sampai yang khusus. Misalnya, dari sikap terhadap keyakinan bahwa sistem pemerintahan terbaik bagi negeri kita adalah sistem yang didasarkan atas syariat atau hukum Islam, sampai keyakinan yang lebih khusus bahwa hak waris bagi anak perempuan adalah separuh dari hak waris anak laki-laki.
Dalam Islamisme, perempuan jangankan menjadi pejabat publik, seluruh tubuhnya saja dipandang aurat. Kalau Hidayat Nurwahid tidak setuju dengan pembatasan hak politik atas perempuan seperti ini, dia tidak akan kami masukkan ke kategori seorang Islamis. Dan itu tidak menjadi masalah. Toh di masyarakat, walaupun bukan mayoritas, ada yang menolak hak politik kaum perempuan tersebut. Misalnya yang menolak perempuan jadi anggota DPR sebanyak 7 persen, yang menolak perempuan jadi presiden 26 persen, dan yang menganggap perempuan lemah untuk jadi hakim di pengadilan 22 persen.
Walaupun 15 parameter kami terbuka terhadap penolakan, apalagi perbaikan, bukan berarti parameter-parameter itu sepenuhnya tidak layak atau tidak valid. Bicara tentang kelayakan (reliabilitas), sebagian besar (75 persen) parameter kami saling terkait atau konsisten. Misalnya saja, seorang yang mendukung partai yang memperjuangkan syariat Islam cenderung tidak setuju kalau perempuan jadi presiden.
Survei kami bukan pula untuk menjelaskan peristiwa khusus seperti pengeboman di Bali. Kami ingin memotret fenomena Islamisme dalam diri umat di Tanah Air secara umum. Kalau Imam Samudra dan istrinya digunakan dalam cerita, itu hanya sebuah ilustrasi dari perilaku Islamis yang kami konsepsikan, dan sejauh mana perilaku mereka ini punya akar sosiologis secara luas dalam masyarakat. Dan ternyata cukup signifikan, walaupun bukan mayoritas.
JAMHARI MAKRUF
Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
Universitas Islam Negeri Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo