Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berburu Tambar Hingga ke Seberang

Pemerintah akan menguji keampuhan Avigan terhadap orang Indonesia. Sebagian rumah sakit rujukan kesulitan mendapatkan obat.

 

4 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Obat Chloroquine yang diserahkan kepada RSPI Sul.Obat Chloroquine yang diserahkan kepada RSPI Sulianti Saroso di Jakarta, 21 Maret 2020. ANTARA/Aditya Pradana Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah akan menguji keampuhan Avigan terhadap orang Indonesia.

  • Avigan tak pernah dibahas tim pakar dalam rapat bersama Gugus Tugas.

  • Tak semua rumah sakit rujukan dikirimi obat.

DI depan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Agus Dwi Susanto mempresentasikan obat-obatan yang digunakan para dokter paru untuk mengatasi Covid-19. Dalam pertemuan tiga pekan lalu itu, Agus mengatakan mereka sudah memiliki panduan praktik klinik untuk penyakit yang diakibatkan virus corona baru tersebut. “Salah satu obat yang kami pakai adalah klorokuin,” ujar Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia itu ihwal pertemuan tersebut, Selasa, 31 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus menyebutkan klorokuin sudah dipakai di beberapa negara, seperti Cina dan Prancis. Obat keras tersebut terbukti bisa mengurangi gejala pneumonia berat karena memiliki efek antiinflamasi. Perhimpunan Dokter Paru juga memakai oseltamivir, yang sebelumnya digunakan buat mengatasi flu burung. Obat itu sudah dicoba antara lain di Cina dan Amerika Serikat untuk pasien kategori ringan sampai berat. “Obat-obatan ini kami pilih karena tersedia di Indonesia,” tuturnya. Kedua tambar tersebut diproduksi perusahaan pelat merah. Klorokuin dengan merek dagang Chloroquine dibuat Kimia Farma, sedangkan oseltamivir dengan merek Tamiflu diproduksi Indofarma.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng M. Faqih, yang hadir dalam pertemuan itu, para dokter yang masuk tim pakar Gugus Tugas hanya menyampaikan obat-obatan yang sudah dipakai di negara lain dan terbukti bisa mengatasi Covid-19 serta tersedia di Indonesia. Beberapa obat yang berbeda dipakai negara lain, seperti obat ebola, remdesivir, yang digunakan Amerika Serikat dan Inggris. Namun obat tersebut tak tersedia di Tanah Air. “Kami menggunakan yang ada,” ujarnya.

Dari pertemuan tersebut, Gugus Tugas menyusun Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat Covid-19 di Indonesia, yang ditandatangani Ketua Gugus Tugas Letnan Jenderal Doni Monardo pada 23 Maret lalu. Selain menyebut klorokuin, pedoman tersebut menyertakan antara lain antibiotik, obat antivirus yang tak disebut jenisnya, vitamin C dosis tinggi, dan obat-obatan lain sesuai dengan penyakit penyerta pasien.

Tiga hari sebelum pedoman tersebut terbit, Presiden Joko Widodo mengumumkan pembelian obat Chloroquine dan Avigan. Avigan (favipiravir) adalah obat influenza yang dikembangkan Toyama Chemical, Jepang. Jokowi mengatakan telah mendatangkan 5.000 butir Avigan dan sedang memesan 2 juta butir lagi dari Jepang. Sedangkan Chloroquine sudah disiapkan sebanyak 3 juta butir. “Obat ini sudah dicoba oleh satu, dua, tiga negara, dan memberikan kesembuhan,” kata Jokowi, Jumat, 20 Maret lalu.

Menurut Daeng, Avigan tak pernah dibahas tim pakar dalam rapat bersama Gugus Tugas lantaran obatnya tak tersedia di Indonesia. Beberapa anggota tim pakar baru mencari tahu keefektifan obat tersebut setelah Jokowi mengumumkan pembeliannya. Obat itu antara lain dipakai Jepang dan Cina. “Hasilnya bagus,” ujarnya.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan pemerintah mengimpor Avigan karena obat tersebut dinyatakan efektif menyembuhkan penyakit virus corona. Cina dan Jepang melaporkan telah mengombinasikan Avigan dan klorokuin dengan hasil yang baik. "Kita akan mencoba dengan pengawasan yang ketat," ujarnya.

Sedangkan anggota staf khusus Menteri Kesehatan, Alexander Ginting, mengatakan pemerintah memutuskan mengimpor Avigan untuk pasien dengan gejala Covid-19 ringan sampai berat. Para dokter sebelumnya menggunakan Tamiflu sebagai obat utama, sedangkan obat untuk HIV, Aluvia (lopinavir/ritonavir), sebagai pilihan kedua. Jika Aluvia tak ada, mereka bisa beralih ke Avigan. “Ketersediaan obat antardaerah berbeda-beda. Ketika obatnya tak ada, dokter tahu penggantinya apa,” tuturnya.

Obat yang disediakan pemerintah tersebut, kata Alexander, tak hanya untuk pasien yang sudah terindikasi positif Covid-19, tapi juga diberikan kepada pasien dalam pengawasan yang dicurigai menderita penyakit itu. Menurut dia, sebagian Avigan yang sudah masuk Indonesia telah dikirim ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta.

Pemerintah berencana meneliti keampuhan obat tersebut bagi orang Indonesia. Selama penelitian tersebut berjalan, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara tetap mengimpor 2 juta butir Avigan untuk dibagikan ke rumah sakit seperti arahan Jokowi. “Karena kondisinya pandemi,” ujar Alexander.

Avigan atau Favipiravir. Reuters/Issei Kato

Direktur Umum RSPI Muhammad Syahril mengatakan Avigan sudah datang sejak Selasa, 31 Maret lalu. Mereka belum memulai penelitian karena masih menunggu arahan Kementerian Kesehatan.

Menurut Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno, perusahaannya memiliki persediaan 3 juta tablet Chloroquine, seperti yang disampaikan Jokowi. “Sebagian besar sudah didistribusikan ke rumah sakit rujukan dan instansi kesehatan yang menangani Covid-19,” katanya.

Adapun Sekretaris Perusahaan Indofarma Arie Genipa Suhendi mengatakan, selain diminta membuat Tamiflu, perusahaannya bertugas mendistribusikan Chloroquine.


•••

BADAN Kesehatan Dunia (WHO) belum merekomendasikan obat apa pun untuk mengatasi Covid-19. Organisasi tersebut masih berupaya mencari obat terbaik untuk menyembuhkan penderita penyakit ini. Salah satu caranya menggelar uji coba solidaritas (solidarity trial) yang bisa diikuti negara anggota sejak pertengahan Maret lalu.

WHO meminta negara yang terjangkit Covid-19 menguji keampuhan empat jenis obat yang sebelumnya digunakan di banyak negara, yakni remdesivir (obat ebola), gabungan lopinavir/ritonavir (obat HIV), gabungan lopinavir/ritonavir ditambah interferon beta (biasa digunakan untuk mengobati multiple sclerosis), dan klorokuin (obat malaria). Lebih dari 45 negara mengikuti percobaan tersebut. Indonesia memutuskan berpartisipasi dalam percobaan itu pada akhir Maret lalu. Sebagian yang diuji sudah digunakan untuk pasien Covid-19 di Tanah Air. “Kita sudah punya datanya, tinggal kapan mau disinkronisasi,” kata Alexander Ginting.

Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Nucki Nursjamsi Hidajat, tak mempermasalahkan penggunaan obat-obatan tersebut. Masalahnya, sampai saat ini, Kementerian Kesehatan belum mengirimkan obat ke rumah sakitnya. Selama ini, RS Hasan Sadikin menggunakan stok obat rumah sakit. “Kami tak memiliki obat HIV (lopinavir/ritonavir) ataupun Avigan,” ujarnya.

Nucki mengakui keterbatasan obat membuat jumlah pasien yang meninggal lebih banyak daripada yang sembuh. Ada 19 pasien yang meninggal di RS Hasan Sadikin. Kebanyakan adalah pasien yang memiliki penyakit bawaan, seperti penyakit ginjal dan hipertensi. Sedangkan yang sembuh baru enam orang.

Koordinator Penanganan Covid-19 Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik, Medan, Ade Rahmaini, mengatakan rumah sakit tempatnya bekerja juga menyediakan sendiri klorokuin. Obat tersebut sempat langka di pasar karena dianggap bisa membasmi corona. “Kemarin sempat kosong. Ini ada lagi hydroxychloroquine,” ujar Ade. Obat-obatan tersebut, menurut dia, disediakan sendiri oleh rumah sakit. Mereka mengaku tak bisa mengikuti panduan pengobatan dari Kementerian Kesehatan lantaran obat yang disebutkan tak tersedia.

Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah KRMT Wongsonegoro, Kota Semarang, Susi Herawati, juga mengeluhkan keterbatasan obat. Selama ini, dia memperoleh obat-obatan itu melalui katalog elektronik dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). “Sekarang susah. Kami hanya menunggu dropping dari Kementerian Kesehatan,” tuturnya.

Adapun menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta Siti Badriyah, dinasnya sudah menerima 20 ribu butir Tamiflu dan 10 ribu butir Chloroquine dari Kementerian Kesehatan sepekan lalu. Hampir semua obat telah didistribusikan ke semua rumah sakit rujukan yang menangani pasien dalam pengawasan. “Jumlah obat didistribusikan berdasarkan permintaan tiap rumah sakit,” ujarnya.

Achmad Yurianto menyebutkan akan mengecek data rumah sakit yang belum dikirimi obat. "Akan saya teruskan ke Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan," katanya.

NUR ALFIYAH, KHAIRUL ANAM, ANWAR SISWADI (BANDUNG), JAMAL A. NASHR (SEMARANG), ASHEANTY PAHLEVI (PONTIANAK), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), MEI LEANDHA (MEDAN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus