Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA Joko Widodo meninggi ketika membicarakan rancangan anggaran tahun depan. Presiden terpilih ini menganggap alokasi dana pembangunan tak cukup untuk menjalankan program pemerintahannya. Ia mengaku sudah punya jalan keluar: "Akan saya mulai dari efisiensi anggaran dinas di kementerian."
Kepada peserta road map perekonomian yang digelar Asosiasi Pengusaha Indonesia di Jakarta, Kamis pekan lalu, ia menceritakan besarnya pos rapat dan perjalanan dinas pemerintah, yang mencapai Rp 37 triliun lebih. Sekitar Rp 18 triliun di antaranya dianggarkan untuk rapat. "Itu perjalanan dinas dan rapat apa kok sampai triliunan?" ujar Gubernur Jakarta ini. "Ini tidak masuk akal, karena mestinya diefisienkan."
Menurut Jokowi, dengan kondisi keuangan negara yang berat, penyelenggaraan rapat seperti itu seharusnya ditinjau kembali. Ia menganggap tak masuk akal rapat digelar di hotel mewah, sementara kantor kementerian memiliki ruang yang layak. "Saya dan Pak JK pengusaha, yang menghitung uang serupiah-dua rupiah," katanya.
Jokowi, 53 tahun, menceritakan pengalamannya menghemat pengeluaran kantor pada waktu menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta. Dimulai dari hal sepele, seperti mengurangi pembelian kertas dan tinta, kata dia, dihasilkan penghematan Rp 4,2 triliun setahun.
Kepada Tempo yang menemuinya, Kamis pekan lalu, Jokowi bertekad merampingkan anggaran rapat itu hingga 40 persen. Ia menyatakan telah meminta Tim Transisi pimpinan Rini Mariani Soemarno menyelesaikan formulasinya. "Kami sedang menghitung ulang bagaimana penghematan harus dilakukan," ujarnya.
Jokowi mengatakan sulit membayangkan besarnya dana rapat dan perjalanan dinas yang bahkan melebihi anggaran pembangunan mass rapid transit di Jakarta. Proyek transportasi massal yang mulai dibangun pada awal pemerintahan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta ini menelan biaya Rp 16 triliun dari pinjaman Japan International Cooperation Agency. Anggaran rapat juga melebihi nilai proyek rel jalur gandaJakarta-Surabaya senilai Rp 10,78 triliun. "Bayangkan jika separuh anggaran perjalanan dinas dipindahkan untuk membangun infrastruktur lain, seperti perbaikan jalan di pantai utara, atau membenahi kampung nelayan," kata Jokowi.
Menurut Deputi Tim Transisi Hasto Kristiyanto, kenaikan anggaran rapat dan perjalanan dinas sebenarnya bukan hal baru. Selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, meski berulang kali ditekan, tetap saja alokasinya naik signifikan setiap tahun. Pada 2009, anggaran perjalanan dinas Rp 2,9 triliun dan melompat hingga Rp 32 triliun pada tahun ini.
Menurut Hasto, kenaikan anggaran ini sangat berpotensi dimainkan birokrat nakal. Ia menunjuk biaya rapat kementerian Rp 18,1 triliun, yang merupakan kombinasi rapat dalam kota Rp 6,2 triliun dan luar kota Rp 11,9 triliun, lalu perjalanan dinas kementerian Rp 15,5 triliun. Komponen terbesar anggaran itu adalah ongkos tiket perjalanan dan akomodasi, plus uang saku.
Dana rapat dan perjalanan dinas ini belum dibahas di Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Dolfie O.F.P., anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pembahasannya akan mempertimbangkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2013, yang menyebutkan adanya penyimpangan dan kebocoran anggaran sebesar 40 persen.
Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hasan Bisri menyatakan lembaganya juga menemukan ratusan kasus perjalanan dinas fiktif. Modusnya antara lain pengeluaran untuk kegiatan rapat dan perjalanan dinas, tapi sebenarnya tak ada kegiatan. Ia mengakui tak mudah membuktikan kebocoran anggaran. "Jika daftar isian pelaksana anggaran tak dipelototi, bisa tak tampak," ujar Hasan.
DIREKTUR Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudi mengaku pernah jengkel dengan adanya uang rapat siluman. Pada awal tahun ini, ia menjadi anggota tim ahli sejumlah kementerian ekonomi dan diminta hadir dalam sebuah diskusi yang juga dihadiri menteri serta pejabat eselon satu.
Setelah diskusi satu jam, Agung menerima honor dengan kuitansi Rp 350 ribu. Setelah itu, ia tak pernah dikontak lagi. Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba ia menerima telepon dari pejabat eselon tiga, yang kemudian mengantar honor untuknya sebagai anggota tim ahli. Karena merasa tak berperan dalam tim, Agung menolak menerimanya. Sejam kemudian, atasan pejabat eselon tiga itu menelepon dan menanyakan alasan Agung menolak amplop. Agung menjawab, sejak awal, ia tak terlibat pembahasan kajian. "Mereka pusing karena nama saya sudah tercantum dalam SK menteri yang mewajibkan tim melibatkan orang independen," ujar Agung.
Sebagai anggota tim ahli yang dikontrak tetap selama tiga tahun di satu kementerian ekonomi-tugasnya antara lain memantau pelaksanaan instruksi presiden-Agung menyatakan sering menemui perilaku pejabat kementerian semacam itu. Termasuk pelaksanaan rapat berhari-hari di luar kota yang hanya menghasilkan satu kajian. Kerap rekomendasi pertemuan itu terbengkalai karena tak ditindaklanjuti.
Paling sering terjadi, kata dia, pejabat mengumpulkan honor rapat. Di setiap direktorat banyak dibentuk tim dan kajian yang melibatkan "ahli independen". Semua keterlibatannya dalam tim menghasilkan honor. Misalnya, di salah satu kementerian, Agung menerima honor bulanan Rp 4,8 juta. "Saya dikontrak tiga tahun untuk melakukan review investasi," ujarnya.
Sistem honor bagi pegawai negeri sipil di semua kementerian dan lembaga pemerintah membuat banyak eselon di tiap kementerian berlomba ikut dalam beragam kepanitiaan. Semakin banyak terlibat dalam tim, semakin tinggi pendapatan seorang pejabat. Honor menteri Rp 7 juta, direktur jenderal sebagai pengarah Rp 5-6 juta, direktur Rp 4 juta, dan eselon di bawahnya beraneka hingga paling bawah Rp 750 ribu. Jika satu direktur ikut lima kali kepanitiaan, selain memperoleh gaji tetap, ia akan mendapatkan lima kali honor standar direktur Rp 4 juta.
Karena tak ada pembatasan, kata Agung, ditemukan 300 kali kepanitiaan dalam setahun pada satu pejabat eselon satu sebuah kementerian. Ia menerima Rp 175-350 juta per bulan. Ada juga menteri yang menerima honor kepanitiaan meskipun sudah memiliki dana operasional tersendiri. "Bayangkan, ada menteri yang ikut 60 kali kepanitiaan dengan honor Rp 7 juta," ujarnya.
Urusan tanda tangan honorarium tak selalu menunjukkan kerja penerimanya. Rapat pembahasan sering hanya dihadiri pejabat eselon dua dan tiga. Mereka hanya menemani satu atau dua ahli yang didatangkan. Rapat juga digelar di luar kota. Dalam standar keuangan pemerintah, peserta rapat di Bekasi dan Bogor yang berasal dari Jakarta menerima honor standar luar kota. "Yang penting luar kota Jakarta," kata Sri Adiningsih, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, yang pernah diundang sebagai anggota tim ahli satu kementerian.
Walhasil, hotel-hotel di sekitar Jakarta, terutama Bogor dan Puncak, penuh rapat kerja atau konsinyering berbagai kementerian, terutama menjelang akhir tahun. Agung mengeluhkan, peserta rapat biasanya terlalu banyak. Untuk mendengarkan 5-8 tenaga ahli, anggotanya bisa 20-30 orang. Ia menjulukinya "rombongan sirkus", yang umumnya anggota staf dengan tugas yang tak jelas yang ingin memperoleh honor dan uang perjalanan dinas. "Tiba-tiba mereka bisa menawarkan membuatkan kopi untuk saya," ujar Agung.
Menurut Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, pelaksanaan rapat yang tidak jelas merupakan modus lama. Menurut dia, tak mudah mengubah pola pikir dan paradigma pegawai pemerintah. "Di Kementerian Dalam Negeri, Menteri sudah berulang kali meminta hal itu dihapuskan, tapi tak dilakukan."
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Azwar Abubakar meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengaudit belanja setiap kementerian. Hasil audit pada honor pejabat itu dipresentasikan awal Januari lalu di depan Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Chatib Basri, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto, serta Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Menurut peserta yang hadir, dalam rapat itu Wakil Presiden didesak mengungkap pemborosan pada honorarium untuk pejabat eselon satu-tiga di tiap kementerian. Yang paling besar ditemukan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama. "Satu direktorat bisa bikin 10-19 panitia," kata pejabat itu.
Rapat memutuskan hasil audit diserahkan ke semua kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian. Karena pos ini membuat bengkak anggaran, diputuskan sistem honorarium dievaluasi. Tiap pejabat eselon satu hanya bisa membentuk maksimal tiga kepanitiaan yang dibiayai negara. "Selain memangkas jumlah tim yang bisa diikuti, pemerintah mengaudit biaya perjalanan dinas dan mengeluarkan penghematan anggaran belanja," ujar Menteri Azwar.
Khusus untuk penghematan itu, Presiden Yudhoyono, kata Azwar, bahkan telah mengeluarkan surat keputusan yang diteken pada 19 Mei 2014. Di situ disebutkan pemerintah memangkas belanja honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat/konsinyering, iklan, pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan operasional, belanja bantuan sosial, sisa dana lelang atau swakelola, serta anggaran dari kegiatan yang belum terikat kontrak.
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Eko Prasojo tak kaget ketika Tim Transisi Presiden Joko Widodo menyoroti biaya perjalanan dinas yang mencapai Rp 18 triliun. Selama menduduki jabatan itu, ia meneliti dan membuat resep untuk memangkasnya. Ia menganggap salah satu penyebabnya adalah fragmentasi kekuasaan.
Hal lain yang disoroti Eko adalah mereka mencoba mengakali aturan yang menjadikan perjalanan dinas sebagai bagian dari sumber pendapatan. Praktek ini mungkin tak akan terjadi lagi karena pemerintah segera membereskan peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Eko berharap, sebelum Jokowi dilantik, peraturan pemerintah ini sudah diteken Yudhoyono.
Dengan undang-undang itu, selain remunerasi, sistem penggajian pegawai akan berubah. Nantinya, penggajian akan dibangun atas tiga komponen: gaji pokok, tunjangan kinerja, dan tunjangan kemahalan. "Semua akan bergabung di situ dan orang tak berharap macam-macam lagi," kata Eko.
Menurut Eko, pemerintah Jokowi berpeluang melakukan banyak hal, dari membereskan struktur birokrasi kementerian agar lebih ramping hingga melakukan efisiensi. Perampingan itu untuk menyatukan sejumlah tugas pokok kelembagaan yang tumpang-tindih. Bisa juga dilakukan efisiensi dalam mekanisme kerja birokrasi. Misalnya mengubah pola rapat koordinasi dan sosialisasi di tiap kementerian yang tadinya langsung, dengan mengoptimalkan rapat melalui telekonferensi.
Pemerintah bisa mewajibkan setiap daerah menggunakan fasilitas ini. Mereka tak usah datang, tinggal menentukan hari dan tanggalnya. "Modal awalnya saja gede, belanja peralatan, tapi bisa dipakai bertahun-tahun dan mengurangi biaya perjalanan dinas," ujar Eko.
Rapat di hotel bisa dikurangi dengan memanfaatkan ruang dan fasilitas kantor. Kalau memang terpaksa rapat di luar kota, sebaiknya dilakukan dengan jumlah orang terbatas--hanya yang berkompeten dengan materi kajian dan satu atau dua anggota staf. Sisanya, urusan teknis, bisa melibatkan orang hotel.
Bahkan, kalau perlu, pemerintah membangun gedung 50-60 lantai untuk pertemuan pemerintah yang dikelola dengan sistem informasi. Tak perlu bayar lagi karena pemeliharaannya dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jadi tinggal memasukkan data waktu rapat, judul rapat, jumlah peserta, dan ruang yang dipakai rapat setiap kementerian.
Cara sederhana lain, menurut Eko, memilih kudapan rapat. Di Amerika Serikat, ia mencontohkan, Presiden Barack Obama memangkas biaya kue pada hari pertamanya bekerja di masa krisis. Eko mengatakan kantor kementerian dan lembaga pemerintah sering menyajikan tiga jenis kue. "Ada baiknya dipangkas menjadi satu jenis kue saja," ujarnya.
Agustina Widiarsi, Muhammad Muhyiddin, Ananda Teresia
Jumlah Belanja Perjalanan Dalam dan Luar Negeri (Rp Triliun)
32,79 (2014), 37,96 (2015)
Dinas Termahal
Kenaikan anggaran biaya perjalanan dinas tahun ini sekitar Rp 6 triliun dibanding tahun sebelumnya. Dari 36 kementerian dan lembaga, tiga kementerian ini menganggarkan biaya dinas paling besar:
Kementerian Agama Rp 2,2 triliun (naik Rp 513 miliar), Kementerian Kesehatan Rp 2,7 triliun (naik Rp 446,04 miliar), Kementerian Hukum dan HAM Rp 733 miliar (naik Rp 440 miliar)
Masuk Kantong Sendiri….
TELAAH Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menemukan, dari setiap Rp 10 juta anggaran perjalanan dinas selama dua hari, Rp 1 juta masuk kantong pribadi pegawai negeri. Artinya, dari Rp 37,96 triliun anggaran, diperkirakan Rp 3,8 triliun masuk dompet pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo