Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR finansial global tengah menyongsong badai krisis yang luar biasa. Para analis makin yakin, runtuhnya pasar akibat pandemi Covid-19 akan jauh lebih dalam ketimbang krisis 2008 dan segala krisis lain yang pernah ada. Berbagai data di pengujung kuartal pertama 2020 menunjukkan ekonomi di seluruh dunia telah terpukul sedemikian hebat. Bukannya tumbuh, ekonomi dunia besar kemungkinan akan mengerut sangat dalam sepanjang tahun ini.
Salah satu contohnya adalah data tentang penganggur di Amerika Serikat. Jika situasi normal, dalam dua pekan, biasanya ada sekitar 500 ribu orang yang mengklaim asuransi pengangguran lantaran gagal mendapat pekerjaan. Dua pekan terakhir Maret lalu, angka klaim ini meroket menjadi hampir 10 juta orang, melonjak 20 kali lipat.
Ini pertanda betapa dahsyat dampak pandemi Covid-19 pada ekonomi Amerika. Hal yang sama tentu terjadi di seluruh dunia. Banyak sekali aktivitas ekonomi yang praktis terhenti total, dari penerbangan sampai hiburan. Industri pariwisata, yang sangat padat karya dan punya rantai pasokan begitu panjang, nyaris mati karena orang harus diam di rumah.
Pukulan berat di sektor riil ini tentu tecermin pada naik-turunnya harga aset pasar finansial di seluruh dunia. Namun, di urusan ini, masih ada bank-bank sentral yang terus-menerus memberikan perangsang berupa guyuran likuiditas tak terbatas. Walhasil, pasar finansial yang bergejolak masih bisa terhindar dari keruntuhan total.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaannya sekarang: sampai sejauh mana pasar finansial mampu bertahan jika sektor riil ekonomi benar-benar macet total? Sebab, mandeknya ekonomi sekarang ini sudah pula memukul industri manufaktur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, purchasing manager index (PMI) yang mengukur aktivitas manufaktur mulai terperosok ke tingkat resesi. PMI Indonesia versi IHS Markit per Maret 2020 hanya 45,3, merosot tajam dari bulan sebelumnya yang mencapai 51,9. Ini juga merupakan rekor terendah semenjak perusahaan data global asal London itu mulai mensurvei Indonesia pada 2011.
Aktivitas manufaktur yang begitu merosot bisa menjadi sinyal serius akan datangnya gelombang penganggur baru. Industri yang sedang tertekan sudah pasti akan mengurangi tenaga kerja. Ini akan menjadi beban tambahan bagi ekonomi. Pemerintah memang sudah menyiapkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak wabah Covid-19. Namun pemerintah sebaiknya mulai mengantisipasi ancaman tambahan penganggur dari sektor ini, yang sepertinya belum tecermin pada berbagai paket stimulus.
Di sisi lain, ketika tekanan persoalan di sektor riil makin meningkat, perdarahan devisa di pasar finansial dalam negeri belum juga mereda. Investor asing masih melepas obligasi negara. Per 1 April 2020, surat berharga negara yang dimiliki asing tinggal Rp 926,77 triliun, berkurang Rp 143 triliun dibanding posisi tertingginya pada 20 Februari 2020.
Pemerintah mungkin masih bisa mengobati melemahnya sektor riil dengan berbagai kebijakan stimulus yang tepat. Namun, jika wabah belum mereda, menahan arus balik investasi asing adalah upaya yang nyaris mustahil. Ini arus global yang sungguh dahsyat alirannya. Menurut data Institute of International Finance, sejak awal Januari, investor sudah menarik dana hingga US$ 95 miliar dari pasar saham dan obligasi di negara berkembang.
Kembali ke persoalan awal di atas, stimulus dari bank sentral akhirnya memang hanya mampu memberikan dampak sementara. Begitu melihat sektor riil terpukul hebat, sentimen pasar langsung muram dan pelarian modal ke tempat aman pun kembali gencar. Situasi mencekam ini sepertinya tak akan teratasi sepanjang vaksin atau obat mujarab untuk mengatasi Covid-19 belum tersedia. Kita semua hanya bisa berupaya untuk bertahan sampai keajaiban itu tiba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo