Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Cangkir

LEWAT secangkir kopi, dari kedai pinggir jalan hingga kafe mewah, orang Indonesia berbaur dan berbagi cerita.

25 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEWAT secangkir kopi, dari kedai pinggir jalan hingga kafe mewah, orang Indonesia berbaur dan berbagi cerita. Menikmati minuman berwarna hitam nan harum ini sudah menjadi budaya sehari-hari. Urusan menyeduh kopi berkembang menjadi seni rumit dengan peralatan yang kompleks. Toh, kopi tubruk-racikan kopi sederhana khas Indonesia-tak luruh digilas waktu. Di luar kenikmatan aroma dan rasanya, kopi dinilai menyimpan khasiat untuk kesehatan.

Ruang Interaksi Warkop
Masyarakat di berbagai kota mengandalkan kedai tradisional untuk asupan kopi paginya. Warung kopi menjadi ruang publik.

DI Kerinci, Jambi, kopi bisa menjadi jendela untuk melihat masa depan. Di setiap desa, ada sedikitnya lima "tukang kopi¡±sebutan untuk orang dengan kemampuan meramal lewat ampas kopi seseorang.

Misalnya, Upit Palembang, yang buka praktik selama 20 tahun terakhir di rumahnya di Dusun Baru, Sungai Penuh, Kerinci. Siang pada awal Maret lalu, Tempo menyambanginya. Upityang nama aslinya Yuli Perma dan pernah ikut suaminya bertugas di Palembangdikerubungi lima "pasien". Sembari ngopi, sebagian dari pasien tersebut merokok. Kemudian gelas berisi ampas ditelungkupkan Upit, sehingga terbentuk alur di dindingnya. Alur yang mengering itulah yang menjadi dasar ramalannya. Tarifnya Rp 15 ribu.

Upit, 50 tahun, selalu menggunakan robusta dari Kerinci yang dia yakini tanpa campuran. "Saya pernah salah ramal karena bubuk kopinya besar-besar. Terbacanya orang yang tinggi besar, padahal sesungguhnya berbadan sedang," ujarnya.

Upit belajar meramal dari Nenek Sahir sekitar 30 tahun silam. Saat itu, Sahir berusia 70-an tahun. Sang guru mengatakan ilmu ramal tersebut datang dari Mukomuko di pesisir perbatasan Sumatera Barat dan Bengkulu. "Tapi kini tidak ada lagi tukang ramal kopi di Mukomuko," ujar Upit.

Sementara di Kerinci terkait dengan magis, di Pontianak ngopi berarti berinteraksi. Di Warkop Merapi, kedai kopi milik Johanes Fendi alias Thio Tiam Siang, 64 tahun, para pelanggan bertukar kabar. Di tengah kegaduhan warungnya, Asiang bekerja dalam sunyi. Perhatiannya hanya tertuju kepada pelayan yang menyebutkan pesanan, teko di atas tungku, dan serbuk kopi di ruang kerjanya. "Kalau banyak omong, nanti pesanan orang salah," kata Cece, kasir warkop itu.

Warkop Merapinama yang mengacu pada nama jalan lokasinyabuka sejak 1957 oleh ayah Asiang. Seperti kebanyakan warung tradisional, warung kopi ini menyuguhkan kenangan tempo dulu. Misalnya lewat deretan foto suasana Pontianak pada 1950-an hingga 1970-an.

Kedai ini menarik perhatian karena Asiang selalu bertelanjang dada dan hanya bercelana pendek saat meracik kopi saringnya. Dada dan lengan kanannya berhias tato. Orang mengenal Warkop Merapi dengan sebutan kopi telanjang. Harganya mulai Rp 6.000 secangkir.

Di Pontianak, jam sibuk warung kopi berlangsung pada pagi hari. Pekerja mampir ke kedai dalam perjalanan menuju kantor. Kebanyakan pengunjung pagi itu berbaju kantoran. Ada satu-dua orang berseragam pemerintah daerah. Menjelang pukul 08.00, mereka cabut. Kelompok yang datang berikutnya adalah konsumen berbusana santai. Sebagian mengenakan baju olahraga. Asiang meramu hingga sekitar pukul 12.00, sebelum kerjanya dilanjutkan anaknya hingga warung tutup pada pukul 17.00.

Kedai yang kopinya juga dijual secara online dengan gambar siluet Asiang ini mempertahankan prinsip warkop sebagai tempat berbagi kisah. Ketiadaan Wi-Fi secara tidak langsung "memaksa" tamu, terutama mereka yang cekak paket data Internet, berinteraksi dengan orang di sebelahnya.

Warkop Asiang mencerminkan gambaran warung kopi tradisional di Pontianak. Kedai lawas lain, misalnya Warung Kopi Djaja dan Warung Kopi Suka Hati, yang berdekatan dan sama-sama menempati rumah toko tua di Jalan Tanjungpura. Suguhannya pun mirip-mirip, seperti pisang goreng, roti oles, dan telur ayam kampung setengah matang.

Di belakang kawasan itu, terbentang Sungai Kapuas. Menurut Moeslim Minhard, budayawan yang bolak-balik menjadi juri festival kopi Pontianak, warung-warung kopi awalnya tumbuh di bantaran sungai pada awal abad silam saat Kapuas menjadi moda transportasi utama di Kalimantan Barat.

Moeslim mengatakan bentuk warung kopi saat itu hampir sama: ruang racik berada di muka, sedangkan ruang saji di dalam warung. Peran peracik pun menjadi sentral. Dia menjadi simpul informasi, dari kabar panen, soal distribusi kebutuhan pokok, sampai berita kematian. "Orang cari apa pun tinggal bilang ke penjaga warkop," ujar Toingpanggilan Moeslim.

Karena kedai berada di tengah hiruk-pikuk perdagangan, muncul istilah kopi pancung atawa setengah. Separuh porsinya, separuh pula harganya. "Orang membelinya bukan karena harga, melainkan karena cuma punya waktu sebentar di warkop," kata Moeslim. Pada 1980-an, menurut dia, sempat muncul istilah "kopi pangku": pembeli bisa berasyik-masyuk dengan penjualnya. Praktik tersebut merebak saat banyak orang yang kaya mendadak dari industri kayu, yang waktu itu menangguk puncak keuntungan.

Seiring dengan berkembangnya jalur darat, kedai kopi menyebar. Namun lokasinya tidak jauh-jauh dari pusat niaga, seperti di Jalan Gajah Mada dan Pasar Nusa Indah. Di sana, semua berbaur. "Warkop menjadi ajang interaksi masyarakat dari berbagai kelompok," ujar Ahmad Asma, Direktur Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi, penulis buku Mencari Ruang Publik di Warung Kopi. "Juga menjadi ruang bersama yang dapat mencairkan berbagai ketegangan di masyarakat."

Andreas Acui Simanjaya, tokoh budaya Tionghoa Kalimantan Barat, mengatakan warung kopi dirintis warga keturunan Cina. Hal itu tak lepas dari perdagangan, terutama pertanian dan bahan kebutuhan pokok, yang banyak mereka lakoni. Pengunjung kedai kebanyakan adalah kolega bisnis atau pemasok dagangan pemilik warung. Kopi disajikan sebagai bentuk penghormatan kepada tamu, yang biasa datang dengan buah tangan, seperti ubi kayu, pisang, dan madu. "Ada hubungan timbal balik," ujar Acui.

***

DI kawasan Pecinan, Padang, Kedai Kopi Nan Yo membawa kita ke awal abad XX, saat kota itu masih menjadi jantung Sumatera. Suasana itu tak dibikin-bikin. Hampir seisi ruangan berkapasitas 40 orang itu berasal dari abad silam, mulai brankas di balik kasir sampai kursi kayu dan meja marmer tempat saji. Langit-langit yang tinggi membuat udara di kedai tanpa penyejuk udara ini tetap adem.

Kedai Nan Yo dibuka Than Tek Tjiaw pada 1932. Saat itu, Pecinan merupakan pusat kota. "Dulu, orang-orang yang berbisnis di Padang biasa bertemu di sini," tutur Victor Bostani, pemilik kedai, kepada Tempo, awal bulan ini. Dia adalah generasi ketiga Than yang mengelola warung ini bersama istrinya.

Victor, 40 tahun, mengatakan pengunjung di masa itu kebanyakan orang Belanda. Dia lalu menunjuk enam tanduk rusa di dinding. "Itu tempat mereka menggantungkan mantel dan topi," ujarnya. Kini tanduk tersebut menjadi hiasan belaka, berjejer dengan 20-an kalender dari berbagai usaha dagang dan instansi, yang sama-sama bertahun 2018.

Awalnya, dagangan kedai ini hanya kopi hitam. Kopi yang Nan Yo gunakan tidak berubah selama 86 tahun, yaitu robusta yang didatangkan dari berbagai perkebunan di Sumatera Barat. Mereka membeli green bean dari petani, lalu memanggang dan menggilingnya di kedai mereka.

Seperti di kebanyakan kedai tradisional di Sumatera dan Kalimantan, penyeduhannya menggunakan teknik Hainam. Pembuatannya berlangsung di dapur terbuka di bagian belakang toko. Kopi dalam saringan panjangada yang salah menyebutnya sebagai kaus kakidimasukkan ke teko aluminium. Hasilnya kopi dengan aroma kuat tanpa ampas. Kopi yang dikenal dengan kopi O itu dibanderol Rp 10 ribu.

Sejak beberapa dekade lalu, menu mereka bertambah dengan kopi susu dan kopi es. Ada juga teh telur, minuman khas Sumatera Barat. Di meja juga selalu terhidang camilan, seperti bakwan, kue srikaya, lamang golek, kacang tanah goreng, dan keripik singkong. Pelanggan yang datang pagi juga bisa menikmati sarapan. Persis di pelataran kedai, berjejer gerobak sate Padang, soto Padang, mi ayam, lontong sayur, bubur ayam, hingga bistik. "Mereka penjual yang sudah puluhan tahun berdagang di sini. Kami sengaja tidak menyajikan makanan berat. Kami berbagi rezeki," kata Victor.

Suasana di warung tersebut guyub. Siang itu, ada empat kakek nongkrong di meja depan. Victor mengenali mereka sebagai pelanggan sejak puluhan tahun lalu. "Kebanyakan memang pedagang lama," ucapnya. Rata-rata waktu kunjungan satu jam. Namun, seperti kuartet opa tersebut, ada juga yang sampai lima jam dan baru beranjak seiring dengan waktu tutup kedai menjelang magrib.

A.D. Matawa, pelanggan, mengatakan telah seperempat abad menjadi tamu tetap Nan Yo. Konsultan bisnis itu biasa nyeruput kopi di sana sekitar pukul 11.00. Menurut dia, kopi yang disajikan kedai tersebut selalu fresh. "Sehingga badan juga terasa lebih segar," ujar pria 60 tahun itu. Meski pengunjungnya tidak seramai dulu, Matawa berharap warung tersebut terus bertahan.

Hubungan peran sentral warga Tionghoa dalam ekonomi dan warung kopi juga terasa di Makassar. Liong Thay Hiong, tukang sangrai kopi Toraja dan Enrekang, berkongsi dengan Profesor Thai Phen Liong membuka Phoenamyang berarti persinggahan di selatandi pelabuhan Makassar pada 1946. Kedai itu bertahan, bahkan menyebar dari Jakarta, Bandung, Surabaya, sampai Merauke.

Warga non-Cina baru menyentuh bisnis ini pada 1960-an. Misalnya Idrus Naba, 66 tahun, yang membuka Warkop Dottoroyang berarti dokter, mengacu pada panggilan masa kecil Idrus yang kerap sakit-sakitanpada 1971. *

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus