Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang Puputan adalah tragedi. Ia berbuah kehancuran, juga penjarahan harta kerajaan-kerajaan di Bali oleh tentara Belanda. Sebagian besar harta rampasan perang itu diboyong ke Museum Etnografi di Leiden, setelah diangkut dengan kapal H.M. Koningin Wilhelmina dari Bali.
Museum itu, menurut Francine Brinkgreve dalam artikelnya, Raja-raja Bali dan Pemerintah Belanda, mencatat: sekitar 410 barang rampasan Perang Puputan Badung tiba di Belanda pada 1907. Barang-barang berharga itu dikemas dalam tiga peti dengan volume dua meter kubik dan berat 375 kilogram.
Isinya beraneka ragam. Ada keris, tombak, dan sejumlah senapan berlaras panjang yang dilapisi emas. Satu di antara keris yang menarik adalah keris dari rampasan Puputan Badung. Panjangnya 36,5 sentimeter, berbahan besi, nikel, kayu, dan gading. Uniknya, pegangan keris tak bernama itu terbuat dari gading berhiaskan tokoh raksasa. Ada pula kotak taji berbahan kayu dan baja. Kotak sepanjang 18,8 sentimeter itu berhiaskan lukisan-lukisan dari kisah epos Ramayana.
Barang lainnya: tenunan, perhiasan, perangkat sirih, benda-benda upacara, dan berbagai hiasan pura. Satu di antara perhiasan mewah dan anggun adalah mahkota setinggi 35 sentimeter berbahan emas, permata, batu delima, dan rotan. Pada bagian belakang mahkota emas yang biasa dikenakan dalam upacara adat itu terdapat 175 permata kecil dan kepala gajah (karang asti) untuk menolak bala.
Selain dari Badung, museum Leiden juga menampung barang-barang pampasan Perang Puputan di Klungkung. Menurut surat Residen Klungkung, De Bruyn Kops, kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz, terdapat sekitar 500 barang berharga yang dibawa setelah perang. Dalam surat bertanggal 19 Mei 1908 itu disebutkan bahwa seluruh barang itu dikemas dalam sembilan peti, plus dua peti berisi manuskrip Bali.
Selain senjata, dari Klungkung diboyong bokor wadah sesajen, wadah pekinangan (lelancang), wadah air suci berkaki tiga (siwamba), lampu pendeta untuk upacara (padamaran), dan kotak tembakau. Semuanya berbahan emas dan perak. Ada pula alat musik rebab berbahan emas, zamrud, batu delima, dan kristal. Rebab sepanjang 74 sentimeter itu merupakan bagian dari orkes yang mengiringi dramatari Gambuh.
Koleksi barang-barang berharga Perang Puputan di Leiden kian bertambah dengan sumbangan kolektor perorangan, Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp. Secara kebetulan pelukis itu berada di Bali sepanjang 1874-1950. Ketika bertandang ke Denpasar, 26 September 1906, Nieuwenkamp menjumpai rumah-rumah yang porak-poranda dibakar tentara Belanda. Para tentara tinggal di Puri Denpasar, sementara ia membangun sebuah pondok di atas reruntuhan.
Suasana perang itu dilukiskan Nieuwenkamp dalam bukunya, Bali en Lombok. Ia menulis:
”Mereka benar-benar memporak-porandakan semuanya. Di taman puri ada beberapa tentara yang memanaskan makanannya di atas api terbuat dari penyangga gamelan yang penuh dengan ukiran indah. Dengan segera saya mengumpulkan apa yang belum terbakar dan membawanya ke gubuk saya.”
Ketika diduduki tentara Belanda, puri itu penuh dengan benda-benda seni ukir dan pahat seperti pintu, jendela, bingkai-bingkai, berbagai patung kayu, dan arca batu. Lalu ada pula perabot rumah tangga, pakaian, senjata, dan alat-alat musik. Tak lama berselang, semuanya berangsur-angsur lenyap.
Dengan susah payah, Nieuwenkamp berhasil menyelamatkan dua daun pintu yang indah dari gerbang utama puri. Pintu itu terbuat dari potongan kayu jati yang besar. Tingginya 4,37 meter, lebar kedua daun pintu 1,46 meter, dan tebalnya 6 sentimeter. Satu sisi dihias ukiran sangat indah, menggambarkan satu episode dari cerita Ramayana: Jatayu yang susah payah mencoba membebaskan istri Rama yang diculik Rahwana.
Menurut Nieuwenkamp, semula tentara Belanda akan membuat jembatan dengan bahan dari daun pintu itu. ”Untunglah daun pintu indah itu selamat dan kini tersimpan di Museum Etnografi di Leiden,” tulis Nieuwenkamp.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo