Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melawan Kepunahan Bahasa Lokal Kita

Sekitar 2.500 bahasa di dunia terancam punah, ratusan di antaranya bahasa daerah sejumlah etnis di Indonesia. Bagaimana menyelamatkannya?

23 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proses laminasi naskah kuno dengan pelapis khusus agar tidak rusak, di Museum Sri Baduga, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebanyak 2.500 bahasa di dunia akan musnah, termasuk bahasa daerah sejumlah etnis di Indonesia.

  • Usaha pemerintah mengawetkan sejumlah bahasa daerah melalui penyusunan kamus.

  • Komunitas Internet coba mendigitalkan aksara kuno Nusantara.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pendidikan (UNESCO) pada Februari 2019 menyatakan sekitar 2.500 bahasa di dunia terancam punah, ratusan di antaranya bahasa etnis di Indonesia. Adapun selama 30 tahun terakhir, 200 bahasa telah punah. Sebanyak 3.000 bahasa lokal pun terancam lenyap pada akhir abad ini. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melanjutkan upaya revitalisasi bahasa daerah lewat penyusunan kamus serta penataan sistem aksara dan bahan ajar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komunitas dan tokoh daerah yang selama ini konsisten mengajarkan bahasa lokal dilibatkan. Di antaranya tokoh dan komunitas bahasa di Konawe, Sulawesi Tenggara; serta di Maluku. Adapun Pengelola Nama Domain Internet Indonesia merilis Transkara, program digitalisasi aksara Nusantara. Tempo melaporkan, untuk merayakan Bulan Bahasa dan Sastra pada Oktober ini.


SEKELOMPOK anak itu bergandengan tangan, membentuk pagar lingkaran sembari menari dan bersenandung. Salah seorang dari mereka berada di tengah. Satu lainnya berada di luar pagar hidup, berusaha menerobos masuk. Bila bocah di luar lingkaran itu berhasil menyusup, kawannya yang berada di dalam kalah. Belasan anak itu terus mengulangi permainan jilon-jilon tersebut diiringi derai tawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam permainan tradisional itu, para bocah Desa Bobaneigo, Kecamatan Jailolo Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, tak henti menyanyikan tembang berlirik bahasa Gorap. Pada awalnya tak semua anak itu memahami arti kidung yang mereka lantunkan. Sebab, sehari-hari mereka berkomunikasi dengan bahasa Melayu dialek setempat. Di sekolah pun semula tak ada muatan lokal yang mengajarkan bahasa etnis tersebut. Bahasa Gorap memiliki kosakata campuran dari bahasa Melayu dan bahasa pendatang asal Sulawesi Tenggara. Walau diperkaya dari dua daerah, Gorap menjadi bahasa tersendiri karena persentase perbedaan kosakatanya dengan bahasa lain lebih dari 81 persen.

Baru belakangan ini anak-anak di Bobaneigo mempelajari bahasa Gorap, setelah Kantor Bahasa Maluku Utara bekerja sama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) mengkaji vitalitas bahasa Gorap untuk mengukur daya hidup bahasa tersebut. “Ini tindak lanjut dari program 2014, yang melahirkan kamus bahasa Gorap sebagai hasil program pemetaan bahasa,” kata koordinator Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional Perlindungan Bahasa dan Sastra, Anita Astriawati Ningrum, saat dihubungi, Ahad, 17 Oktober 2021. 

Sekelompok bermain permainan tradisional jilon-jilon dalam acara Revitalisasi Bahasa Gorap Berbasis Komunitas di Desa Bobaneigo, Kecamatan Jailolo Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Dok. Badan Bahasa

Bahasa lokal di bagian timur Indonesia menjadi prioritas Badan Bahasa. Alasannya, Anita menjelaskan, jumlah penutur di sana makin sedikit dan tempat tinggal penduduk berjauhan. Karena itu, pengajaran bahasa lokal kepada calon penutur lebih sulit. “Banyak orang tua memilih memakai bahasa Melayu setempat saat berkomunikasi dengan anaknya. Sedangkan jumlah penutur yang tinggal sedikit itu kebanyakan sudah berusia tua, lebih dari 40 tahun,” ujarnya. 

Pengkaji bahasa dan sastra di Kantor Bahasa Maluku, Faradika Darman, menyebutkan mereka telah memetakan 64 bahasa daerah setempat dari 130 titik pengamatan. Dari pemetaan itu diketahui sebagian besar bahasa tersebut adalah bahasa minoritas dengan segelintir jumlah penutur aktif, di bawah 100 orang. Di antara bahasa yang nyaris punah itu terdapat bahasa Teon, yang digunakan masyarakat di Desa Yafila, Mesa, dan Watludan, Kabupaten Maluku Tengah. Menurut Farida, di Yafila dan Watludan hanya tersisa belasan penutur aktif. Sementara itu, kondisi di Mesa kritis karena hanya terdapat dua-tiga penutur aktif bahasa Teon.

Selain berupa kamus bergambar berisi kalimat percakapan sehari-hari, dokumentasi dilakukan secara lisan dan audiovisual. Kantor Bahasa Maluku dan Badan Bahasa juga mengajak para penutur aktif menjadi pengajar 60 anak Tunas Bahasa Ibu—istilah untuk calon penutur aktif bahasa lokal. Bahasa Teon diajarkan melalui permainan tradisional dan lagu, disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat yang senang bernyanyi. Untuk umpan awal, para calon penutur diajak terlibat dalam lomba pidato dan cerdas-cermat, juga bernyanyi dengan bahasa Teon.

Sekelompok bermain permainan tradisional jilon-jilon dalam acara Revitalisasi Bahasa Gorap Berbasis Komunitas di Desa Bobaneigo, Kecamatan Jailolo Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara. Dok. Badan Bahasa

Perevitalisasi bahasa dan sastra Badan Bahasa, Dwi Agus Erinita, mengatakan masyarakat penutur bahasa Teon dulu tinggal di kepulauan sebelah tenggara Maluku. Pada 1976, pemerintah memindahkan masyarakat Pulau Teon, Nila, dan Serua itu ke Kabupaten Maluku Tengah. Alasannya ketika itu pemerintah khawatir akan ada bencana alam dari gunung api di kawasan tersebut. Kekhawatiran itu sampai sekarang tak terbukti. Transmigrasi itu pada akhirnya mempengaruhi kebudayaan tradisi dan masyarakat setempat. “Mereka yang semula masyarakat maritim berubah menjadi agraris,” tuturnya.

Bahasa lokal pun lambat-laun terpengaruh. Masyarakat Teon, Nila, dan Serua yang dulu bertutur dengan bahasa Teon beradaptasi dengan bahasa Melayu yang dipakai warga Maluku Tengah. Istilah-istilah yang berkaitan dengan aspek maritim perlahan ditinggalkan karena mereka tak lagi bekerja sebagai nelayan. Hal itulah yang membuat jumlah penutur aktif berkurang, dari 1.200 pada 1990 menjadi di bawah 50 pada awal tahun ini. Penutur aktif itu tersebar di tiga desa: Watludan, Yafila, dan Mesa.

Salah satu penutur aktif, Thobias Tuspitani, menyebutkan kepunahan bahasa Teon sejatinya bermula pada akhir 1960-an. Ketika itu pemerintah getol mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia. Selain itu, transmigrasi mengubah banyak aspek dalam kehidupan warga Teon, Nila, dan Serua. Dampaknya, di tempat tinggal Thobias di Yafila hanya tersisa 10 penutur aktif bahasa Teon dari sekitar 500 penduduk desa itu.

Penyusunan Sistem Ortografi Bahasa Teon di Kabupaten Maluku Tengah, pada Maret 2021. badanbahasa.kemdikbud.go.id

Thobias sendiri aktif melestarikan bahasa daerahnya dengan membuat “kamus” dan mengajarkannya dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah dasar. Hal itu ia lakukan saat menjadi kepala sekolah dasar negeri di Yafila pada 2015. Saat menjadi kepala sekolah, Thobias membuat kurikulum baru dan memasukkan bahasa Teon. Ia sendiri yang kemudian mengajarkan bahasa Teon kepada anak-anak didiknya. Thobias juga mencatat kosakata bahasa Teon berikut artinya di laptop. Ia mencetak catatan itu dan memperbanyak jumlahnya untuk dibagikan gratis kepada para siswa.

Setelah Badan Bahasa dan Kantor Bahasa Maluku mengadakan revitalisasi, Thobias yang sudah pensiun kembali mengajar, bahkan kini menjangkau anak muda di Mesa, desa tetangga. Pada November mendatang, ia dijadwalkan menjadi guru bahasa Teon di SD dan sekolah menengah pertama setempat. Ia membimbing sekitar 40 muridnya di Yafila dan Mesa dalam kelas yang berlangsung dua kali sepekan. Ia mengajarkan bahasa Teon melalui nyanyian, permainan tradisional, dan pengenalan kata. “Saya sangat berambisi bisa mempertahankan keberadaan bahasa Teon karena tak mau bahasa ibu ini punah,” ucapnya melalui telepon, Kamis, 21 Oktober lalu.

•••

SELAMA 2011-2019, Badan Bahasa mengkaji vitalitas 94 bahasa daerah dari 718 bahasa yang dipetakan. Dari situ diketahui 8 bahasa sudah punah, 5 kritis, 24 terancam punah, 12 mundur, 24 dalam kondisi rentan, dan 21 sisanya berstatus aman. Berdasarkan data itu, Badan Bahasa mengambil tindakan untuk meningkatkan vitalitas alias daya hidup bahasa.

Peneliti bahasa etnis, Obing Katubi, menyebutkan ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam membuat model revitalisasi bahasa. Pandangan itu didasari pengalamannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam meriset bahasa etnis di Indonesia timur, khususnya di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Langkah pertama adalah membuat etnografi kebahasaan di wilayah atau komunitas bahasa terkait untuk menggali sejumlah hal, termasuk respons masyarakat dan pemangku kepentingan lain. Dari hal itulah bisa dipetakan model seperti apa yang cocok untuk program revitalisasi bahasa setempat. 

Bila bahasa lokal di daerah itu belum pernah didokumentasikan, pendokumentasian menjadi hal penting yang harus dilakukan. “Dokumentasi itu bukan berupa kamus saja, tapi juga rekaman yang kemudian bisa ditranskripsi dan diterjemahkan untuk berbagai kepentingan, baik edukasi maupun lainnya,” katanya, Jumat, 22 Oktober lalu. Menurut Obing, belum pernah ada pendokumentasian bahasa daerah secara nasional. Padahal upaya ini penting untuk membuat bank data bahasa lokal yang bisa diakses secara lengkap oleh generasi selanjutnya.

Proses belajar bahasa Teon di Maluku Tengah. Dok. Badan Bahasa

Obing berpendapat, sebaiknya revitalisasi bahasa, terutama di Indonesia timur, tidak dipaksakan berbentuk muatan lokal alias mulok yang diajarkan di sekolah. Sebab, situasi kebahasaan di sana lebih kompleks ketimbang di Indonesia bagian barat ataupun tengah. Ia mencontohkan kawasan risetnya di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, yang memiliki 24 bahasa etnis. Juga di Papua yang mempunyai lebih dari 300 bahasa daerah. “Misalnya salah satunya dijadikan pelajaran mulok, kan, bisa jadi perdebatan,” ujarnya. Lain ceritanya bila masyarakat di kawasan itu cenderung homogen. “Jadi jangan sampai keinginan merevitalisasi bahasa dengan jalur formal muatan lokal malah menimbulkan hegemoni kebudayaan di satu kawasan.”

Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, komunitas setempat sudah lama menginventarisasi kosakata bahasa Tolaki dan sastra lisannya. Ketua masyarakat adat, Altin Timbu, mengatakan mereka memiliki sejumlah tradisi lisan, seperti kinoho yang kini jarang dikenali warga di sana. Namun upaya penyelamatan tradisi ini sudah dimulai lewat pendataan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara yang berbuah buku Sastra Lisan Tolaki pada 2007. 

Tahun ini, riset dilanjutkan terhadap empat jenis sastra lisan Tolaki. Selain kinoho, ada anggo, suasua, dan taenango. Badan Bahasa merekam suara dari para penutur—termasuk Altin—di Radio Republik Indonesia serta merekam gambar di rumah adat laika mbu’u di Meluhu. Sementara kinoho serupa dengan pantun, anggo disebut Altin adalah syair yang biasa didendangkan untuk keperluan khusus, seperti memulai masa bertani atau meninabobokan anak. Lain lagi suasua, yang merupakan tembang penyambut tamu kehormatan dalam acara adat, seperti pernikahan. Adapun taenango berupa epos kepahlawanan.

Proses belajar bahasa Teon di Maluku Tengah. Dok. Badan Bahasa

Altin mengaku menuliskan kosakata, tata cara adat, dan sastra lisan Tolaki sejak 1980-an. Namun ketika itu ia baru mencatatnya secara manual. Baru dua tahun terakhir, lewat sanggarnya, ia mengajak anak-anak muda di Konawe mempelajari bahasa Tolaki. Untuk menjaring peserta kelas, ia bahkan mengunjungi satu per satu rumah warga sekaligus menjelaskan kondisi bahasa daerah mereka yang nyaris punah. “Ada lebih dari 50 orang yang mendaftar, dari anak kecil, remaja, hingga warga pendatang,” kata lelaki 54 tahun itu saat dihubungi, Rabu, 20 Oktober lalu.

Puluhan calon penutur aktif bahasa Tolaki itu biasa belajar di rumah adat yang sekaligus menjadi kediaman Altin. Terkadang proses belajar-mengajar yang berlangsung dua-tiga kali sepekan juga berlangsung di kebun. Mereka tak hanya mempelajari kosakata, tapi juga mengenali bahasa Tolaki yang terdiri atas empat tingkat: bahasa raja, bangsawan, tengah (orang biasa), dan budak. “Yang sekarang masih bertahan justru bahasa (tingkat) budak yang kasar,” ucapnya.

Koordinator Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional Perlindungan Bahasa dan Sastra, Anita Astriawati Ningrum, menyebutkan situasi di Konawe menarik karena ada penutur aktif yang masih berumur 16 tahun. Menurut dia, hal itu tak sesuai dengan standar penutur aktif. Setelah berkonsultasi dengan Altin, ia mendapat informasi bahwa kondisi itu disebabkan oleh adanya sejumlah anak muda setempat yang sering tampil dalam upacara adat. “Anak-anak muda itu senang bisa diundang ke hajatan untuk mementaskan seni tradisi. Ini menarik karena upaya pelestarian bahasa daerah bisa memberi manfaat ekonomi kepada warga setempat,” ujarnya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus