Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
John Kerry mengenakan rompi antipeluru hijau pupus di luar setelan jas biru dongkernya. Menjelang tengah hari Rabu dua pekan lalu, sambil menggenggam sebuah helm tentara, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat ini bersiap menuruni helikopter yang menerbangkannya dari Bandar Udara Queen Alia, Amman, Yordania, ke Bagdad, Irak. Alasan keamanan membuat rombongan Kerry harus mendarat di Yordania daripada langsung ke Irak untuk menemui perdana menteri yang baru terpilih, Haidar al-Abadi.
Setelah mengucapkan selamat kepada Al-Abadi, Kerry mengutarakan misi utamanya mengajak Irak bergabung dalam satu koalisi. Maksud Kerry baru terang pada malam hari sebelum peringatan 13 tahun serangan 11 September: Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengumumkan perang melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS)-yang sudah berganti nama menjadi Negara Islam (Islamic State).
Dalam pidato televisi yang disiarkan langsung secara nasional, Obama mengajak dunia membentuk koalisi menghadapi kelompok militan beranggotakan lebih dari 30 ribu orang itu. "Saya umumkan bahwa Amerika akan memimpin koalisi besar untuk membalas ancaman teroris," ujarnya. "Kekuatan militer Amerika tidak ada bandingannya. Tapi ini tidak bisa menjadi peperangan Amerika sendiri."
Sebelum berbicara kepada rakyatnya, Obama lebih dulu mengutus Kerry bersafari ke negara-negara Arab. Di Irak, Kerry meyakinkan Al-Abadi bahwa Irak adalah "mesin" internasional dalam strategi global melawan ISIS. Al-Abadi menyambut baik. Menurut dia, tugas mempertahankan negara ada di tangan pemerintahnya, tapi komunitas internasional juga bertanggung jawab melindungi Irak. Katanya, "Ada peran bagi komunitas internasional, untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa segera menghentikan penyebaran 'kanker' ini."
Pada Rabu malam, Kerry bergegas kembali ke Amman untuk bertemu dengan Raja Yordania Abdullah II. Ia membicarakan soal kemungkinan menjadikan Yordania sebagai basis serangan terhadap ISIS. Ia juga mendekati Sang Raja dengan isu kemanusiaan berupa ribuan jiwa pengungsi. Raja Abdullah II dan Menteri Luar Negeri Nasser Joudeh mengiyakan, meski mereka harus berseberangan pendapat dengan Perdana Menteri Abdullah Ensour yang menolak.
Dari Yordania, keesokan harinya, Kerry bergerak ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bertemu dengan Raja Abdullah bin Abdul Aziz. Ia berusaha meyakinkan bahwa langkah menghentikan rekrutmen ISIS di kalangan muda lebih penting ketimbang operasi militer. Bagi dia, Raja Saudi adalah sosok yang penting di kawasan dalam meredam pengaruh ideologi ISIS yang mengatasnamakan Islam.
Menurut seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Amerika, sebelum pembicaraan tertutup Kerry dengan Raja, Kerry meminta Saudi mulai berkampanye mengutuk ISIS dan anti-ekstremisme. "Dia (Kerry) akan meminta mereka (Arab) menggunakan media nasional," kata sumber yang tak mau disebutkan namanya itu, merujuk pada Al Jazeera dan Al Arabiya.
Raja sepakat. Saudi rupanya gusar uangnya untuk membiayai kalangan Sunni justru jadi bumerang karena melahirkan kelompok ekstremis, seperti Al-Qaidah dan Boko Haram. Pangeran Al-Faisal, yang bertindak sebagai Menteri Luar Negeri, menyatakan Saudi mau bergabung tanpa ada batas perihal apa yang bisa disediakannya.
Selesai dengan Saudi, Kerry menuju Ankara, Turki. Ia disambut Presiden Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Ahmet Davutoglu, dan Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu. Pertemuan berlangsung tertutup. Sikap Turki, menurut media lokal Daily Sabah beberapa hari sesudahnya, adalah mendukung di bidang intelijen, kemanusiaan dan bantuan keamanan serta mau bekerja sama menghentikan rekrutmen ISIS. Namun Turki menegaskan tak akan ikut operasi militer langsung di Irak dan Suriah. Negara itu menolak wilayah udaranya digunakan dalam operasi tersebut.
Mesir jadi tujuan berikutnya sebelum Kerry mengakhiri lawatan di Paris, Prancis. Di Kairo, ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Sameh Shukri. Dalam konferensi pers bersama seusai pertemuan, Shukri mengatakan ada ikatan antara ISIS dan kelompok militan lain dengan ideologi sama yang mengancam kawasan dan harus diatasi.
Di Paris, tempat berkumpulnya para pemimpin negara yang telah setuju bergabung, Kerry bisa menghitung total ada 24 negara dalam koalisi Amerika. Ini jumlah yang lebih dari cukup untuk-dalam kata-kata Perdana Menteri Inggris David Cameron, yang ikut hadir dalam pertemuan-"mengambil langkah apa pun yang dibutuhkan".
Atmi Pertiwi (Time, CN, Daily Sabah, The Guardian, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo