Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Terbui Tubuh Sendiri

Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) perlahan-lahan melumpuhkan penderita. Belum ada obatnya, tapi progresnya bisa diperlambat.

25 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ILMUWAN astronomi Premana Wardayanti Premadi, 53 tahun, berjalan lambat-lambat ketika keluar dari kantornya di gedung Centre for Advanced Science Institut Teknologi Bandung. Agak bungkuk, perempuan yang akrab disapa Nana itu menapakkan kakinya pelan-pelan dengan bantuan sebatang tongkat. "Sekarang tak bisa jalan cepat dan jauh, maksimal 100 meter," katanya saat ditemui pada Selasa pekan lalu.

Sejak divonis menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS) delapan tahun lalu, Premana tak segesit dulu. Kaki kirinya sudah menolak perintah otak sehingga mesti dibantu dengan tongkat. Tangan kirinya juga sudah mulai melemah sampai tak bisa mengangkat segelas air penuh. Ketua Yayasan ALS Indonesia ini pun sempat ngos-ngosan mengajar karena napasnya sesak. "Saya juga jadi cadel," ujar pakar kosmologi yang namanya diabadikan untuk asteroid 12937Premadi ini.

Kondisi ini jauh berbeda dengan dirinya yang dulu. Sebelumnya, ia gemar mendaki dan sudah menjelajahi banyak puncak. Di antaranya, Gunung Lawu di Jawa Tengah; Mount Zao, Kurikoma, dan Bandai di Jepang; serta Mount Rainer dan Rocky Mountains di Amerika Serikat. Namun, semenjak tubuhnya digerogoti ALSpenyakit yang juga diderita ilmuwan Stephen William Hawkingtongkat yang dulu membantunya mencapai puncak gunung kini beralih fungsi menjadi penyangga tubuh untuk berjalan kapan pun.

Ignatius Andrian Wicaksono, 20 tahun, punya cerita berbeda. ALS yang dideritanya sejak kelas IX sekolah menengah pertama itu lambat-laun membuat kakinya lumpuh. Beberapa bulan lalu, ia mulai menggunakan kursi roda. Kondisi ini membuat Andrian mengubur mimpinya untuk kuliah. "Kebayang kuliah yang banyak kegiatannya itu ke mana-mana harus pakai kursi roda," ujarnya.

ALS yang menetap di tubuh Hawking sampai 55 tahun ini memang bukan penyakit sederhana. Penyakit golongan neumotorik ini merusak sel saraf motorik yang mengontrol gerakan berdasarkan perintah, seperti berjalan, mengunyah, dan bernapas. Dalam kondisi normal, perintah gerakan ini akan dimulai di saraf motorik di otak, dikirim ke saraf motorik di tulang belakang, dan diteruskan ke otot yang mengendalikan gerakan.

Namun, pada penderita ALS, pesan tersebut tak sampai. Sel saraf motorik yang semestinya menerjemahkan perintah dan mengendalikan gerakan tersebut mengalami degenerasi dan perlahan-lahan mati. Lambat-laun kelemahan yang terjadi pada satu bagian itu menjalar ke bagian lain. "Mereka jadi kesulitan mengunyah dan menelan sehingga menyebabkan kekurangan gizi, kesulitan berjalan, bahkan bisa mengalami kegagalan napas," kata dokter spesialis saraf Ahmad Yanuar.

Kelumpuhan ini terkadang disalahartikan oleh penderita dan keluarganya. Banyak pasien dan keluarganya mengira kelemahan pada tangan dan kaki terjadi akibat stroke. Padahal ciri kedua penyakit ini berbeda. Stroke umumnya hanya terjadi di satu sisi, misalnya kaki dan tangan kiri. Sedangkan ALS tidak khas hanya terjadi di satu sisi, misalnya tangan kanan dan kaki bagian kiri. "Bisa nyeplok-nyeplok," kata dokter spesialis saraf Fitri Octavian.

ALS juga menyebabkan penurunan kemampuan otak seperti pada penderita demensia. Untungnya, ini hanya terjadi pada sejumlah kecil penderita. Kebanyakan kemampuan berpikir mereka tetap jos seperti Hawking. "Kebayang enggak, mereka masih bisa berpikir, cerdas, tapi tak bisa bergerak, seperti dipenjara," kata dokter spesialis saraf Sheila Agustini.

Belum diketahui pasti apa pemicu rusaknya sel saraf motorik ini. Namun, umumnya, penderita penyakit ini adalah mereka yang berusia lanjut, lebih dari 50 tahun. Sebanyak 90 persen penderita meninggal pada sepuluh tahun pertama sejak didiagnosis akibat kelumpuhan otot pernapasan.

Tapi tak tertutup kemungkinan penyakit ini juga datang di usia muda seperti terjadi pada Hawking, yang didiagnosis pada usia 21 tahun, dan Andrian, yang didiagnosis sejak kelas IX SMP. Biasanya, mereka yang diserang sejak muda justru bisa bertahan lebih lama. "Perjalanan penyakit cenderung lebih lambat karena mereka memiliki stamina lebih baik lantaran masih muda," kata Sheila, yang berpraktik di Mayapada Hospital, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Mendiagnosis penyakit ini tak sederhana. Menurut Fitri, dokter harus menyingkirkan semua kemungkinan penyakit lain lebih dulu sebelum meyakini yang diderita pasiennya adalah ALS. Selain menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) untuk mengecek adanya penyebab lain, dokter akan menggunakan electromyography (EMG) untuk merekam aktivitas listrik pada otot. "Karena penyakit ini belum ada obatnya, diagnosisnya harus benar-benar pasti," ujar Fitri.

Perihal salah diagnosis ini pernah dialami salah satu pasien. Menurut Yanuar, lebih dari sepuluh tahun pasien tersebut mengira dirinya menderita ALS. Sepuluh tahun berlalu, tak ada kelemahan tubuhnya yang memburuk dan tak ada tanda gangguan otot pernapasan. Ketika diperiksa ulang, ternyata ia menderita penyakit lain dengan gejala mirip ALS. Kondisinya membaik setelah diobati. "Karena itu, mesti benar-benar yakin sebelum memberitahukan kepada pasien," kata Yanuar, yang berpraktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Meski ALS belum ada obatnya, bukan berarti penderita hanya bisa pasrah. Penderita bisa melakukan terapi untuk memperlambat memburuknya penyakit dan menjaga kualitas hidup tetap baik. Seperti Hawking, yang bisa bertahan 55 tahun dengan penyakit tersebut, padahal saat pertama didiagnosis ia hanya diprediksi bisa bertahan dua tahun. Ia juga terkena pneumonia beberapa tahun setelah didiagnosis menderita ALS.

Hawking memilih tak menyerah pada penyakitnya. Daripada memikirkan apa yang membatasinya, ia memilih berfokus mengembangkan diri dan melakukan hal lain yang bermanfaat. Ia kemudian dikenal lewat teori lubang hitam dan alam semesta. Kecemerlangannya ini membuatnya diberi hibah perawatan penuh dan fasilitas seperti komputer yang bisa membaca gerak pipinya untuk berkomunikasi. Banyak penelitian melibatkan Hawking, yang akhirnya digunakan dalam keseharian. Salah satunya, menurut Yanuar, adalah autocorrect, program yang mengoreksi ketikan di ponsel. "Dia ketik ’Y’, keluar ’yes’. Bilang ’N’, keluar ’no’," tuturnya.

Karena semangat Hawking itulah Premana, yang mendirikan Yayasan ALS Indonesia pada 2015, ingin berguru kepada Hawking. "Ketika down, apa yang membuatnya bangkit. Apa nasihat bagi kami yang masih muda ini," ucapnya.

Februari lalu, ia sudah mendapatkan waktu bertemu dengan Hawking, tapi Hawking memundurkannya. Pertemuan itu tak terwujud karena kondisi Hawking memburuk hingga akhirnya meninggal pada 14 Maret lalu.

Psikologis penderita sangat mempengaruhi perkembangan penyakit, terlebih ALS memang tak mudah dihadapi penderita ataupun keluarga. Menurut Sheila, kalau pasien merasa terbebani sampai depresi sehingga menarik diri, menolak latihan, dan cenderung menutup diri, perkembangan penyakitnya akan makin cepat. "Kondisinya akan lebih cepat memburuk," katanya.

Selain olah pikiran, untuk memperlambat perkembangan penyakit, Yanuar menjelaskan, pasien harus melakukan beberapa terapi. Misalnya, melatih otot pernapasan agar tak mudah melemah dan fisioterapi agar ototnya tak kaku. Juga menjaga nutrisi, jangan sampai berat badannya menurun karena akan membuat otot makin loyo. "Pasien juga perlu ikut komunitas, seperti Yayasan ALS Indonesia, untuk berbagi pengalaman menghadapi penyakit ini," ujarnya.

Sheila, yang juga wakil ketua yayasan tersebut, mengungkapkan, selain saling mendukung, mereka bisa saling memberikan masukan tentang terapi apa saja yang efektif dilakukan. "Karena enggak ada obatnya, para penderita ini akan jadi sasaran empuk segala obat alternatif. Mereka bisa saling curhat, nanya di grup," tuturnya.

Nur Alfiyah, Anwar Siswadi (bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus