DAERAH yang akan saya jelajahi adalah sebagian dari berbagai wilayah terpencil di Cina Tengah. Untuk itulah sekarang saya berada di sebuah kamar hotel di bagian selatan Kota Kunming, dan dengan gelisah meneliti dan meneliti kembali semua perlengkapan dan bahan makanan yang menggunung. Sudah seminggu saya menunggu sebuah jip dan dua pengemudi yang dijanjikan pemerintah. Perjalanan ke enam provinsi dan dua daerah otonom itu, kampung halaman sepuluh suku minoritas yang secara khusus sangat menarik hati saya, telah saya persiapkan dengan saksama. Kalau seluruh rencana itu gugur pada menit-menit terakhir, misalnya karena jip dan sopir-sopir resmi itu tak jadi dikirim, wah.... Suara ketukan pintu menyela kegelisahan saya. Dua lelaki muda, dengan senyum sopan, berdiri. "Wong Laoshi." ("Guru Wong") - sapa yang seorang dengan hormatnya. "Kami sopir-sopir Anda, Zhang Chang-jiu dan Luo Wengui. Jip sudah siap di luar, juga bensin serep. Apa masih ada yang Anda perlukan?" Keinginan saya tak lain cepat mengepak barang dan segera berangkat. Dan sejam kemudian kami memang sudah memulai perjalanan yang keseluruhannya bakal menempuh 18.000 km - melalui Yunnan, Sichuan, Xizang (Tibet), Qinghai, Gansu, Guizhou, Hunan, dan Guangxi. Waktu itu 10 Juni 1982. * * * Dari satu milyar lebih penduduk RRC, 93% terdiri dari suku besar (lebih sering disebut sebagai bangsa) Han. Bangsa ini muncul sebagai penguasa calon imperium Cina yang dibangun Dinasti Han pada 300 tahun Sebelum Masehi, terbentang di sepanjang Sungai Kuning. Meski mengalami penyerbuan bangsa Mongol dan dijajah berbagai khan selama satu abad lebih (1260-1368), Imperium Han sedikit demi sedikit memperluas diri. Bangsa-bangsa kecil tetangga, yang sekarang mewarisi julukan minoritas, terbaur atau menyingkir lebih jauh. Dan jumlah minoritas itu kini tak kurang dari 55, dan itu meliputi sekitar 67 juta jiwa. Kami mulai dengan suku Yi, yang sebagian bermukim di Daliang Shan atau daerah "pegunungan besar yang sejuk" - kami capai setelah tiga hari perjalanan ke utara dari Kunming. Di wilayah inilah pada 1908 John Weston Brooke, bekas kavaleri Inggris, dan seorang rekannya dari Royal Geographical Society, dibunuh penduduk setempat. Ada sekitar 750.000 jiwa sekarang mendiami kawasan ini, bagian dari lima juta jiwa suku Yi yang bertebar di wilayah lebih luas. Di Niuniuba, jantung area Daliang Shan, saya berpapasan dengan seorang lelaki berumur 60-an bernama Halakuka. Ia sedang pulang dari pasar mingguan. Halakuka mengundang mampir ke rumahnya, dan kami pun berjalan kaki setengah jam melalui sela perbukitan. Dengan berjongkok di luar rumah yang beratap jerami, kami berbincang-bincang. Ternyata, sampai dengan akhir tahun 50-an, pada suku Yi masih berlangsung masyarakat perbudakan dengan hirarki ketat sekali. Mereka terdiri dari empat kasta. Teratas kasta Nuo-nuo (kadang disebut Tulang Hitam), kaum bangsawan. Kemudian Qunuo, warga biasa. Lalu Ajia, kasta para pembayar upeti yang hidup di luar permukiman kaum terhormat. Terakhir kasta terendah, Yaxi, para budak yang harus mengabdi kepada keluarga bangsawan dan tinggal di rumah-rumah mereka. "Saya beruntung," Halakuka menjelaskan. "Saya termasuk kaum pembayar upeti, budak yang bisa hidup terpisah dari lingkungan tuan penguasa. Cita-cita tertinggi orang seperti saya bukan bagaimana supaya bisa bebas - itu di luar jangkauan kami. Tapi bagaimana supaya kami sendiri juga memiliki budak." Dari Daliang Shan kami terus ke utara, menuju Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan. Kota ini dipayungi udara yang panas lembab dan dikitari sawah menguning. Di mana-mana pasar dipenuhi barang dan pembeli, terutama barang-barang hasil para petani di luar jam kerja mereka sebagai anggota komune. Ini memang buah kebijaksanaan ekonomi yang lebih santai dibanding pada hari-hari sebelumnya. Sekitar 200 km sebelah barat daya Chengdu terletak Kangding. Dulu namanya Ta-tsien-lu, dan itu secara harfiah berarti "tungku pembakaran pembuat panah". Nama ini diperkirakan berdasarkan cerita dari abad ke-3 Masehi - ketika Zhuge Liang, ahli strategi militer Dinasti Han bagian timur, memerintahkan bala tentaranya menempa anak panah disini. Pada zaman dahulu, Kangding dianggap pintu gerbang antara Cina dan Tibet. Perdagangan bangsa Han dengan bangsa Tibet banyak dilakukan di sini pedagang Cina membeli perak, rempah-rempah, biang wewangian, atau kulit binatang, dari pedagang Tibet. Sebaliknya pedagang Tibet mendapat teh, serta barang-barang halus seperti jarum, alat tenun dan yang sejenis. Terletak 4.115 meter di atas muka laut, Kangding adalah lembah yang dikitari gunung-gunung berselimut salju dan dilalui Sungai Zheduo yang deras. Salah satu cara penguburan di kota ini: menceburkan mayat ke Sungai Zheduo. Ini disebut "penguburan air". Cara lain adalah "penguburan langit": orang memotong-motong tubuh mayat dan mengumpankannya kepada burung hering. Orang Tibet percaya, begitu burung hering selesai melahap umpannya dan terbang kembali, ikut terbang pula arwah yang bersangkutan ke nirwana. Kremasi, atau "penuburan api" menurut istilah mereka, sangat terlarang bagi orang Tibet yang berkecukupan. Sedangkan penguburan biasa, atau "penguburan bumi", adalah kesukaan bangsa Han ataupun orang Tibet yang telah berbaur dengan kebudayaan Cina. Kemudian ada juga teknik balsem dan mumi - seperti yang dilakukan para rahib Budha. Di Kangding-lah saya mendengar untuk pertama kali alasan-alasan orang Tibet menghindari makah ikan. Jika jenazah dicemplungkan ke sungai tentunya lantas dimakan hewan-hewan air yang menjadi makanan kita itu. Ingat ketika kapal Tampomas lltenggelam di dekat Pulau Masalembo, dan tiba-tiba ikan laut tidak laku di pasaran? Tetapi di dataran utara Tibet saya mendapat cerita lain. Ikan hanya bisa hidup di air, dan karenanya "bukan saingan manusia". Di Qinghai, lain lagi versinya. Mereka menyatakan, larangan itu peraturan belas kasih Lamaisme, yang menganggap ikan, yang mempunyai begitu banyak telur, tidak patut dibunuh. Sedangkan cerita yang paling aneh datang dari Gansu selatan, yang mengatakan bahwa karena ikan tidak mempunyai lidah, binatang itu tidak bergosip. Karena orang Tibet menganggap gosip dosa besar, mereka pun menganugerahi ikan larangan untuk membunuhnya. Mengetahui bahwa saya akan pergi memasuki daerah kaum nomad Tibet, manajer hotel di Kangding memberi kursus singkat. "Kaum nomad", ia mulai, "adalah orang-orang yang ramah-tamah. Mereka akan menyuguhkan makanan dan minuman kepada siapa pun yang menghampiri mereka. Penolakan akan dianggap sebagai pernyataan bahwa pemberian mereka tidak memadai. Maka, bila kepada Anda disuguhkan makanan, ingat-ingatlah." "Isyarat dan sikap orang Tibet berbeda dari kebiasaan kita," si manajer melanjutkan. "Ketika menyapa Anda untuk pertama kali, orang Tibet akan menjulurkan lidah dan mengembangkan telapak tangannya sejajar dengan pinggang. Ini mereka lakukan sejak dulu. Tangan dengan telapak terbuka menunjukkan bahwa tak ada senjata tersembunyi. Menjulurkan lidah adalah bukti bahwa lidah orang itu tidak berwarna hitam. Menurut ilmu kebatinan mereka, orang yang meracuni orang lain lidahnya berwarna hitam." Dari Kangding menuju barat laut, kami mendaki gunung-gunung berselimut salju, terjal dan curam, dan seperti tak ada akhirnya. Dengan persneling satu atau dua, jip buatan RRC ini merayap makin menuju ketinggian sambil berusaha selamat dari tikungan tajam yang satu ke tanjakan terjal yang lain. Lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut pepohonan mulai tak tampak - digantikan oleh semak-semak pendek, rerumputan, atau rumpun-rumpun pohon candu yang berbunga biru dan kuning. Yang terakhir ini kemudian menjadi alat pengukur ketinggian yang paling praktis. Di mana pun kami berada, bila kami temukan tetumbuhan itu, jelas bahwa kami berada pada ketinggian lebih dari 4.000 meter. Di dekat Kota Luhuo, dua hari kami tinggal bersama lima penggembala yak - sebangsa bison yang hidup di dataran tinggi - dari komune setempat. Seorang di antaranya bernama Bobolonga, pemuda 23 tahun. Saya sempat bercakap-cakap dengan dia dan teman-temannya cukup lama sambil minum teh. Bagi bangsa Tibet, teh sagat penting. Mereka begitu mencandui minum teh, hingga baik Cina maupun Inggris pernah mengira bahwa dengan mengontrol perdagangan teh bisa menaklukkan Tibet. Berada dalam tenda orang Tibet sebenarnya terasa seperti sedang menghadapi ujian berat. Asap api dari tinja yak menyebar ke seluruh ruangan menyebabkan mata tak henti-hentinya berair. Mentega yak, dengan baunya yang tajam itu, diiris-iris lalu dicampur dengan garam dan air teh mendidih dalam tabung kayu. Lantas dituang ke mangkuk kayu, disajikan kepada sang tamu - dan akan terus-menerus begitu setiap mangkuk diletakkan. Sobat baru ini sempat juga memperhatikan peralatan dan cara kami mengerjakan sesuatu. Ketika kami dirikan tenda, dan untuk itu kami hanya memerlukan waktu beberapa menit, orang-orang gunung itu terbengong-bengong. Mereka membutuhkan waktu tidak kurang dari enam jam untuk itu. Begitu juga ketika saya bisa menyalakan kompor dengan berbagai jenis bahan bakar. Terbiasa dengan perapian dari tinja yak (yang mengering, dan dikipasi alat penghembus), teman-teman Bobolongan terheran-heran: di mana saya menyembunyikan alat penghembus pada kompor saya. Senja tiba. Mereka mengumpulkan sekitar 200 yak, mereka giring ke kandang. Teriakan-teriakan, lemparan batu, suitan, ramai terdengar. Induk dipisahkan dari anaknya, lalu Bobolongan dan teman-temannya mulai memerah susu. Cairan kekuning-kuningan memancur ke jamban kayu, dengan helai-helai rambut yak tercampur dengan akrabnya. Bobolongan memerah dengan semangat penuh sampai saya jadi khawatir kalau-kalau tak ada lagi susu buat anak-anak yak itu. Tapi Bobolongan menenteramkan saya. Setiap induk yak berputing empat, katanya. Mereka hanya memeras yang tiga, dan meninggalkan yang keempat buat anaknya. "Mereka tak pernah mengeluh," katanya. Kami meninggalkan mereka setelah dua hari. Dan terus ke barat, ke Lhasa. Mellurut keterangan, jarak antara Chengdu dan Lhasa bisa dicapai truk dalam dua minggu - dan tiap 70 km kami harus berhenti di pos militer. Di Maniganggo jalan bercabang. Yang ke utara menuju Provinsi Qinghai, yang ke timur menuju Tibet Timur. Ketika kami sampai pada ketinggian 4.600 meter, di Cho La, radiator jip memanas sampai empat kali. Tiap kali kami berhenti untuk mengisinya dengan air dari parit. Pernah, ketika ikut mengisi radiator, saya membantu dengan membuka tutupnya. Air mendidih itu muncrat keluar dan memerciki muka saya. Bukannya muka saya yang melepuh tapi air mendidih itu - begitu sampai ke kulit, sudah dingin kembali. Bukan main. * * * Lhasa. Berabad-abad kota ini menjadi tumpuan citacita setiap penjelajah Barat, hina namanya begitu legendaris. Baru beberapa tahun ini Lhasa dimudahkan untuk dikunjungi orang asing, meski itu berarti ongkos yang sangat tinggi. Wisma terbaik bagi selera Barat, yang terletak di pinggiran kota, pasang tarif 290 yuan (senilai US$ 145) per orang per hari. Kami memilih hostel di jantung kota - tempat setiap tamu harus membeli karcis lebih dulu untuk bisa makan. Karcis itu dijual tiap hari pada jam tertentu. Tempat mandi, dengan mesin pemanas air dari diesel, terletak di gedung lain, bangunan dengan dekorasi dinding berwarna merah dadu cita rasa yang agak janggal untuk RRC. Empat hari berturut-turut saya berusaha dengan sia-sia untuk bisa mandi pada jamnya. Tiap kali selalu mereka memberitahu bahwa air belum panas. Akhirnya, pada hari terakhir di Lhasa, sava nekat dan berhasil memojokkan manajer hostel. Ketika saya lihat ia juga menuju ke ruang mandi, saya bergegas mengikutinya dengan sabun dan handuk di tangan. Saya tidak mau ditolak lagi dengan alasan air belum cukup panas. Dan apa yang saya saksikan, setelah di dalam? Hampir seluruh staf hostel sedang berkubang dalam bak-bak yang hangat. . . Tiap hari, berjam-jam, saya berjalan menyusuri lebuh - lebuh Lhasa, melihat orang-orang Tibet yang, tinggal di bawah bayang-bayang tembok Istana Potala yang menyerupai benteng itu. Pada senja hari beratus-ratus orang mengitari Kuil Besar Jokhang, berjalan beriring searah jarum jam, memilin-milin manik tasbih atau menggumamkan doa Om Mni Padme Hum - pujaan pada Manikam dalam Teratai. Dari Lhasa kami bergerak lebih jauh ke utara. Tujuan: Golmud, di Provinsi Qinghai. Rute sepanjang 200 km itu dalam keadaan biasa bisa ditempuh dalam seminggu. Tapi hu jan telah membuat jalan tak beraspal itu menjadi lautan lumpur. Lalu lintas komersial terhenti, ratusan truk mogok dan berkubang. Karena jip kami bergardan ganda - lagi cukup ringan muatan - kami mengambil risiko menempuh perjalanan yang berat itu. Ternyata beruntung. Hanya empat kali hambatan kami alami untuk sampai ke tujuan. Pada 6 Juli, dekat Nam Co, Zhang kena "penyakit gunung" - semacam malaria dengan gejala kepala pusing berkunang-kunang. Luo ganti pegang kemudi dan buru-buru ke rumah sakit terdekat, di Kota Nagqu, sejalan 100 km. Di rumah sakit baru kami mengerti penyakit Zhang. Dokter menerangkan, demam pegunungan ini disebabkan kekurangan oksigen, dan biasa diderita para pengemudi yang mengarungi jalan antara Lhasa dan Golmud. Ketika kendaraan berada di ketinggian maksimal dan berbahaya, sopir berada dalam keadaan tegang oleh kesibukannya dengan kemudi, persneling, kopling, serentak datang pula cuaca yang tidak bersahabat. Kondisi begini bisa membuat demam pegunungan atau mengakibatkan radang paru-paru. Celakanya Zhang dihinggapi keduaduanya dan dokter tampaknya tak banyak bisa berbuat. Tapi, ajaib Zhang berangsur-angsur membaik sendiri, dan dalam beberapa hari cukup kuat untuk meneruskan perjalanan. Para pasien lain terheran-heran: kepada dewa yang mana gerangan ia telah berdoa? Sekali lagi merambah jalan, kami teruskan safari ke utara sampai akhirnya mencapai Tanggula Pass yang berketinggian 5.300 meter - titik tertinggi yang pernah kami raih dalam ekspedisi ini. Tak jauh dari situ tampak mata air Sungai Yang Tze, terletak di antara pegunungan yang spektakuler. Dari sumber yang tampak bersahaja itulah mengalir bengawan sepanjang 6.380 km - ketiga terpanjang di dunia. Sekitar 600 km dari Tanggula Pass kami akan sampai ke Golmud yang berketinggian 3.200 meter. Maka, perlahan-lahan, kami merayap turun, ibarat merosot dari bubungan atap dunia ke bagian atap yang lebih rendah. Lewat sehari dua kami mulai melihat banyak menjangan, beberapa serigala, dan sering kelengangan mutlak. Sepanjang rute ini boleh dikata tidak terjumpai bedeng-bedeng jalan atau pos militer seperti yang sering kami lihat. Saking kepingin cepat sampai ke Golmud, kami dengan bodohnya meneruskan perjalanan pada malam hari - dan lautan lumpur pun menunggu dengan jebakannya. Setelah berusaha dengan sia-sia untuk menggerakkan roda, kami akhirnya angkat tangan dan tidur di dalam jip tanpa makan malam. Paginya, setelah berjalan kaki 4 km, saya mendapat pertolongan dari kamp basis perbaikan jalan. Dengan sebuah traktor jip yang malang itu ditarik dari kubangan. Pada 12 Juli akhirnya kami sampai di Golmud, kota kedua terbesar di Provinsi Qinghai setelah Xining, ibu kotanya. Di sini, di tepi selatan Lembah Qaidam, ujung rel KA Daratan Cina berakhir. Dari Golmud kami masih terus ke timur, lewat Qaidam, menuju Xining. Setelah salju di Pegunungan Tibet, bentangan gurun pasir merupakan pergantlan yang menyenangkan juga. Dikawasan berpadang pasir inilah, antara lain, bisa dijumpai orang-orang Kazakh, bangsa Muslim dengan unta-unta mereka. Dalam rute ini kami juga singgah sebentar di Qinghai Hu, danau terbesar di Cina. Di tengah danau terdapat sebuah pulaukecil yang pernah dikuasai biara Tibet. Dari nyanyian anak-anak di Xining bisa tergambar cerita bagaimana para Lama dari pulau itu berjalan menyeberangi danau yang telah membeku berlapis salju dengan membawa hasil kerajinan tangan untuk dijual ke kota. Bila musim menjelang berganti dan es mulai melumer, para Lama itu mulai menahan napas. Para pedagang kebutuhan sehari-hari, yang kebanyakan terdiri dari para Muslim, pada sibuk menaikkan harga. Mereka tahu, para Lama itu terlalu pelit untuk menyewa perahu nanti buat kembali ke pulau. Mereka lebih suka membayar harga barang yang lebih mahal sedikit, dan cepat-cepat berjalan kembali di danau, selagi bongkah-bongkah es masih mengapung. Meski kaum Muslimin di situ sudah bermigrasi sejak ratusan tahun lalu dari Asia Tengah ke Tibet, perbedaan mereka dengan pemeluk Budha masih juga mewarnai peri kehidupan sampai sekarang. Tak akan ada seorang Muslim yang mau menginjakkan kaki di daerah Lama. Sebaliknya juga tak ada orang Tibet yang mau masuk ke lingkungan masjid. Mereka percaya pada cerita, yang entah dari mana, bahwa banyak kitab-kitab suci Tibet dipendam di bawah gerbang masjid - dan mereka takut melangkahinya, tentu. Setelah mengaso sebentar di Xining kami menuju Huzhu, 45 km arah timur laut. Di sini berdiri perangkat pemerintahari dari suku Tu. Seorang pejabatnya menjelaskan, sebenarnya orang Tu di seluruh Cina hanya sekitar 160 ribu dan 47 ribu di antaranya bermukim di wilayah Dazhang. Suku ini punya tradisi yang disebut daitiantou. Yakni adat yang menetapkan, jika seorang gadis pada umur 15 belum sampai dipertunangkan, berarti orangtuanya akan mengawinkannya di akhirat. Gadis itu harus diumumkan sebagai tidak patut untuk suatu perkawinan tradisional. Saya pikir, jumlah mereka yang kecil mungkin juga disebabkan antara lain oleh adat ini - meskipun sekarang ini terlihat banyak juga gadis yang bernasib demikian memberanikan diri membangun keluarga di luar pernikahan tradisional. Dan tampaknya juga atas persetujuan masyarakat (baca: Partai). Saya sangat terharu oleh keramahan dan keluwesan orang Tu. Begitu berpamitan, saya dengan saksama melakukan adat mereka: tiga kali menyajikan anggur kepada tuan rumah. Meski itu anggur mereka sendiri, tampak sekali mereka menyenangi sopan santun saya itu. Lelaki, perempuan, tua dan muda bersama anak mereka, semua keluar mengantar keberangkatan kami. Sekitar 600 km melewati Dazhang, berdiri sebuah biara Labrang. Pesantren kaum Lama yang sangat besar ini terletak di bagian selatan Provinsi Gansu. Kecuali sebagai pusat keagamaan, biara ini memang juga pusat pendidikan tinggi. Didirikan pada abad ke-18, Labrang punya enam fakultas: esoterik atau pendidikan metafisika Budhisme, teologi tingkat rendah dan tingkat tinggi, "roda waktu", medika, dan astronomi. Fakultas Pendidikan Esoterik, yang terbesar di antara keenamnya, pernah mencatat 2.500 siswa biarawan. Kalau mau menamatkan seluruh fakultas itu, hanya dibutuhkan . . . . 15 tahun. Di sini dikeluarkan gelargelar setingkat sarjana muda, sarjana, dan doktor, dalam istilah-istilah mereka. Saya terpesona melihat dua dapur besar, tempat menyiapkan makanan untuk 3.000 biarawan. Lima anglo raksasa, yang masing-masing bergaris tengah tiga meter, terdapat di tiap dapur. Ember-ember kayu yang menjadi peralatan makan dengan rapi berjajar di rak-rak yang berderet di sekeliling dinding. Menurut cerita, dulu fungsi ember-ember itu, di samping sebagai alat makan, juga sebagai alat menghukum biarawan yang tidak hafal pelajaran. Si terhukum harus mengalungkan ember kayu yang penuh air itu sampai ia membuktikan diri benar-benar hafal. Sejak pemerintah RRC memperlunak tekanannya terhadap kehidupan agama - setelah meredanya Revolusi Kebudayaan - orang Tibet kembali berduyun-duyun masuk Labrang. Meski ini sebenarnya lebih memudahkan kontrol pemerintah terhadap kegiatan keagamaan, para penguasa itu rupanya takut juga - dan akhirnya membatasi jumlah pendaftar menjadi tidak lebih dari 500 orang tiap tahun. Dari Labrang kami ke selatan, menuju kawasan Pegunungan Min Shan. Berhenti sebentar di Hezuo, saya sempat menyaksikan upacara "pemakaman" yang unik itu: jenazah disayat-sayat lalu diumpankan kepada burung hering. Saya disambut oleh seorang Lama berumur sekitar 60 yang hidup sendirian di sebuah kapel kecil. Dialah yang mengerjakan segala sesuatunya dalam upacara itu. Saya bertanya adakah pemerintah atau pihak-pihak lain mencampuri urusannya. "Saya pernah punya problem," jawabnya, "tapitidak dengan pemerintah. Kadang burung hering tidak nongol di mana pun. Beberapa Lama punya kebiasaan memanggil burung-burung itu, tapi saya sendiri tidak. Jadi, saya menggaji pembantu yang tahu memanggilnya. Panggilannya selalu berhasil, dan sekarang setiap pemakaman saya rampungkan dengan sukses." Ketika kami sampai di jajaran Min Shan, yang sebelah utaranya berbatasan dengan Provinsi Sichuan, saya terkejut melihat bagaimana orang Tibet pada membawa senjata pribadi mereka: bedil, pistol, pedang, atau golok, ke mana pun mereka pergi. Sebaliknya orang Han tak ada yang bersenjata. Saya mendapat keterangan. Pada akhir tahun '50-an gejolak selalu terjadi di Tibet bagian selatan, hingga pemerintah memutuskan melucuti mereka dari senjata pribadi. Tapi mereka yang hidup di bagian utara cukup jinak sejak semula. Maka larangan bersenjata tidak diberlakukan di sini, dan mereka diizinkan melestarikan kebiasaan lama. Izin itu membuat mereka bangga, hingga membawa senjata lebih merupakan peragaan daripada kebutuhan. Masuk lebih dalam ke Pegunungan Min Shan, kampung halaman panda raksasa, kami mengunjungi tempat tinggal puak yang tak banyak dikenal. Kadang orang menamai mereka dengan julukan Tibet Kuda Putih - berasal dari nama lembah, salah satu area yang mereka diami. Puak ini sendiri menamakan diri mereka orang Di, dan ini nama yang tersebut dalam sejarah Cina Kuno. Namun, anehnya, semua data tertulis menyatakan bahwa orang Di sudah lenyap sejak 420 Masehi, lebih dari 15 abad yang lalu. Meski tidak memiliki aksara, orang Di patut bangga akan bahasa lisannya yang penuh warna. Mereka senang menyanyi - dengan banyak lagu yang merupakan legenda. Salah satunya berkisah begini: Zaman dahulu kala, para dewa di kayangan memberkahi manusia dengan beras berlimpah-limpah, seperti tumpukan salju di musim dingin. Suatu hari, seorang wanita tidak sengaja. menginjak onggokan padi - dan ini membuat dewa masygul. Dewa lalu mengutus seekor lembu kayangan menyampaikan hukuman kepada manusia yang tak tahu diuntung. Yakni: tiap orang harus menyisir rambutnya tiga kali sehari, dan makan hanya sekali. Tapi apa lacur: si lembu salah dengar. Hukuman menjadi tiga kali makan sehari, dan menyisir rambut hanya sekali. Kembali sang dewa murka: si lembu dibuang kebumi dan harus melakukan kerja berat turun temurun. Tapi lembu itu merengek memohon keringanan dengan mengajukan beberapa alasan. Pertama, di bumi manusia tentu akan memperlakukannya dengan kejam. Maka, dewa pun berkenan memberikan tanduk di kepalanya. Kedua, di bumi tentu banyak nyamuk dan serangga lain. Untuk itu, dewa memberikan ekor untuk alat pengusir. Ketiga, menyadari akan hobinya sendiri dalam hal tidur, lembu khawatir akan sering mendapat hukuman manusia kalau ia sedang tidur-tiduran. Dewa lantas minta kepada manusia untuk menyanyi, supaya lembu tetap terjaga . . . * * * Dari 'Lembah Kuda Putih' kami terus ke selatan, mengikuti Sungai Min Jiang. Sepanjang jalan, akibat legenda tadi, saya selalu memperhatikan lebih lama setiap berpapasan dengan lembu. Makin ke hulu, yang merentangi Sungai Min Jiang adalah ini: jembatan-jembatan gantung, jembatan dua penopang yang tak saling menyangga, dan "jembatan" yang hanya terdiri dari seutas kawat baja. Saya berhenti untuk mengagumi para penyeberang yang pada kondisi lain tentulah merupakan pemain akrobat piawai. Orang ini pulangbalik dari tebing ke tebing, seolah tak hirau kepada arus yang bergejolak jauh di bawah. Setelah ditatar secukupnya, akhirnya saya sendiri memberanikan diri merasakan menyeberang dengan bergantung pada si tukang seberang itu. Ada dua kawat terentang. Tiap utas melengkung lebih rendah ke arah tujuan, hingga gaya beratlah yang bicara. Mulai dari ujung yang lebih tinggi, saya bergantung pada jagoan ini, dan meluncur dengan bunyi berdecit yang menggelikan kuping. Hampir sampai ke ujung, kawat terentang sejajar - dan perjalanan pun berhenti sendirinya. Untuk melanjutkan, dari titik itu kami harus maju dengan tangan mencekau kawat jengkal demi jengkal. Persinggahan berikutnya adalah kampung halaman suku minoritas kecil yang jumlah seluruhnya hanya sekitar 100 ribu. Mereka umumnya tinggal di Chengdu Utara, yang termasuk wilayah Sichuan. Kelompok yang disebut Qiang diam dalam perkampungan yang menyerupai kubu pertahanan, dengan menara-menara pengintai yang menjulang sampai setinggi 30 meter. Dari kejauhan menara-menara ini tampak bagai cerobong asap pabrik. Perkampungan itu biasanya terletak di daerah strategis, pada tempat yang tinggi yang memungkinkan mengamati pemandangan sekitar. Dalam penelitian saya sebelumnya, saya membaca bahwa tradisi perkawinan sangat muda berlaku di kalangan suku ini. Dan dari cerita wanita yang kami temui, apa yang saya baca. itu terbukti benar. Anak lelaki dikawinkan dalam usia sangat belia, bahkan ada kalanya sudah ditunangkan sebelum lahir. Perempuan kawin lebih "tua", 12-18 tahun, sementara lelakinya 7-10 tahun. Jadi, istri biasanya lebih tua. Perjalanan kami sudah berlangsung hampir tiga bulan ketika kami menyeberangi Sungai Yang Tze terakhir kalinya, dan sampai di Provinsi Yunan, tempat ekspedisi kami mulai. Setelah 82 hari, menjelajahi 13.000 km dengan segala gunung, lembah dan sungai-sungai, akhirnya Zhang, Luo dan saya sendiri membutuhkan istirahat dan menjenguk keluarga. Kami berpisah. Saya ke Hong Kong menengok orangtua, terus pulang ke Los Angeles. * * Tapi Maret tahun berikutnya saya kembali ke Kunming. Setelah menjelajah lima provinsi pada perjalanan terdahulu, saya masih ingin mengunjungi tiga yang lain: Guizhou, Hunnan, dan Guangxi. Luo tidak bisa ikut, dan saya akhirnya berangkat bersama Zhang dan temannya yang-lain bernama Jin Xuezhong. Guizhou dikenal sebagai provinsi paling miskin. Sebutlah Guizhou kepada setiap orang Cina, dan hampir semuanya akan mengingat sebuah pepatah kuno: "Tiga hari pun tak ada cuaca yang terang. Tiga li pun tak ada tanah yang datar. Tiga tail perak pun orang Guizhou tak akan punya." Gambaran yang cukup kejam, memang. Guizhou sebuah "kawasan naik turun". Pegunungan dan jurang seperti tak putus-putusnya - dan itu membuat penghuninya terbagi-bagi. Dan mereka itulah suku Miao, sekitar lima juta di seluruh Cina tapi lebih dari separuhnya berdiam di Guizhou ini. Miao (Meo, Hmong), yang sudah banyak berpencar di tempat-tempat yang jauh di luar kawasan Cina (Laos, Vietnam, Muangthai, antara lain karena penindasan bangsa Han sejak berabad-abad), oleh beberapa antropolog disebut sebagai terdiri dari hampir seratus subgrup yang berbeda-beda, masing-masing dengan dialek yang sedikit berbeda serta perkembangan adatnya sendiri-sendiri. Itu baru yang di Cina saja. Mereka ini dapat dibagi dalam lima grup besar: Hitam, Merah, Putih, Biru, dan Bunga-bunga. Di Anlong, bagian barat daya Guizhou, pada pagi hari masih terdengar lagu Timur itu Merah dari pengeras suara sepanjang jalan. Pada waktu Revolusi Kebudayaan lagu itu lagu wajib yang mengawalidan mengakhiri hari di seluruh daratan Cina. Tapi itu telah berakhir pada ujung tahun '70-an - dan masih berlangsung di wilayah terpencil seperti di sini, tempat perubahan berlangsung sangat lambat. Guizhou memang terkebelakang. Ketika mengisi bensin di sebuah pompa, saya menyaksikan bagaimana mereka mengukur banyaknya bensin yang mereka bongkar dari mobil tangki ke tangki pompa. Dari mobil, mereka alirkan bensin itu ke sebuah ember besar. Setelah ember penuh, baru bensin dituangkan ke tangki pompa. Begitu seterusnya sambil menghitung, sampai bensin di mobil habis. Begitu cara mereka menakar. Meski sebagian besar Kota Anlong dibangun bangsa Han, daerah pinggiran umumnya dihuni orang Miao Hei atau Miao Hitam. Di antara mereka sebuah anak suku menyebut diri mereka orang Apeo - istilah yang berarti "sulaman", mungkin sebagai kebanggaan akan keistimewaan mereka di bidang ini. Orang Mpeo berpakaian rapi. Kaum lelakinya dengan celana dan "jas Mao" seperti umumnya orang Cina. Kaum wanita tetap dengan pakaian tradisional yang berwarna dasar hitam dengan sulaman jingga, cokelat, dan biru. Warna dasar itulah asal nama Miao Hitam. Seorang ibu berjalan dengan anaknya seorang gadis yang mengenakan beberapa kalung perak yang cukup berat dengan tatahan yang sangat indah. Saya tanyakan dari mana kalung-kalung itu mereka dapat. "Warisan," katanya. "Jika anak saya ini kawin, akan dibawanya kalung-kalung ini, dan kelak akan diserahkannya pula kepada anak-anak perempuannya." Saya nyatakan, tak ada orang yang mengira akan bisa menjumpai begitu banyak perhiasan indah di sebuah provinsi yang begitu terkenal miskinnya. Ibu itu tampak heran. "Ini bukan harta. Kami tak akan pernah menjualnya. Kami orang Miao lebih baik kelaparan." Pernahkah perhiasan baru dibuat? Sedikit sekali, jawabnya. Jika seseorang membuktikan dirinya anggota masuk Miao, ia boleh membeli sedikit bahan dari pemerintah. Setail perak harganya 18 yuar atau sekitar US$ 9. Sering, dalam perjalanan, kami bertanya tentang jarak. Dan orang di sana selalu menjawab dengan menyebut jumlah uang. Misalnya: sankuaiyi mao yang artinya 3 yuan 15 fen. Kami akhirnya mengerti, itulah jumlah ongkos naik bis. Rata-rata ongkos bis di Cina 3 yuan untuk setengah hari perjalanan. Di Guizhou bagian timul ada sebuah kota bernama Chonganjiang - sama dengan nama sungai yang mengalil lewat situ. Sebenarnya, saya tidak berencana singgah di sini, tapi gara-gara sebuah pemandangan yang sangat indah kami jadi berhenti. Pemandangan itu ialah serombongan gadis belasan tahun yang sedang berbelanja sayuran di tepi jalan. Mereka mengenakan tudung berwarna-warni dan sangat atraktif, dari selendang batik dengan ornamen biru-putih, dengan bando berukir melingkarinya. Tiap tudung dimahkotai dengan simpul merah, dan tiap keseluruhan set hiasan kepala ini dikunci dengan sebuah tusuk perak berukir. Gadis-gadis itu juga mengenakan pakaian seperti apron dengan warna biru bersulam renik. Ternyata, mereka itu orang Ge. Sampai saat saya mendengarnya, baru kali itu saya tahu ada nama Ge di antara nama suku-suku minoritas Cina. Suku ini, meski sebenarnya sangat berbeda, umumnya diklasifikasikan sebagai anak suku Miao juga. Jumlah mereka sekarang sekitar 70 ribu, hampir semuanya di Provinsi Guizhou. Untuk melihat secara utuh peri hidup mereka, kami mengunjungi Desa Fengxiang, yang dihuni sekitar 400 keluarga dan merupakan masyarakat Ge paling besar. Fengxiang terletak di sebuah lembah yang menghampar sebagai muara dari jalan yang kami lalui. Sebuah desa yang teratur, dengan rumah-rumah beratap jerami. Hampir seluruh penduduk bernama Liao. Tanpa listrik, kami menggunakan obor dan lampu baterei ketika penduduk desa menyuguhkan lagu-lagu yang dinyanyikan para gadis dengan iringan musik bumbung. Para tetangga, baik yang dekat maupun jauh, pada berdatangan dengan pipi mereka yang kemerah-merahan. Mereka memang dikenal terlalu suka minum arak. Pagi harinya saya terbangun oleh bunyi gong yang dipukul bertalu-talu menyelingi suara orang berteriak-teriak nyaring. Saya menghambur ke luar rumah, tapi tuan rumah cuma tertawa-tawa. Ternyata, ingar bingar itu ulah petugas dari semacam kegiatan pelestarian alam yang sedang melancarkan propaganda. Akhir-akhir ini terlalu banyak pepohonan yang ditebang. Penduduk (atau barangkali pemerintah), yang menyadari perlunya diadakan pencegahan, lantas menugasi salah seorang yang paling lantang suaranya. Dan pagi hari memang waktu yang paling tepat - sulit sekali untuk tidak mendengarnya. BAGIAN tengah dan selatan Provinsi Guizhou dihuni suku Miao Hei - kelompok Miao terbesar di situ. Menurut legenda, orang Miao pertama datang dari Provinsi Jiangxi. Legenda iain bercerita tentang mengapa bangsa Miao tidak mempunyai huruf. Dulunya, konon, kaum yang namanya terdengar seperti suara kucing itu tinggal bersama bangsa Han. Tapi orang Han begitu licik, hingga orang Miao memutuskan pergi. Mereka pergi sangat jauh, sampai terhalang genangan air yang sangat luas. Dan karena tak punya perahu, mereka tak bisa menyeberang. Waktu itu orang Miao sebenarnya mempunyai huruf, meski tak banyak. Ketika termangumangu menatap air, mereka melihat laba-laba menjalar di atas permukaan genangan luas itu. Mereka lalu sepakat: kalau binatang sekecil itu mampu berjalan di atas air, kenapa mereka tidak? Maka, orang Miao lantas mencoba berjalan di air - dan tentu saja tak bisa malah tenggelam. Dalam usaha kembali ke tepian, air pada masuk ke mulut mereka. Dan bersama air, tertelan pula huruf-huruf yang mereka miliki. Sejak itulah para Miao melangsungkan hidup tanpa huruf sama sekali.... Sepanjang perjalanan di Guizhou Tengah tampak sekali keanekaragaman Miao llei. Tiap sekitar 50 km kami melihat pakaian wanita berbeda dari sebelumnya. Ada yang seperti rok panjang, ada pula yang pendek. Rambutnya ada yang disanggul, tapi juga ada dandanan rambut yang rumit. Kain dasar pun, kecuali hitam, ada pula cokelat atau ungu tua. Suku Miao adalah orang-orang yang luar biasa musikal. Bila senja tiba, lelaki dan perempuan bertemu di lapangan untuk menyanyikan lagu-lagu gembira dan romantis sambil ajuk-mengajuk. Lagu-lagu Miao dikenal kesederhanaannya dalam nada, dengan lirik yang mudah diubah. Melodinya tidak terlalu banyak. Syairnya digubah secara spontan. Dengan ekspresi yang langsung dan didasari pikiran yang lugu, lagu mereka menjadi indah dan "murni". Sejak dulu orang Miao dikenal sangat percaya pada takhayul. Harus selalu dijaga, kata mereka, supaya setan tidak mengganggu orang, hewan, dan tanaman. Mereka secara sistematis terus membohongi setan. Dalam upacara sesaji, misalnya, mereka menaruh kaki babi dan menyatakan itu sebagai sajian babi utuh. Segelas anggur dipoleskan ke sekujur guci atau kuali, dan itu tipuan seakan-akan seguci atau sekuali anggur. Beberapa aspek kehidupan bisa lahir dari upacara takhayul. Sebelum perkawinan diresmikan, seekor ayam disembelih di depan yang bersangkutan. Setelah ayam direbus utuh, kedua matanya diperiksa: bila besarnya sama, itu pertanda kehahagiaan bagi pasangan mempelai. Sebaliknya kalau matanya besar sebelah. Berat sang ayam juga punya peranan: Pihak yang mengundurkan diri, setelah mendapat "pertanda buruk", harus memberikan perak seberat ayam itu kepada bekas calon besannya. Tidak seperti perkawinan orang Han, bagi orang Miao perkawinan lebih merupakan pemaduan masyarakat. Pada malam pengantin. pasangan justru dilarang keras tinggal bersama. Mempelai perempuan akan datang ke rumah pengantin lelaki sebagai tamu - dan tidur, kalau tidak dengan iparnya yang perempuan, ya sendirian. Setelah beberapa hari si perempuan pulang ke orangtua. Hanya pada waktu-waktu tertentu - biasanya waktu panenan - pengantin lelaki memanggilnya untuk membantu pekerjaan rumah tangga, dan hanya dengan jalan itulah sebuah perkawinan sejati bisa dimulai. Tapi kesempatan itu pun berlangsung singkat. Setelah beberapa hari pengantin perempuan kembali lagi ke rumah ibu. Hubungan datang-pergi begini berlangsung terus - sampai kelahiran bayi pertama tiba. Setelah itu, pengantin perempuan baru berfungsi sebagai istri, mangkal di rumah suami, dan terhitung sebagai keluarga. Salah satu acara yang sangat menakjubkan di kalangan orang Miao Hei adalah festival perahu naga, berlangsung di Sungai Qingshui pada hari ke-24 bulan lima, biasanya jatuh bulan luni atau Juli. Menurut sejarahnya, festival ini melambangkan doa orang Miao yang mengharapkan tu ru nnya hujan. Dan hujan, menurut kepercayaan mereka, sebuah afiliasi dengan ular naga. Perahu-perahu dengan haluan berbentuk naga, yang umumnya dibuat dari tiga batang kayu yang cukup besar dan masing-masing mewakili desa-desa di sepanjang tepian sungai, didayung ke hilir oleh para awak yang berseragam warna-warni sambil menempuh upacara meriah. Tiap kepala naga diukir dengan indah, dan pita-pita merah berjurai dari tanduknya. Di tempat-tempat pemberhentian masyarakat setempat menunggu, lalu menghadiahkan bebek atau angsa kepada awak perahu. Dan mereka pun mengadakan peragaan festival perahu naga, meski saat itu belum musimnya. Acara besar yang diselenggarakan hanya untuk kami itu sama seperti keadaan sebenarnya: mengundang partisipasi ribuan orang, riuh rendah sepanjang sungai. Bukan main. * * * Di sudut tenggara Provinsi Guizhou terdapat juga permukiman minoritas yang dikenal sebagai suku Dong. Mereka, yang sangat masyhur di bidang pertukangan, berjumlah sekitar 1,4 juta. Sebelum kembali ke Kunming, kami berhenti di Kota Longe, dekat perbatasan Provinsi Guizhou dan Guangxi. Di sinilah kaum wanita Dong tiap tahun rnengadakan dua perayaan: Chunshe dan Qiushe. Masing-masing berarti "Klub Musim Semi", untuk mengucapkan selamat datang kepada Dewa Dapur, dan "Klub Musim Gugur", untuk menyampaikan selamat jalan kepadanya. Pengunjung datang berduyun-duyun dari tempat yang jauhnya beratus kilometer. Berpakaian paling baik, mereka berkerumun di "jembatan angin dan hujan" yang bersejarah. Mereka lewatkan hari dengan berbelanja atau makan di warung-warung darurat yang dibangun di sekitar jembatan itu. Para lelaki juga tidak mau ketinggalan nampang. Banyak yang membawa senjata api buatan lokal yang bergagang pendek dan berlaras panjang, seperti pistol kepanjangan laras. Pada zaman dahulu, kata legenda, ada seorang bernama Muadianlong. Ia dan seorang temannya adalah juru masak istana. Dalam salah satu jamuan besar yang diadakan Raja, mereka menyiapkan berbagai makanan. Seusai jamuan, Raja bertanya kepada semua yang hadir: masakan mana yang paling lezat. Ketika giliran sampai kepada Muadianlong, ia menjawab: yang paling lezat adalah garam. Raja murka besar - dan segera menitahkan hukuman pancung. Dan, sejak itu, temannya pun sangat sedih. Ia tak lagi membubuhkan garam pada masakan apa pun. Tentu saja Raja dan para tamu berkeluh kesah tiap kali bersantap. Ketika akhirnya Raja memanggil, si koki menjelaskan bahwa sejak kasus Muadianlong, ia memang tak berani lagi membubuhkan garam. Raja kemudian menyadari bahwa Muadianlong memang benar. Maka, untuk menebus rasa bersalahnya, Raja menentukan hari dipancungnya Muadianlong sebagai hari festival musim gugur dan musim semi yang tadi itu. Raja juga memerintahkan rakyatnya minum segelas air campur garam setiap hendak makan. Anda punya kebiasaan itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini