Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pemompa Peti Kas Menteri

Anggaran operasional menteri dianggap tidak cukup menopang kegiatan menteri. Muncul cukong penyuplai dana.

22 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPAT kabinet paripurna di Istana Negara pada 5 September lalu mendadak gaduh begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyinggung dana operasional menteri. Agenda resmi sesi tertutup itu membahas program kerja di enam pekan terakhir Kabinet Indonesia Bersatu II, yang selesai pada 20 Oktober 2014.

Kegaduhan di ruang kabinet tak terbendung. Menurut pejabat yang hadir dalam sidang itu, para menteri dan wakilnya yang hadir saling tanya tentang jumlah dana operasional di setiap kementerian. "Mereka tak paham cara pertanggungjawabannya," ujar pejabat ini. Untuk menghentikan kegaduhan, Presiden Yudhoyono sampai mengetuk-ngetukkan palu ke mejanya. "Saudara-saudara, Saudara-saudara…."

Keriuhan berhenti ketika Presiden menunjuk Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan dana operasional dan Jaksa Agung Basrief Arief menerangkan pemakaiannya dari segi hukum. Menteri Chatib menjelaskan, dana operasional tiap menteri berbeda-beda karena disesuaikan dengan kegiatannya, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2006.

Presiden menyinggung soal itu karena beberapa jam sebelumnya ia menerima surat pengunduran diri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, yang menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK menduga Jero menyalahgunakan kekuasaannya sebagai menteri untuk memeras pihak lain.

Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Jero diduga memerintahkan Sekretaris Jenderal Waryono Karno membuat rapat-rapat fiktif dan meminta fee kepada penyelenggara beberapa kegiatan di kementeriannya. "Ia menilai plafon anggaran dana operasional menteri terlalu kecil," kata Bambang.

Pos dana operasional menteri berkisar antara Rp 100 juta dan Rp 120 juta sebulan. Untuk menteri koordinator, anggarannya Rp 150 juta per bulan. Menurut peraturan yang dibuat semasa Menteri Keuangan Sri Mulyani itu, dana operasional bersumber dari anggaran kementerian untuk biaya penunjang kegiatan menteri, biaya keamanan dengan menunjuk ajudan dan staf khusus, atau ongkos perjalanan untuk pelayanan dan representasi jabatannya.

Setiap menteri boleh memakai secara bebas sesuai dengan empat kebutuhan itu. Anggaran operasional dilarang dipakai untuk kepentingan pribadi, yang tak menyangkut pekerjaan atau representasinya sebagai pejabat negara. Bendahara yang ditunjuk tiap menteri atau kepala lembaga negara wajib membuat laporan pemakaiannya tiap akhir bulan.

Dalam rapat kabinet itu juga baru terungkap bahwa para wakil menteri tak punya anggaran operasional. Aturan dana operasional menteri dibuat jauh sebelum Yudhoyono punya ide membentuk beberapa pos wakil menteri. "Tapi kegiatan sebagai wakil menteri yang memerlukan biaya juga tak banyak," ujar Eko Prasojo, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Jika ada kegiatan yang membutuhkan biaya, kata Eko, sumber dananya melekat pada deputi yang membidanginya. Jika ia diminta menjadi narasumber untuk pembahasan sebuah aturan di luar Jakarta, Eko mencontohkan, biaya perjalanan dinasnya ditanggung deputi yang menyelenggarakan acara tersebut. "Itu pun sesekali saja. Kegiatan saya lebih banyak di kantor," ujarnya.

Bagi Jero Wacik, dana operasional itu tak cukup mengampu kegiatannya sebagai Menteri Energi. Sebagaimana diungkapkan Bambang Widjojanto, Jero diduga meminta Sekretaris Jenderal Waryono Karno mengumpulkan uang dari rekanan kegiatan kementerian untuk dimasukkan ke dana operasional kegiatannya. Modusnya, Jero menerima uang honor menghadiri rapat. "Setelah dicek, rapatnya fiktif," kata Bambang.

Dari rapat-rapat fiktif itu, Kementerian Energi kemudian menyelenggarakan acara, antara lain, sepeda sehat dan sosialisasi energi hijau dengan menunjuk penyelenggara dari pihak luar. Para penyelenggara itu kemudian dimintai fee untuk diberikan kepada Jero. Seperti terungkap dalam penggeledahan kantor Waryono Karno pada Februari lalu-tersangka lain kasus ini-penyidik KPK menemukan amplop bertulisan "JW", inisial Jero Wacik, yang nilainya sekitar Rp 2 miliar.

Total uang yang terkumpul untuk Jero Wacik selama masa penyelidikan KPK sebanyak Rp 9,9 miliar. Ia pun dijerat pasal penyalahgunaan wewenang yang berujung pada pemerasan. Komisi menduga uang tersebut tak hanya dinikmati Jero, tapi mengalir kepada anak dan istrinya.

Awal Juni lalu, Ayu Vibrasita, anak sulung Jero, diperiksa untuk mengklarifikasi dugaan pemakaian uang Rp 100 juta hasil pemerasan. Adapun Triesnawati, istri Jero, baru diperiksa Selasa pekan lalu. Ia menyangkal mendapat uang dari suaminya untuk berbelanja di luar negeri yang menghabiskan Rp 1 miliar. "Mudah-mudahan kesaksian saya bisa meringankan status hukum suami saya," ujarnya.

Menurut Bambang, modus Jero mengakali dana operasional itu relatif baru dan tak ditemukan di kementerian lain. Seorang pejabat pemerintahan mengatakan modus umum yang dipakai para menteri untuk mendapatkan fasilitas perjalanan kelas wahid adalah menggandeng pengusaha rekanan kementerian. Misalnya yang terlihat pada kasus Helmy Faishal Zaini, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal.

Helmy diduga ikut menikmati uang suap dari Teddy Renyut, pemilik PT Papua Indah Perkasa, yang ingin mendapatkan proyek tanggul laut di Kabupaten Biak Numfor, Papua. Pada pertengahan Juni lalu, Teddy ditangkap penyidik KPK sedang menyuap Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, sebesar Sin$ 100 ribu atau hampir Rp 1 miliar.

Dari kesaksiannya di depan hakim pengadilan korupsi, Teddy mengaku telah menyuap pejabat Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal sebesar Rp 6 miliar untuk mendapatkan proyek senilai Rp 87 miliar tersebut. Uang itu akan dibagi-bagikan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat agar proyek itu disetujui dan menjadi proyek di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.

Dari uang tersebut, kata Teddy, ada yang dipakai untuk membeli tiket Helmy Faishal beserta istri, kerabat, dan pejabat kementeriannya ke Madinah. Keberangkatan umrah Menteri Helmy itu dikonfirmasi deputinya, Lili Romli, dalam persidangan Senin pekan lalu. Lili turut dalam rombongan pada 24 Mei lalu itu. Dia mengatakan tak tahu bahwa "tugas negara" ke Madinah itu dibiayai pihak lain.

Dari penelusuran KPK ke penjual tiket pesawat Jakarta-Dubai-Madinah, Helmy bersama 14 orang pengiringnya menghabiskan Rp 290 juta. Menurut manifes penerbangan yang dimiliki KPK, dari Madinah, Helmy dan rombongan bertolak ke Maroko untuk pelesir, lalu ke Yunani, dan terakhir singgah di Prancis.

Masalahnya, pada tanggal yang sama semestinya ia ke Jeddah menghadiri undangan Islamic Development Bank, tugas negara yang memakai dana operasional menteri. Dari Jeddah, ia seharusnya ke Roma, Italia, menghadiri konferensi Organisasi Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Helmy menyangkal tudingan bahwa kepergiannya ke Madinah dibiayai Teddy Renyut. "Itu dalam rangka perjalanan dinas, jadi dibiayai negara," katanya.

Bagja Hidayat, Agustina Widiarsi, Muhammad Muhyiddin, Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus