Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Area Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tengah ramai digunjingkan dalam sepekan ini, namun tak jauh dari sana beberapa warga bertahan dengan pertanian di lahan sempit Ibu Kota.
Adalah Sodikin alias Odik salah satu petani yang mengelola lahan di bantaran sungai Kanal Banjir Barat Kelurahan Petamburan Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Ini sisa kemarin kerendem, kan kemarin segini, (sambil menunjuk pinggang) kerendem banjir, makanya terong pada rontok, kemarin banyak," kata Sodikin tiba-tiba menyapa TEMPO, Sabtu, 30 Desember 2017.
Sodikin mengelola lokasi tersebut sejak empat bulan lalu. Ia mempersiapkan kebun dari mencangkul hingga menanam seusai pulang kerja, dari Magrib sampai jam 10 malam, setiap hari. Menurut Sodikin yang mendapat informasi dari kelurahan, kawasan tersebut boleh ditanami.
Baca : Dua Alasan Sandiaga Uno Galakkan Bercocok Tanam di DKI Jakarta
"Pohon gede tidak boleh, kemarin (diberitahu) dari kelurahan. Tidak boleh yang tinggi yang gede, kalau yang kecil-kecil silakan. Jangan sampai mengganggu jalan air, katanya gitu," ujar pria paruh baya itu.
Di lokasi dengan luas sekitar 100 meter persegi tersebut, Sodikin, Deden, dan Hasan menanam pepaya, terong, ubi, nanas, cabai, pare, kacang panjang, singkong, pisang, dan kunyit.
Hampir semua ia tanam dari biji yang ia semai sendiri, tidak ada bibit yang khusus ia beli. Perawatannya juga tidak khusus, ia tidak rutin menyiram di musim hujan ini. "Singkong ini bibitnya dari kali, ngambang, dari kali yang buangan," ujar Sodikin.
Kadang perhatian khusus ia berikan pada tanaman cabai. Sodikin menilai cabai rentan dengan cuaca dan hama. Pernah tanaman cabai-cabainya rontok karena diserang semut, namun karena tidak ada biaya lebih ia tidak membeli obat pembasmi hama.
"Tidak ada semprotan (hama). Mahal 28 (ribu). Jadi tidak disemprot, paling pakai kapur ajaib aja ditumbuk (lalu) ditaburin tengah-tengah, baru bisa hidup lagi, buat menghilangkan semut, juga (hama) kayak model kupu-kupu," kata Sodikin.
Sodikin memiliki keahlian menanam dari kampung halamannya di Garut, Jawa Barat. Sejak 1974, ia merantau ke Jakarta. Tahun pertama di Jakarta ia tinggal di kawasan Manggarai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ngesol (sepatu), jualan BH, jualan kelontongan, kamper, gelang anak-anak, semua di coba. Kuli bangunan juga pernah. Terakhir di Jatinegara. Jadi tukang pijit," kata Sodikin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1989 ia pernah bekerja di Jambi, Sumatera, bekerja sebagai penambang emas selama satu tahun. "Yang kemarin ada pembersihan dari pemerintah tidak membolehkan. Nah saya sudah pulang ke sini, ada pembersihan untungnya. Tahun 89," kata Sodikin. Ia juga pernah bekerja sebagai penambang timah di Kepulauan Bangka Belitung pada 2002. Salah satu hasil cocok tanam petani di sekitar bantaran sungai Banjir Kanal Barat bernama Sodikin di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu, 30 Desember 2017. Tempo/Hendartyo Hanggi
Di antara angin sore yang sepoi-sepoi di pinggir kali dan di samping rimbunnya pohon pare yang sebagian sudah membusuk tersebut, Sodikin terus bercerita tentang hidupnya di masa lampau. "Hus ayo hus terus, sama cewek aja malu, belok sini hus," kata Deden seketika lewat sambil mengangon kambing-kambingnya untuk masuk kandang.
Kini sehari-hari Sodikin bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Tanah Abang. Hari itu ia sedang tidak bekerja. "Sepi bener pasar. Sudah pas jaman Presiden Jokowi aja berasa, sudah (sepi) karena tidak ada (pedagang) kaki lima. Seluruhnya sekarang sudah tidak ada kaki lima," ujar Sodikin lagi.
Menurut Sodikin dahulu orang dari kampung ke Jakarta tertolong kalau ada kaki lima, mereka bisa menjadi kuli angkat di pasar. "Dulu saya kuat mengangkat 1 kuintal setengah (150 kilogram). Perut sudah pernah kena sakit, berak darah, berak nanah. Dulu pernah tahun 2007 saya (sempat) tidak bisa mendengar (karena mengangkat beban terlalu berat)," tutur Ujar Sodikin.
Dia mengatakan biasa mengangkat beban dipundak, tidak di punggung seperti teman-temannya, karena itu urat saraf kena sakit di sekitar bahu dan leher. "Dulu waktu bujang di Pasar Induk Kramat Jati masih sanggup mengangat total 5 sampai 7 ton sendiri untuk angkat beras dari truk ke toko bolak-balik," ujar Sodikin.
Saat ini, ia sudah tidak mampu lagi mengangkat beban seberat itu, oleh karena itu ia pindah menjadi kuli panggul di Pasar Tanah Abang. Sudah lima tahun Sodikin tidak pulang ke kampungnya di Garut karena kondisi keuangan yang pas-pasan. Namun ia memiliki impian.
"Kalau saya alhamdulillah apaan juga bisa gitu, cuma ininya (uangnya) doang nih, duitnya doang yang susah. Makanya kalau punya sehektar dua hektar, mendingan di kampung saya," kata Sodikin tentang impiannya hidup dari bidang pertanian.