Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Operasi Pemburu Hantu

Enam bulan buron, Thabrani Ismail memimpin perusahaan dan berganti wajah.

19 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDADAK Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung, Mochtar Arifin mengumpulkan lima anak buahnya pada Rabu petang pekan lalu. Setelah berbincang sejenak, dari kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, mereka meluncur ke Jalan H.R. Rasuna Said.

Datang dengan empat mobil, di depan Gedung Mulia mereka berpencar. Satu mobil menunggu dekat gerbang. Satu lagi masuk ke tempat parkir di lantai dasar. Dua yang lain berhenti di pinggir jalan sedikit melewati gedung perkantoran itu. Empat kendaraan itu menyatu lagi saat mengikuti sebuah Honda Jazz silver B-8960-EI. Magrib hampir datang. Jam menunjukkan pukul 17.20 WIB.

Tepat di depan kantor Kejaksaan Tinggi Jakarta yang berjarak 150 meter dari Gedung Mulia, tiga mobil jaksa memepet Honda Jazz itu. Yang satu menghadang. Seketika, enam jaksa itu keluar dari mobil. Masing-masing menggenggam pistol. Satu jaksa membuka pintu belakang mobil. Seorang lelaki tua duduk di situ.

Perlahan dia keluar dari mobilnya. Moncong pistol teracung padanya. ”Anda Thabrani Ismail?” si jaksa bertanya. Pria berjas abu-abu ini menggeleng. ”Saya bukan Thabrani; saya akan panggil pengacara saya,” katanya. Dia menunjukkan tanda pengenal. Tertera nama Putra Mangku Puspo, tinggal di Cimpaeun, Cimanggis, Depok.

Tak ditemukan identitas Thabrani pada pria tua ini. Di dalam tasnya hanya ada bungkusan pasir seperti jimat. ”Kami curiga, ngomongnya logat Sumatera, tapi kok namanya Jawa,” kata jaksa itu. Lalu dia digiring ke dalam kantor Kejaksaan Tinggi. ”Kami tetap yakin dialah orangnya.

Pria itu lalu dibawa masuk ke dalam ruang kerja Darmono, Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta. Mochtar Arifin mengontak Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.

l l l

DIA memang Thabrani Ismail. Masuk dalam daftar buron kejaksaan sejak Agustus tahun lalu, lelaki itu tersang-kut perkara korupsi dalam pembangunan kilang minyak Export Oriented Refinery Project-I (Exor-I) Balongan. Sebuah kilang minyak di tepi laut di Desa Sukareja, Indramayu, Jawa Barat. Saat itu dialah Direktur Pengolahan Pertamina yang pada 1989 menggarap proyek senilai US$ 1,823 miliar tersebut. Kilang ini diresmikan Presiden Soeharto pada 24 Mei 1995.

Dia pula yang merancang anggaran untuk proyek. Biaya pembangunan proyek ini datang dari pinjaman luar negeri melalui Java Petroleum Investment Co. Ltd., konsorsium penyandang dana. Utang kepada perusahaan ini akan dibayar dengan produk Balongan yang diperkirakan akan lunas dalam 12 tahun.

Tiga tahun lalu, terungkap bahwa biaya membangun kilang itu ternyata digelembungkan. Mestinya dana yang dipakai hanya US$ 1,623 miliar. Itulah sebabnya, Thabrani diseret ke meja hijau dan dijebloskan ke penjara Salemba, Jakarta. Jaksa menuntut Thabrani 12 tahun penjara, ditambah denda Rp 30 juta serta uang pengganti US$ 189,58 juta.

Thabrani menolak tuduhan itu. Kepada Tempo waktu itu dia bilang perannya dalam proyek itu hanyalah wakil tim negosiasi dengan pihak asing. ”Di atas saya masih ada Dirut Pertamina (Faisal Abda’oe), Menteri Pertambangan dan Energi (Ginandjar Kartasasmita), dan Presiden (Soeharto),” katanya. ”Saya tidak bersalah. Saya dizalimi.”

Desember 2003, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Thabrani dari segala tuduhan. Jaksa meminta kasasi ke Mahkamah Agung, tapi Thabrani tak ditahan lagi dengan alasan sakit. Bahkan saat sidang di Pengadilan Negeri, ia sudah berkursi roda.

Menurut sumber Tempo, setelah diadili Thabrani menjadi sehat. Bahkan, katanya, dia direkrut pemilik kelompok usaha Mulia, Djoko Tjandra. Itulah sebabnya, dia berkantor di Gedung Mulia, salah satu properti milik Djoko.

Thabrani, menurut sumber itu, diminta mengurus perusahaan pertambangan yang beroperasi di Cina. ”Dia memang pernah bekerja di tempat saya sebagai konsultan bisnis, tetapi mengundurkan diri pada Agustus 2006,” kata Djoko kepada Tempo. Thabrani divonis bersalah oleh Mahkamah Agung pada April 2006.

Majelis menghukumnya enam tahun penjara dan denda Rp 30 juta serta diwajibkan mengganti uang negara US$ 189,58 juta. Namun, saat hendak dieksekusi pada 28 Agustus tahun lalu, Thabrani ia raib dari rumahnya di Jalan Komando, Jakarta Selatan.

Selama buron, menurut sumber Tempo, Thabrani sempat ke Singapura untuk berganti wajah. ”Yang membantunya ya Djoko Tjandra,” katanya. Namun, Djoko membantah: ”Itu kabar setan. Dari dulu ya wajahnya seperti itu.” Djoko bahkan tak mengakui Thabrani menjalani ope-rasi plastik.

l l l

SEJAK Thabrani menghilang, kejaksaan membentuk tim untuk mengejarnya. Jaksa Agung Muda Intelejen Mochtar Arifin memimpin sendiri tim yang disebut Tim Pemburu Hantu ini. Mereka menelusuri berbagai tempat yang diduga menjadi lokasi persembunyian Thabrani, tapi orang berkursi roda itu tak kunjung ditemukan.

Suatu hari pada November, masuk informasi tentang Thabrani yang akan terbang ke Malang. Nomor bangku dan jam keberangkatan pun dikantongi tim ini. Beberapa anggota menginap di Bandara Soekarno-Hatta untuk menunggunya. Menjelang terbang, mereka masuk ke pesawat. Tapi yang ditemukan hanya bangku kosong.

Belakangan, masuk lagi informasi keberadaan Thabrani yang telah berganti wajah di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Akhirnya, ditangkaplah seseorang pria berkacamata lebar di depan kantor Kejaksaan Tinggi. Dia memang seseorang yang bertampang bos: memakai setelan jas abu-abu lengkap dengan dasi. Sepatunya hitam mengkilap. Wajahnya bulat, rambutnya bersemir hitam. Ada kumis tipis di atas bibirnya.

Kepada jaksa, dia kukuh mengaku sebagai Putra Mangku Puspo, kelahiran Martapura, 21 Februari 1939, bukan Thabrani yang lahir di Prabumulih, 21 Desember 1934. Secara fisik, antara Putra dan Thabrani ada perbedaan.

Thabrani, terakhir kali terlihat sudah memakai kursi roda. Rambutnya putih, wajahnya tak berkumis. Persamaannya: sama-sama bermuka bulat dan berkulit cokelat. ”Dilihat sepintas sulit mengenalinya,” kata Jaksa Tinggi Darmono.

Sekitar pukul 23.00 WIB, Jaksa Agung Abdul Rahman muncul di ruang kerja Darmono. ”Bapak kan yang bernama Thabrani Ismail?” tanya Arman, panggilan akrab Jaksa Agung. ”Tiba-tiba saja dia mengangguk.”

Thabrani mengaku melarikan diri karena merasa tidak bersalah. ”Kami bilang, kalau Bapak tidak bersalah, perjuangkan lewat jalur hukum, yaitu melalui peninjauan kembali,” kata Arman.

Malam itu juga Thabrani dibawa ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. ”Saya dizalimi,” katanya. Dua kata yang pernah diucapkannya tiga tahun lalu.

Nurlis E. Meuko, Budi Setyarso, dan LR Baskoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus