Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) memberikan catatan khusus terhadap sejumlah Calon Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) yang lolos dalam tes profile assesment atau penelusuran rekam jejak. Delapan diantaranya memiliki latar belakang profesi sebagai Hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panitia seleksi (Pansel) mengumumkan hasil tes asesmen peserta Calon Pimpinan (Capim) dan Calon Dewas KPK pada siang ini, Rabu, 11 September 2024. Dalam pengumuman itu, Pansel menyatakan telah meloloskan masing-masing 20 calon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan pihaknya perlu memberikan catatan khusus kepada calon Dewas yang berlatar belakang hakim karena vonis kasus-kasus korupsi semakin tahun semakin melemah. “Artinya, ancamannya semakin rendah. Mulai dari lima tahun, ke tiga tahun, lalu ke dua tahun, dan itu ada di tangan profesi Hakim,” kata Julius ketika dihubungi Tempo, Rabu, 11 September 2024.
Julius menambahkan, rekam jejak Calon Dewas ini merupakan bukti apa yang telah dilakukan dan berpotensi untuk terjadi pengulangan perbuatan di masa yang akan datang. Ia juga mendorong Pansel KPK untuk melihat secara jeli calon-calon tersebut.
“Calon Dewas dengan latar belakang aparatur negara dan penegak hukum seharusnya dapat berkontribusi antikorupsi sejak di lembaga masing-masing, faktanya, lembaganya sendiri justru berkali-kali diperiksa KPK hingga divonis penjara dalam kasus korupsi, misalnya Hakim dan BPK,” tulis PBHI dalam catatan yang dirilis hari ini.
Pansel KPK, menurut PBHI, juga harus melihat kepentingan kekuasaan politik eksekutif dan legislatif yang bisa mengebiri pemberantasan korupsi lewat pembunuhan KPK dengan tangan Dewas. “Artinya, calon Dewas yang berasal dari kedua kekuasaan politik betul-betul harus diwaspadai masalah independensinya,” lanjut PBHI.
PBHI mengatakan, Pansel KPK harus mencoret Calon Dewas yang terindikasi memiliki relasi politik dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif yang anti-KPK dan pro-korupsi. Berikut rincian singkat rekam jejak delapan hakim yang disoroti PBHI:
Binsar M. Gultom
Binsar M. Gultom adalah Hakim Tinggi Jakarta dengan jumlah kekayaan Rp 5,6 miliar. PBHI menuliskan, Binsar pernah menggugat Komisi Yudisial ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Februari 2019 karena gagal dalam Seleksi Calon Hakim Agung 2017-2018. Akan tetapi gugatanya itu ditolak.
Ia juga diduga melanggar etik dan dilaporkan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung karena memberikan pernyataan ke sebuah stasiun televisi nasional soal putusan terhadap terpidana kasus kopi sianida, Jessica Wongso, pada November 2023. Padahal, seorang hakim dilarang berkomentar terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam kondisi apa pun.
Binsar, menurut catatan PBHI, juga pernah menggugat Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ketentuan pencalonan Hakim Agung pada Agustus 2016. Gugatan itu dia layangkan sering tidak lolos seleksi. Selain itu, PBHI juga menyoroti Binsar yang disebut pernah merendahkan martabat perempuan dalam bukunya "Pandangan Kritis Seorang Hakim" pada September 2017.
Selanjutnya, mertua komika Kiky Saputri
Gusrizal
Gusrizal saat ini tercatat menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin. Menurut catatan PBHI, ia memiliki jumlah kekayaan Rp 6 miliar di 2022, dan naik menjadi Rp 6,9 miliar di 2023.
PBHI mengatakan, Gusrizal menggelar pesta pernikahan mewah anaknya, Muhammad Khairi, dengan komika, Kiky Saputri di kawasan Darmawangsa menggunakan dana pribadinya. Pernikahan mewah itu dinilai tidak sinkron dengan jumlah kekayaannya. Ia juga memvonis ringan Miranda S. Gultom dalam Kasus Korupsi Bank Indonesia pada september 2012.
Jhon Dista
Jhon Dista merupakan Hakim Ad-Hoc Tipikor PN Surabaya. Menurut catatan PBHI, ia tidak patuh atau melanggar aturan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ia terakhir melapor LHKPN pada 31 Desember 2020.
Jumlah kekayaan Jhon Dista Rp 600 juta di 2018, dan naik menjadi Rp 1,2 miliar di 2020. PBHI juga menyoroti vonis ringan yang ia jatuhkan terhadap Terdakwa Korupsi, DP dan TS pada Kasus Korupsi Tanah Kas Desa Gambiran di Kecamatan Kalisat pada September 2021.
Matheus Samiaji
Matheus tercatat sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar. Dia juga disebut tidak mematuhi aturan pelaporan LHKPN. Jumlah kekayaannya mencapai Rp 2,6 miliar di 2022, dan naik menjadi Rp 3,8 miliar pada Desember 2023.
Catatan PBHI menyatakan Matheus diduga melakukan gratifikasi berupa pemberian kain batik kepada Anggota Komisi Yudisial saat ikut seleksi Calon Hakim Agung pada Januari 2019. Selain itu, ia diduga menjalin hubungan terlarang dengan seorang Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan di Bali pada Juli 2018.
Rodjai S. Irawan
Rodjai S. Irawan merupakan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Tinggi Mataram dengan jumlah kekayaan sebesar Rp 2,8 miliar pada 2021-2023.
PBHI menuliskan, ia terlibat politik praktis menyebarkan materi Partai Gerindra soal politik uang Tim Jokowi pada kampanye Pilpres 2014. Ia juga dinilai terlibat politik praktis menyebarkan informasi Capres Prabowo Subianto sebagai korban fitnah reformasi pada 12 Juni 2014.
Sumpeno
Sumpeno merupakan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta. Menurut catatan PBHI, ia memiliki jumlah kekayaan Rp 7,2 miliat di tahun 2018, dan naik menjadi Rp 13,6 miliar pada Desember 2023. PBHI menyoroti rekam jejaknya yang memvonis bebas La Nyalla Mataliti pada Desember 2016, dan memvonis ringan OC Kaligis pada Desember 2015.
Eddy P. Nasution
Eddy P. Nasution juga disoroti oleh PBHI. Menurut catatan, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Tinggi Tanjung Karang ini tidak patuh dan terakhir melapor LHKPN pada 31 Desember 2023. Harta kekayaannya tercatat sebesar Rp 897 juta pada 2022. PBHI juga menuliskan, harta Eddy Nasution naik menjadi Rp 1,2 miliar pada Desember 2023.
Suhartanto
Suhartanto menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Surabaya. Jumlah kekayaannya, menurut catatan PBHI, mencapai Rp 1,5 miliar di 2022, dan naik menjadi Rp 8,7 miliar pada 2023. PBHI menyoroti Suhartanto yang memvonis ringan lima mantan Anggota DPRD Banten, atas nama AA, YE, AM, DT dan RK, dalam kasus Korupsi Pengalihan Dana Bencana Alam ke Dana Perumahan dan kegiatan DPRD pada Mei 2007.
Selain hakim, sejumlah calon Dewas KPK yang lolos dalam profile assesment kali ini juga memiliki latar jaksa, aparat sipil negara, hingga pejabat di lembaga tinggi negara lainnya. Selanjutnya, mereka akan menjalani tes wawancara sebelum akhirnya dikirimkan ke DPR RI untuk menjalani fit and proper tes atau tes kelayakan dan kepatutan.