Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH tembang adalah isyarat. Sebelum terjun ke kancah pertempuran, tatkala kematian sudah jelas membayang, ia menuliskan prinsip-prinsipnya.
Dan saat salvo pertama merobohkan tubuhnya, pasukan Belanda tidak mengetahui ia adalah seorang pengarang besar. Seorang pengarang yang menganggap menulis sastra sebagai jalan penyucian diri, jalan yang menghubungkan dirinya terus-menerus dengan yang Ilahi.
Itulah I Gusti Ngurah Made Agung. Kini sebuah buku berisi transliterasi dan terjemahan naskah karya I Gusti yang aslinya ditulis dalam lontar diterbitkan. Penerjemahnya adalah I Nyoman Wedakusuma. Ada enam karya sastra yang diciptakan oleh Gusti Ngurah: Geguritan Loda, Niti Raja Sesana, Herdaya Sastra, Dharma Sesana, Nengah Jimbaran—semua ini ditulis pada 1903. Serta Purwa Sanghara yang dibuat pada 1905.
Kidung-kidung itulah yang terus menerus dilantunkan di puri Denpasar, untuk menyambut 100 tahun Puputan. Sastra adalah jalan keheningan. Sastra adalah jalan untuk menegakkan yang baik dan benar. Menurut Ida Bagus Gusti Agastia, Ketua Yayasan Dharma Sastra, yang tahun ini juga menerbitkan buku mengenai tembang Gusti Ngurah Agung, isyarat Puputan dapat dilihat dalam Niti Raja Sesana.
Niti Raja Sesana artinya Etika Kepemimpinan Raja. Dalam karya ini jelas terlihat perhatian Gusti Ngurah akan keutamaan ikhlas mati. Di situ ia menuliskan sembilan jenis sikap raja menghadapi musuh. Ada enam perilaku yang dianggap sikap utama, sedangkan tiga tercela. ”Enam perilaku utama itu semuanya berakhir dengan kematian raja dalam peperangan apa pun kondisi yang dihadapi,” kata Agastia.
Dalam karya Dharma Sesana, menurut Agastia, Gusti Ngurah menunjukkan perhatian besar pada topik Matine Mautama (mati yang utama) dan Mati Tan Tumut Pejah (mati namun sesungguhnya hidup abadi). ”Ajaran ini menunjukkan bagi Gusti Ngurah kematian tidak bisa dimaknai secara fisik belaka. Ini menunjukkan raja juga adalah pendeta.”
Dalam karya itu berulangkali Gusti Ngurah mengetengahkan hal rasa kematian. Menurut Agastia, sang raja terus-menerus mengingatkan segala sesuatunya, termasuk yang tampak baik, akhirnya hancur. Karena itulah yang harus menjadi fokus seseorang adalah rasa kematian. Seseorang harus selalu menyadari diri, tidak pernah melupakan tempat kematian.
Menurut Agastia, Gusti Ngurah sangat terpukau dengan Kakawin Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Panuluh pada 1157. Terutama bagian saat Mpu Sedah memetaforakan bahwa sesungguhnya medan peperangan adalah medan nyadnya. Sebuah medan tempat para kesatria melakukan pemujaan pada yang Ilahi.
Betapapun tema yang ditampilkan berbau sangkan paraning dumadi (asal dan usul tujuan kehidupan), dalam berbahasa Gusti Ngurah tergolong sangat ”kosmopolit”. Ia suka memakai campuran bahasa Bali, Jawa, dan Melayu. Ia sangat senang dengan tembang Jawa—yang disebutnya tembang Surakarta. Penggunaan bahasa Melayu, menurut Agastia, menunjukkan kecerdasan dan luasnya pergaulan sang raja dengan pedagang Bugis dan Sumatera yang sudah mulai berdatangan di Bali saat itu.
Sering kidungnya diawali kerendahan hati, bahwa bahasa yang dipakainya demikian campur-baur. Misalnya, naskah Dharma Sasana diawali kalimat yang terjemahannya demikian: ”… dengan gembira ikut mengarang kidung… dengan bahasa Jawa dan Melayu, terserah jika pembaca mentertawai, asalkan jangan marah, pengarang miskin kata-kata karena itu memungut-mungut, belum mahir mencocokkan, menempatkan kata sesuai dengan bunyi akhir dalam setiap baris tembang....”
Karya terakhir Gusti Ngurah adalah Purwa Sanghara (zaman terakhir), ditulis setahun sebelum Puputan. Dalam karya itu Agastia melihat sang raja mengingatkan perihal ciri-ciri akhir zaman serta bagaimana menyelamatkan diri dari kehancuran. Di sini ia banyak menyadur kitab tua. Salah satunya Kakawin Sutasoma.
Itulah mungkin yang menyebabkan penduduk Desa Buda Keling, Karang Asem—desa yang dikenal memelihara tradisi pembacaan Sutasoma—banyak datang ke Denpasar saat peringatan 100 tahun Puputan. Dipimpin oleh rohaniawan Ida Wayan Granoka yang dikenal sebagai ketua Bajra Sandhi, kelompok tari spiritual, pagi pukul 02.00 dini hari mereka berangkat naik truk.
Mereka membawa lontar Sutasoma, lalu menuju Puri Blah Batu untuk menjemput topeng yang dipercaya milik Gajah Mada, dan akhirnya bertolak ke Puri Denpasar untuk meminjam keris-keris yang pernah digunakan Puputan. Ketiga ”azimat” itu disandingkan saat malamnya—grup Bajra Sandhi menggelar pertunjukan tari berdasar Sutasoma.
Profesor Henk Schulte Nordholt, saat melihat arak-arakan dari Buda Keling ini, tak bisa menyembunyikan kekagumanya. Betapapun sikap kritis dirinya terhadap karya-karya Gusti Ngurah tetap ada . ”Saya heran sekali, jumlah naskah Gusti Ngurah Agung itu demikian banyak, padahal beliau masih muda, 30 tahun,” komentar Henk Nordholt.
Ada lagi yang membingungkannya. Semua karya Gusti Ngurah diciptakan pada 1903 dan 1905. Itu menurut dia tidak mungkin, karena pada tahun-tahun itu kesibukan Gusti Ngurah luar biasa—apalagi kemudian menghadapi kasus Sri Kumala. ”Dia harus menjadi penulis full time untuk bisa menulis demikian ” tambahnya.
Nyoman Wijaya sependapat dengan Nordholt. Lebih jauh Nyoman melihat, sesungguhnya ada tendensi politis dalam karya-karya itu. ”Kesalahan orang Bali adalah menganggap teks itu dibuat Gusti Ngurah saat sudah berstatus Raja Badung,” katanya. Gusti Ngurah, menurut Nyoman, diangkat sebagai raja di Puri Denpasar pada 1902. Pada 1904 baru dia terpilih sebagai Raja Badung. Nyoman Wijaya berpendapat, Gusti Ngurah menciptakan kidung ketika kepemimpinan pada 1903, karena ia ingin menunjukkan visi agar ia bisa terpilih sebagai Raja Badung. ”Dalam tembangnya terpantul ambisi kekuasaan,” katanya.
Bisa jadi yang diungkapkan Nyoman Wijaya adalah benar. Tapi tetap tidak dapat dimungkiri, sebagai sebuah karya, kidung-kidung itu menampilkan sesuatu yang universal. Membaca terjemahan kidungnya, kita dapat menangkap bahwa apa yang disampaikannya adalah apa yang juga sering direfleksikan penyair religius mana pun. Bahkan sufi. Tak henti-hentinya Gusti Ngurah mengingatkan adanya musuh dalam diri. Tak henti-hentinya ia mengingatkan menggapai dimensi spiritual adalah sebuah perjalanan yang berat, tak dapat direngkuh bentuknya sebab itu menuju yang kekosongan. Tapi seseorang harus optimis. Tulisnya:
”... Kesadaran yang tersembunyi dan bertingkat-tingkat itu, tidak semakin menjauh, dapat ditempuh seiring dengan kemampuan menuju ke kesadaran kosong, berarti sadar akan adanya Tuhan, mudah-mudahan berhasil menemui….
Seno Joko Suyono, Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo