Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembang-Kempis Penyokong Napas

Alat bantu napas alias ventilator di rumah sakit rujukan penanganan korban pandemi Covid-19 masih minim. Para perekayasa dari universitas hingga perusahaan otomotif berlomba dengan waktu.

4 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas medis memeriksa kesiapan ventilator di ruang ICU Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, 23 Maret 2020. ANTARA/Kompas/Heru Sri Kumoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rumah sakit rujukan penanganan pasien Covid-19 masih kekurangan ventilator.

  • Mesin untuk membantu pernapasan itu menjadi incaran di tengah pandemi global.

  • Indonesia membentuk konsorsium BUMN dan universitas untuk membuat ventilator.

KEDATANGAN delapan alat bantu napas atau ventilator di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, dalam sepekan terakhir membuat Faisal Yunus lega. Sebelumnya, rumah sakit rujukan nasional penanganan pandemi Covid-19 itu cuma punya empat ventilator. Padahal rumah sakit itu memiliki ruang isolasi yang berisi 20 pasien. “Alhamdulillah, ada yang menyumbang ventilator,” kata dokter spesialis paru itu pada Jumat, 3 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Faisal, kasus Covid-19 di RS Persahabatan terus bertambah. Daftar tunggu pasiennya mencapai 400 orang. Instalasi gawat darurat yang berkapasitas 25 pasien pun diubah cuma untuk menangani kasus Covid-19. Sedangkan tenaga medis dan fasilitas terbatas. Menurut Faisal, jumlah ventilator idealnya setara dengan kapasitas ruang isolasi. “Yang masuk ke sana kondisinya berat dan butuh ventilator,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Urusan ventilator juga mengganjal Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin, Bandung, yang disiapkan untuk mengantisipasi lonjakan jumlah kasus. Saat ini, hanya ada sembilan ventilator, yang didapat dari bantuan pemerintah, swasta, dan hasil pembelian sendiri. “Kebutuhannya sebelas ventilator,” kata Direktur Medik dan Keperawatan RS Hasan Sadikin Nucki Nursjamsi Hidajat.

Menurut Nucki, RS Hasan Sadikin menyiapkan gedung lima lantai untuk menangani pasien Covid-19. Gedung itu bisa menampung seratus pasien dalam pengawasan. Satu lantai khusus untuk pasien positif berkapasitas 46 tempat tidur. Satu lantai lain untuk pasien positif dan yang belum positif tapi membutuhkan ventilator. “Kami perluas dari kapasitas 22 orang. Masalahnya, perlu tambahan ventilator,” ujar Nucki.

Di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta hanya terdapat 12 ventilator yang tersebar di 25 rumah sakit rujukan Covid-19. Tiga di antaranya di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, yang menangani pasien dalam pengawasan di 25 ruang isolasi. “Ventilator terbatas, mengandalkan bantuan donatur,” kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Hukum RSUP Dr Sardjito, Banu Hermawan, pada Jumat, 3 April lalu.

Minimnya jumlah ventilator juga terjadi di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, yang menjadi rumah sakit rujukan level dua penanganan kasus Covid-19. Juru bicara RS Bethesda, Adhiyatno Priambodo, mengatakan hanya ada satu ventilator, sementara mereka menangani pasien Covid-19 di sebelas kamar isolasi. Seperti RSUP Dr Sardjito, RS Bethesda bergantung pada donasi publik untuk pengadaan ventilator.

Ventilator, yang harganya mencapai Rp 500 juta per unit, menjadi masalah besar saat kasus Covid-19 terus bertambah. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan sekitar 80 persen orang yang terjangkit Covid-19 bisa pulih tanpa perawatan khusus di rumah sakit. Namun sebagian yang tertular virus corona bisa menderita sakit serius. Diperkirakan, satu dari enam penderita Covid-19 mengalami gangguan pernapasan. Dalam sejumlah kasus berat, infeksi virus ini bisa merusak paru-paru.

Negara produsen ventilator, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Cina, juga sibuk menghadapi pandemi. Amerika menjadi negara yang paling parah dengan lebih dari 270 ribu kasus dan 6.900 kematian. Negara itu memiliki sekitar 160 ribu ventilator. Pusat Keamanan Kesehatan John Hopkins menyebutkan Amerika butuh 740 ribu ventilator untuk menghadapi situasi terburuk seperti saat flu Spanyol pada 1918.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dalam rapat kerja dengan Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis, 2 April lalu, mengatakan ada 8.423 ventilator yang tersedia di 2.867 rumah sakit di seluruh Indonesia. Adapun juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menyebutkan pemerintah telah mendatangkan 100 ventilator baru.

Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengatakan jejaring rumah sakit BUMN mampu menangani hingga 10 ribu pasien Covid-19. Rumah sakit juga membutuhkan sekitar 500 unit ventilator. “Rumah sakit BUMN sekarang baru punya seperlimanya,” ujar Erick dalam rapat kerja online dengan Komisi VI DPR, yang membidangi industri dan investasi, pada Jumat, 3 April lalu.

Tenaga Ahli Pengembangan Pesawat Terbang PT Dirgantara Indonesia Andi Alisjahbana mengatakan BUMN dan universitas membentuk konsorsium pembuat ventilator. Saat ini, sudah ada lima desain purwarupa yang bakal diuji Kementerian Kesehatan. Desainnya dibuat terbuka agar bisa dikembangkan di mana saja. “Begitu lolos uji, langsung produksi. Biaya ditanggung BUMN,” ujar Andi.

Menurut Andi, membuat ventilator adalah opsi yang harus diambil di tengah kondisi pandemi global. Ventilator sudah pasti menjadi barang buruan negara-negara yang terpuruk gara-gara Covid-19. Negara produsen ventilator bakal mementingkan kebutuhannya sendiri sehingga Indonesia kesulitan membeli barang itu. “Kalau jumlah penderita Covid-19 naik terus, ventilator sudah pasti kurang,” tutur Andi.

Institut Teknologi Bandung berhasil membuat purwarupa Ventilator Portabel Indonesia (Venti). Para perekayasa ITB membangun alat bantu napas itu dengan menggandeng Yayasan Pembina Masjid Salman ITB dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dengan bantuan para dokter RS Hasan Sadikin. Alat itu dirancang untuk membantu pasien kategori menengah yang bukan pasien perawatan intensif.

Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB, Syarief Hidayat, mengatakan ventilator itu dibuat dengan bahan yang tersedia di pasar. Ongkos pembuatannya sekitar Rp 100 juta, yang berasal dari YPM Salman dan urun dana. Dengan bobot sekitar lima kilogram, menurut Syarief, ventilator buatan ITB lebih mudah dipakai. ITB menargetkan memproduksi 100 unit ventilator setelah mendapatkan perizinan.

Universitas Indonesia juga mengembangkan purwarupa ventilator. Proyek kolaborasi Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran ini dimulai dua pekan lalu dan kini dalam tahap pengujian alat. Dekan Fakultas Teknik Hendri D.S. Budiono mengatakan tipe yang dikembangkan adalah ventilator transpor yang berukuran kecil, praktis, dan biasa digunakan di ambulans.

PT Dharma Polimetal, produsen komponen otomotif, juga turut mengembangkan ventilator. Pabrik pembuat rangka motor dan panel baja mobil itu sudah mempunyai purwarupanya. Anak usaha Grup Triputra itu juga membuat alat bantu napas berupa kantong masker berkatup seperti Ambu bag dengan sistem otomasi. “Masih perlu pengujian agar sesuai dengan standar medis,” ujar Presiden Direktur PT Dharma Polimetal Irianto Santoso.

Adapun ventilator bertipe noninvasif telah diuji di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Menurut Irianto, para dokter memilih ventilator invasif. Pasalnya, ventilator noninvasif dinilai berisiko menimbulkan aerosol di masker dan menjadi tempat berkembangnya virus. “Kami kini berfokus mengembangkan tipe invasif. Presisi dan spesifikasi sama dengan yang ada di rumah sakit, tapi ukuran agak besar,” katanya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ANWAR SISWADI (BANDUNG), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus