Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada usaha Pengelola Domain Internet Indonesia memindahkan aksara kuno Nusantara ke Internet.
Digitalitasi ini akan mengunggah penduduk Indonesia memakainya dalam percakapan.
Cara bagus melestarikan aksara Nusantara dan bahasa daerah.
SEBERAPA sering belakangan ini kita melihat kerabat atau kolega menggunakan Hangul, aksara Korea, dalam percakapan di telepon seluler? Sering kali bahkan kita dimanjakan dengan terjemahan bahasa Korea di sejumlah portal berita di media sosial oleh mereka yang fasih membaca aksara tersebut. Kondisi ini yang diharapkan Pengelola Domain Internet Indonesia (Pandi) bisa terjadi juga pada aksara-aksara Nusantara. Misalnya aksara Jawa, Rejang, Bali, Batak, dan Sunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambaran Pandi: masyarakat Indonesia bakal tergugah untuk mengakses dan menggunakan aksara lokal dalam percakapan sehari-hari di perangkat digital. Ide ini muncul seiring dengan upaya awal Pandi melestarikan aksara lokal. “Belakangan kami berpikir, mengapa tidak melazimkan lagi penggunaan aksara Nusantara dalam keseharian kita? Toh, sebenarnya ini bisa dilakukan,” kata Wakil Ketua Bidang Pengembangan Bisnis, Pemasaran, dan Kerja Sama Pandi Heru Nugroho saat dihubungi, Rabu, 20 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide itu menjadi bagian dari proyek Merajut Indonesia yang dibentuk Pandi untuk merespons kebutuhan akan pelestarian budaya, termasuk bahasa dan aksara. Dari sebelumnya ada ratusan aksara Nusantara, kini tinggal 17 yang masih bisa dilestarikan. Proyek Pandi spesifik bersentuhan dengan hal digital, seperti aplikasi situs, gawai, pengarsipan digital, dan basis data. Dari ide itu, lahirlah Transkara, aplikasi untuk mengonversi tulisan berbahasa Latin, baik Indonesia maupun etnis, ke sejumlah aksara daerah. Fungsi Transkara semacam Google Translate, tapi versi aksara Nusantara. Sejauh ini, via Transkara, kita dapat mengonversi aksara Latin ke Jawa, Rejang, Batak, Bali, dan Sunda. Demikian juga sebaliknya.
Aplikasi serupa, atau mirip dengan Transkara, sejatinya pernah dirilis. Misalnya situs web Aksaradinusantara.com yang dikerjakan secara sukarela oleh Aditya Bayu dan kawan-kawan. Situs ini menyediakan font sejumlah aksara Nusantara, seperti Jawa, Bali, Pegon, Sunda, Rejang, dan Kawi. Jika ingin menggunakan font itu di perangkat digital, kita tinggal mengunduh aksara yang diinginkan dengan aksentuasi beragam.
Alat konversi aksara Jawa dan Sunda ke Latin serta sebaliknya juga disediakan oleh situs Kompiwin.com. Aplikasi yang memuat konversi aksara Nusantara dengan sejumlah fitur pun bisa kita unduh di gawai. Namun, bila ingin memanfaatkan kemudahan itu dalam percakapan teks, kita mesti melewati tahap copy-paste alias salin-tempel. Pandi berupaya mengatasi hal itu agar kita bisa menggunakan aksara Nusantara tanpa harus menyalinnya dulu. “Kami sedang mengupayakan standar digitalnya ke pemerintah,” ujar Heru.
Heru mengaku semula Pandi membicarakan hal ini dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun Kementerian menyarankan Pandi berkoordinasi dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Sayangnya, Pandi tak mendapat respons yang dikehendaki karena Badan Bahasa tak mempunyai unit kerja yang bisa menindaklanjuti gagasan itu. Walhasil, Pandi menyambangi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Teknologi Transkara untuk mengkonversi aksara latin ke aksara nusantara. TEMPO/Ratih Purnama
Kementerian Komunikasi diminta mendukung regulasi agar platform digital yang akan masuk ke Indonesia diwajibkan mengakomodasi font aksara Nusantara. Sebab, yang menjadi kebutuhan mendasar adalah membuat aksara daerah menjadi default dalam sistem operasi. Kementerian Komunikasi mendukung upaya pengembangan papan ketik aksara daerah ini. “Kami mendukung segala upaya transformasi digital, termasuk digitalisasi aksara Nusantara. Karena itu, kami akan membuat program bersama Pandi terkait dengan hal ini,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi Semuel Abrijani Pangerapan, Kamis, 21 Oktober lalu.
Untuk menyokong niat itu, Pandi mengurus standar atau penyeragaman dalam digitalisasi aksara. Tujuannya adalah memastikan huruf-huruf itu punya ketepatan yang baik saat digunakan di aplikasi atau media mana pun. Heru menuturkan, proses ini melewati jalan panjang. Pada 2020, Pandi ditolak oleh lembaga domain Internet dunia (ICANN) saat mendaftarkan aksara Jawa. Musababnya, belum ada bukti aksara Jawa digunakan dalam keseharian masyarakat Indonesia. Dokumen yang ada menunjukkan penggunaan aksara Jawa hanya bersifat dekoratif, belum menyentuh ranah digital.
Karena itu, sejak beberapa waktu lalu Pandi mendorong pemerintah mengesahkan standar nasional digitalisasi aksara. Pada 13 Oktober lalu, Pandi dan pegiat aksara sudah merampungkan dan menyerahkan rancangan Standar Nasional Indonesia 1, dokumen font dan papan ketik standar nasional, kepada Badan Standardisasi Nasional dan Kementerian Perindustrian. Standar transliterasi juga sudah disiapkan untuk bahasa daerah, seperti Sunda, Jawa, dan Bali. “Ada yang belum kami selesaikan standarnya karena tak mudah memastikan aksara-aksara itu adaptif di semua perangkat,” ucap Heru.
Standar aksara Kawi, misalnya, sudah dalam evaluasi tahap akhir oleh Unicode (standar pengodean karakter yang memungkinkan penyimpanan dan pemrosesan teks dalam sistem digital). Proses ini diiringi pengumpulan dokumen terkait dengan aksara Kawi, yang banyak ditemukan di sejumlah prasasti. Adapun tahun depan ada lima aksara lain yang diurus Pandi, yakni Batak, Lontara, Rejang, Incung, dan Lampung.
Tak tertutup kemungkinan nantinya aksara Pegon juga didigitalisasi, mengingat huruf ini masih sering digunakan. Heru mengklaim penerapan digitalisasi aksara kuno tak akan membawa dampak dalam komunikasi di Internet dan gawai, tapi bisa dimanfaatkan untuk membangun sistem ketahanan nasional pada ranah siber. Misalnya Rusia dan Cina yang menggunakan aksara lokalnya untuk pemrograman (coding) dari tingkat dasar komputasi mereka. “Ini akan menyulitkan peretas dunia maya,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo