Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA pemandangan baru di SMA Negeri IV Yogyakarta. Seluruh ruangan dihiasi wayang. Kelas III IPS 2, misalnya, dipasangi tokoh Antasena, sedangkan di kelas II IPS 2 tergantung Bima. Dinding ruang guru lebih meriah - terdapat para panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Pemasangan wayang itu punya alasan. Kepala Kanwil Departemen P dan K Yogyakarta, Poeger, memang telah mengimbau agar SMTA dan SMTP di wilayahnya memasang tokoh wayang, memasuki tahun 1985 ini. "Untuk lebih mcnanamkan rasa cinta pada seni budaya bangsa," katanya kepada TEMPO, pekan lalu. Pemilihan tokoh yang akan dipajang terserah kcpada sekolah masing-masing. Guruguru di SMA IV itu, misalnya, memilih panakawan karena, "Kami ini 'kan abdi negara. Jadi, cocok," ujar Edi Sugita, kepala sekolah. Tokoh Antasena dipilih karena, menurut Sutrisno - guru - cocok dengan keadaan di kelas yang diasuhnya: anak-anak terkadang kurang mempcrhatlkan sopan santun, tap berani mengkritik bila melihat kejanggalan. Nita, siswi kelas III IPA, menilai pemasangan wayang itu positif. "Wayang 'kan kebudayaan kita sendiri, tidak seperti breakdance yang berasal dari Barat," katanya. Banyak juga, ternyata, teman-temannya yang tak tahu banyak soal wayang. Mereka hanya menyerahkan pemilihannya penuh-penuh kepada guru. Sejauh ini, tampaknya, baru SMA Negeri IV yang sudah memenuhi imbauan Kepala Kanwil. "Kami masih perlu waktu untuk memilih wayang yang baik untuk dipasang," kata kepala SMP Negeri VIII. Tak hanya memilih - uang juga diperlukan. Sebuah wayang berkualitas sedang harganya Rp 5 ribu-Rp 15 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo