Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sekolah di madrasah susah?

Dengan adanya surat edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Dep. P dan K, siswa madrasah yang mau pindah ke sekolah umum harus mengikuti ebtanas dan sebaliknya. (pdk)

19 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN ini, lulusan madrasah yang ingin melanjutkan ke sekolah umum harus menempuh Ebtanas sekolah umum. Sebaliknya, lulusan sekolah umum yang mau pindah ke madrasah harus pula mengikuti ujian negara dari Departemen Agama. Kebijaksanaan baru ini dikeluarkan lewat surat edaran (SE) yang diteken Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K dan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, tertanggal 10 November 1984. Tak terdengar reaksi atas SE tersebut dari sekolah umum. Maklum, siswa sekolah umum yang beralih ke madrasah terhitung jarang. Tapi, dari madrasah terdengar keluhan. Setidaknya dari Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP - Negeri (MTsN) Kudus. "Itu tidak adil," kata Sukimo, kepala MTsN Kudus itu. "Sebab, buku pelajaran umum di sini dari Departemen P & K juga, dan jumlah jam pelajaran sama dengan SMP." Dan, kata Achmad Basyari, kepala Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Jakarta, "Madrasah akan rugi. Orangtua murid tentu akan lebih memilih sekolah umum, kalau harus menempuh ujian dua kali bila dari madrasah mau masuk sekolah umum." Berdasarkan angket kecil-kecilan yang pernah disebarkan oleh Maski, kepala SMP Islam Al-Hidayah, Jakarta, yang juga menjadi guru di beberapa madrasah, diketahui bahwa orangtualah yang berperan memasukkan anaknya ke madrasah. Alasannya, pendidikan agama di madrasah bisa mengerem kenakalan anak-anak. Dan biasanya, untuk jenjang pendidikan menengah atas, para orangtua akan memilih SMA, bukan madrasah aliyah, agar anak-anak yang sudah mendapat pendidikan agama itu terjamin pula pendidikan umumnya. Kecenderungan seperti itu, berpindah dari madrasah ke sekolah umum, tak mengalami hambatan apa pun. Yakni, sejak ada Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Agama, P & K, dan Dalam Negeri) 1975, yang menyamakan ijazah madrasah dan sekolah umum yang sejenjang. Itu dengan konsekuensi komposisi kurikulum madrasah diubah. Dari 60% pelajaran agama dan 40% pelajaran umum, menjadi 70% pelajaran umum dan sisanya pelajaran agama. SKB ini masih dikuatkan dengan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K, Juni tahun lalu. Isi SKB terakhir itu, selain mengatur madrasah aliyah disesuaikan dengan kurikulum SMA 1984 - yakni dengan program inti dan pilihan - juga menegaskan kembali hal persamaan ijazah. Dalam Bab V Pasal 11 Ayat 4 SKB tersebut jelas disebutkan, "Surat Tanda Tamat Belajar/ijazah sekolah umum dan madrasah dari jenjang pendidikan yang sama mempunyai kedudukan yang setaraf." Kini, ada sekitar 2.750 madrasah aliyah, 3.700 tsanawiyah, dan ribuan ibtidaiyah negeri dan swasta. Sebenarnya, ketika SKB Tiga Menteri 1975 turun, terdengar kekhawatiran pihak madrasah. Mereka merasa berat harus menyamai sekolah umum. Pasalnya, madrasah kekurangan guru pelajaran umum. Jalan keluar waktu itu, pihak Departemen P & K bersedia memberikan penataran untuk guruguru madrasah bidang studi umum. Dan itu memang dilakukan. Hasilnya? Supriyadi, kelas III IPS SMAN I Kudus adalah lulusan sebuah madrasah tsanawiyah. Ia mengaku, ketika masuk SMA mengalami kesulitan mengikuti pelajaran. "Terutama pelajaran eksakta," katanya. "Benar madrasah saya dulu pun menggunakan buku-buku yang digunakan di SMP. Tapi guru kami di madrasah belurn tentu pendidikannya sesuai dengan bidang studi yang dipegangnya. Tapl adanya SE yang baru ltu bukannya tanpa alasan. Baik menurut Darji Darmodiharjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen P & K, itu, maupun Zaini Dahlan, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, peraturan itu justru demi keadilan. Yakni sehubungan dengan rencana pemerintah mengembalikan ujian sekolah menjadi ujian negara. Ini memang sudah dirintis sejak 1980-1981. Dari hanya PMP tahun itu, tahun lalu sudah enam mata pelajaran yang sudah menjadi ujian negara. "Jadi, surat edaran ini justru mendukung SKB 1975 dan 1984," kata Aya Sofia, Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam. Dan kata Darji Darmodiharjo pula, "Dengan keharusan bagi siswa madrasah mengikuti Ebtanas bila mau pindah sekolah umum, kita jadi tahu bahwa madrasah dan sekolah umum itu sama. Kalau belum diuji dengan soal yang sama, bagaimana kita tahu bobot pelajaran umumnya sama?" Tapi soalnya: Mengapa mesti repot-repot mengadakan ujian persamaan itu? Bukankah bisa lebih praktis misalkan ujian madrasah untuk pelajaran umum dibuatkan oleh Departemen P & K?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus