Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Catatan Harian Putu Jelantik

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

15 September 1906 Pukul 7.30 pagi Raja Badung mengirim rakyat bersenjata kira-kira 1.000 orang yang dikepalai oleh 7 manca masuk ke Desa Sanur untuk menghasut desa-desa. Cuma Desa Sanur tidak mau dihasut….

Catatan ini dibuat oleh I Gusti Putu Jelantik, seorang pegawai Belanda. Ia boleh disebut saksi mata, yang mengikuti sejak pertama geger karamnya kapal Sri Koemala pada 27 Mei 1904. Ia meninjau sendiri kapal—tinggal tulang-tulang kayunya tertanam di pasir. Lalu hari demi hari ia mengikuti kronologi peristiwa sampai sesudah perang 28 November 1906.

Pekerjaannya adalah punggawa keliling mengantar pejabat tinggi sebagai penerjemah. Laporannya dari desa-desa. Ia juga diserahi tugas untuk mengantar surat ke Raja tentang kemungkinan damai. Dan ia mencatat siapa-siapa bangsawan kerajaan yang mati.

”Ya, dia menjadi pencatat sejarah kolonial dan kemudian menjadi penulis perundang-undangan di Bali,” kata Prof Dr I Gde Parimartha. Ia mengakui pentingnya pencatatan yang dia lakukan meskipun itu untuk Belanda. ”Ia melihat Raja Badung sebagai musuh,” kata Helen Creese, yang menyunting dan memasukkan catatan harian Jelantik dalam buku Seabad Puputan Badung.

Dari catatan Jelantik, kita jadi tahu siapa saja pejabat yang sesungguhnya ingin menyerah dan siapa yang tak berhasrat perang. Pada 12 September, dua kapal perang Belanda dan 11 kapal penumpang yang berisi serdadu merapat di Sanur, dan ia diutus menyerahkan surat penting. Surat itu ditujukan kepada Raja Denpasar dan Tabanan melalui punggawa di Sanur, Ida Bagus Ngurah. Jelantik menulis: ”Ida Bagus Ngurah saat itu menyatakan kepadanya secara rahasia ia tunduk kepada Sri Gouvernement.”

Ia juga mencatat bagaimana reaksi Puri terhadap mereka yang dianggap pengkhianat. Pada 17 September 1906, ia menulis:

Kira-kira pukul 9 pagi, Punggawa Sesetan, I Gusti Made Raka, mati dibunuh oleh suruhan Raja Badung, sebab menyerah takluk (ngayuhang gumi) kepada Kompeni.

Keesokannya, 18 September 1906, ia mencatat:

Rakyat Badung dari Paguyangan membikin benteng tembok di sawah subak Panglah (Pekambingan). Malamnya I Gusti Alit Made Raka berkelakuan seperti orang gila di pemerajan Puri Denpasar, lantas dikurung dan dibunuh sampai mati oleh orang banyak….

Pada 20 September, ia menyaksikan hancurnya Puri Denpasar, dan melihat setelah Raja Badung gugur, rakyat Badung yang masih hidup lari semua. Pukul 2 siang, serdadu Belanda merangsek ke puri Pamecutan. Raja Pemecutan gugur. Peperangan di situ hanya berlangsung satu jam karena tidak ada perlawanan yang berarti.

Tampak I Gusti Putu Jelantik begitu dipercaya pihak Belanda. Dialah yang disuruh oleh pemerintah Belanda untuk mencari jenazah Raja Denpasar dan Pamecutan. Dengan bantuan rakyat, ia kemudian membawa jenazah keduanya ke puri Denpasar.

Pada 21 September 1906, ia menulis:

Punggawa Badung dan Pamecutan bersama rakyatnya datang takluk pada kompeni. Sore lalu membakar kedua jenazah raja tersebut di kuburan Badung.

Pada 22 September, abu keduanya dibuang di pantai Kuta. Pada 27 September, Jelantik menyertai serdadu Belanda menuju Tabanan. Ia melihat Raja Tabanan bersama beberapa ratus pengawalnya menyerah kepada Belanda. Atas perintah Jenderal Belanda, Raja Tabanan dan anaknya diantar ke Denpasar. Namun, pada 28 September 1906, ia menulis tragis:

Waktu malam Raja Tabanan dan anaknya dari padmi bersama I Gusti Ngurah Gede meninggal bunuh diri di Puri Denpasar

”Jelantik kemudian jadi pejabat tinggi,” kata Prof Dr I Gde Parimartha. Kariernya melejit. Setelah perang itu, ia menjadi kurator Gedung Kirtya di Singaraja. Gedung yang sampai kini menjadi pusat penyimpanan lontar-lontar Bali dan Jawa Kuno. Pada 1929, pemerintah Belanda mengangkat dia menjadi regent Buleleng. Meski berada di pihak musuh, kesaksiannya kini jadi data berarti.

Seno Joko Suyono, Rofiqi Hassan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus