Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOTO Effendy Tios berdiri berdampingan dengan Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Syafruddin terpacak di dinding kantor PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Syafruddin mengenakan seragam polisi, sedangkan Effendy memakai batik lengan panjang. Tak tersungging senyum di bibir mereka. Sebagaimana Syafruddin, air muka Effendy tak beriak.
Dicetak rangkap, potret tersebut dipasang di dua ruang pertemuan. Satu digantung di ruang rapat lantai dasar kantor SILO. Satu lagi dipajang di ruang rapat yang lebih luas di lantai dua gedung itu.
Foto itu merekam hubungan Effendy dan Syafruddin. Di SILO, Effendy menjabat wakil direktur utama sekaligus pemilik sebagian saham perusahaan itu. Ia pernah meminta tolong Syafruddin menengahi konflik SILO dengan pengusaha tambang Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam.
Setelah Lebaran tahun lalu, Effendy dan Syamsuddin bertemu di rumah dinas Syafruddin di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Menurut Effendy, dalam pertemuan tersebut Syamsuddin mengutarakan sejumlah permintaan agar tambang grup SILO di Pulau Laut, Kotabaru, Kalimantan Selatan, bisa beroperasi. Di antaranya, kata Effendy, Syamsuddin meminta sebuah helikopter senilai Rp 200 miliar. "Pokoknya minta bagilah. Kayak preman begitu," ujar Effendy, Senin pekan lalu.
Grup SILO adalah salah satu pemilik konsesi batu bara di Pulau Laut. Lewat tiga anak usahanya, yakni PT Sebuku Tanjung Coal, PT Sebuku Batubai Coal, dan PT Sebuku Sejaka Coal, SILO menguasai 22 ribu hektare lahan. Meski sudah mengantongi izin sejak 2010, perusahaan itu baru merencanakan beroperasi pada tahun lalu.
Pada 2010, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkaji kandungan batu bara di Pulau Laut. Satgas memperkirakan cadangan batu bara di dalam perut pulau di sebelah timur Kalimantan Selatan itu mencapai 100 juta metrik ton. Cadangan ini bisa ditambang selama 40-50 tahun ke depan.
Di Pulau Laut, lahan SILO bersebelahan dengan kebun PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) milik Syamsuddin melalui Jhonlin Group. Berkongsi dengan PT Inhutani II, MSAM mendapat izin perkebunan sawit seluas 11.500 hektare pada 2013 dari Pemerintah Kabupaten Kotabaru. Dari luas itu, sekitar 2.000 hektare lahan MSAM beririsan dengan lahan SILO. Inilah pangkal perseteruan SILO dengan Syamsuddin.
Awal tahun lalu, keberadaan SILO mulai dipersoalkan sekelompok orang. Pada Maret dan Mei 2017, lembaga swadaya masyarakat Komite Aksi Penyelamat Kotabaru (Kapak) menuntut Bupati Kotabaru M. Sayed Jafar Al-Idrus meninjau ulang izin grup SILO. Alasannya, Pulau Laut dianggap tidak memiliki daya dukung sebagai kawasan pertambangan.
Effendy Tios kemudian memanggil pentolan Kapak ke kantornya. Menurut Effendy, dari aktivis Kapak tersebut dia tahu bahwa unjuk rasa itu digerakkan Andi Syamsuddin. Effendy juga menuding ada yang menghasut nelayan agar menolak kehadiran tambang. "Orang ini mau mengusir kami," ujar Effendy.
Di Kalimantan Selatan, Syamsuddin termasyhur sebagai pengusaha tambang yang kerap berseteru dengan pengusaha lain. Sejumlah pemilik tambang masuk penjara setelah berkonflik dengan Syamsuddin. Lelaki asal Batulicin, Kalimantan Selatan, itu pemilik PT Jhonlin Baratama, salah satu kontraktor tambang terbesar di sana. Syamsuddin juga dikenal sebagai kerabat Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor.
Inilah yang mendorong Effendy meminta bantuan Komisaris Jenderal Syafruddin untuk mempertemukannya dengan Syamsuddin setelah Lebaran tahun lalu. Sejumlah pengusaha dan politikus yang mengenal Syamsuddin mengatakan lelaki 41 tahun itu akrab dengan sejumlah pejabat kepolisian. Salah satunya Syafruddin. Kedekatan keduanya terekam dalam sebuah foto yang diperoleh Tempo. Pada sebuah momen, keduanya berfoto di dalam pesawat jet pribadi.
Syafruddin membantah pernah mempertemukan Effendy dan Syamsuddin. Menurut Syafruddin, persoalan tambang tak ada urusan dengan kepolisian. "Bohong itu. Saya tak pernah mediasi-mediasi," kata Syafruddin, Selasa pekan lalu, di Yogyakarta.
Andi Syamsuddin mengakui pernah bertemu dengan Effendy. Tapi ia menampik kabar pernah meminta helikopter kepada Effendy. "Saya pernah dengar Effendy ngomong saya minta helikopter. Itu fitnah. Kalau dia berani omong seperti itu, bakal saya tuntut dia," ujar Syamsuddin.
Effendy pulang dari rumah dinas Syafruddin dengan hati masygul. Setelah pertemuan itu, konfliknya dengan Syamsuddin malah melebar.
Pada pertengahan tahun lalu, MSAM mulai menanami kebunnya dengan sawit, termasuk di lahan yang tumpang-tindih. SILO keberatan karena menganggap area tersebut masuk wilayah konsesinya. "Mereka menanam kelapa sawit dengan dikawal pasukan Brimob Polri," kata Effendy.
Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan Brigadir Jenderal Rachmat Mulyana mengatakan polisi memang pernah menjaga perkebunan milik Andi Syamsuddin. Tapi Rachmat membantah kabar bahwa ia membekingi perusahaan Syamsuddin. "Siapa pun yang meminta pengawalan kami layani sesuai dengan prosedur," ujar Rachmat pada Kamis pekan lalu.
Keterlibatan polisi saat penanaman sawit membuat SILO meradang. Grup usaha itu lalu mencari cantolan ke tentara. Pada September tahun lalu, bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, Soenarko, diangkat sebagai Direktur Utama SILO, menggantikan Effendy Tios, yang turun jabatan menjadi wakil direktur utama. "Pak Effendy kan agak nganu kalau perintah-perintah tentara," kata Soenarko.
Selama ini, Effendy selalu tampil di depan layar. Tapi sesungguhnya SILO pernah berafiliasi dengan Grup Salim, yang dimiliki taipan Anthoni Salim. Pada 2015, Gallant Venture Ltd, salah satu kapal usaha Salim, dilaporkan melepas saham tak langsung SILO sebanyak 29,4 persen senilai US$ 12,59 juta. Kepada Tempo, orang dalam SILO mengatakan perusahaan itu masih dimiliki Grup Salim dan Agung Sedayu Group.
Tempo menghubungi Corporate Secretary PT Indofood Sukses Makmur, Stefanus Indrayana, untuk mengklarifikasi kepemilikan Salim di SILO. Indofood salah satu anak usaha Salim. Setelah berdiskusi dengan kalangan internal Grup Salim, Stefanus menyarankan Tempo langsung menghubungi Soenarko.
Soenarko menyatakan tidak mengetahui kepemilikan saham Salim di perusahaan itu karena aksi korporasi tersebut dilakukan sebelum ia bergabung ke SILO pada 2017. "Saya kurang memahami hal itu," ujarnya.
Soenarko malah mengatakan Effendy Tios adalah sahabat Sugianto Kusuma alias Aguan, pemilik Agung Sedayu Group. Tempo berusaha meminta klarifikasi dari pihak Agung Sedayu. Kresna Wasedanto, yang dikenal sebagai kuasa hukum Agung Sedayu, menyatakan dia bukan lagi pengacara perusahaan ini.
Menurut Soenarko, ia masuk ke SILO karena diminta Gatot Nurmantyo, yang saat itu masih menjabat Panglima Tentara Nasional Indonesia. Suatu waktu, kata Soenarko, Gatot bercerita bahwa ada perusahaan yang dizalimi pemerintah daerah. "Ya sudah, kalau perusahaan ini benar, saya siap," kata Soenarko menceritakan percakapannya dengan Gatot.
Kedatangan Soenarko bersamaan dengan ditekennya kerja sama SILO dengan Koperasi Kopassus, Koperasi Kostrad, dan Koperasi Komando Daerah Militer VI Mulawarman. Menurut Soenarko, keterlibatan koperasi tentara dalam pengelolaan tambang semata-mata untuk menopang kesejahteraan prajurit.
Soenarko mengatakan tak ada aturan yang dilanggar dalam kerja sama koperasi tentara dengan perusahaan swasta. "Koperasi kan memiliki unit usaha," ujar lulusan Akademi Militer 1978 ini.
Kongsi tersebut membuat tentara berhadap-hadapan langsung dengan polisi di area yang disengketakan. Soenarko menugasi pasukan Kopassus membuat jalan dan membangun mes. Personel Kopassus juga dilibatkan dalam kegiatan operasi intelijen. "Pembangunan sipil kan ringan. Yang paling hebat itu tentara," kata Soenarko.
Ketika berkunjung ke kantor Tempo, Selasa dua pekan lalu, Gatot Nurmantyo menyanggah berperan dalam kerja sama koperasi TNI dan grup SILO. Ihwal Soenarko, ia mengatakan pensiunan jenderal bintang dua tersebut punya hak bergabung dengan perusahaan swasta karena status pensiunnya itu. Walau begitu, Gatot menyebutkan, "Koperasi bisa bekerja sama dengan apa pun."
Kepala Polda Kalimantan Selatan Rachmat Mulyana mengakui situasi di perbatasan lahan MSAM dengan grup SILO sempat memanas menjelang akhir 2017. Rachmat mendengar adanya pasukan TNI Angkatan Darat di konsesi tambang milik grup SILO. Setelah sempat ada gesekan di lapangan, Rachmat menginstruksikan anak buahnya lebih berhati-hati dalam melayani jasa pengawalan. "Bila diminta jasa pengamanan, harus ditinjau dulu," ujar Rachmat.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Mohamad Sabrar Fadilah mengatakan kerja sama itu tidak dijalin oleh koperasi TNI. "Kalau dengan koperasi kesatuan, silakan ditanyakan ke sana," ujar Sabrar.
Namun kongsi tersebut seumur jagung. Pada 4 Desember 2017, Presiden Joko Widodo mencopot Gatot Nurmantyo dan menunjuk Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai penggantinya. Pergantian itu berimbas pada hubungan grup SILO dengan koperasi tentara.
Soenarko menuturkan, pemimpin TNI kemudian memerintahkan pasukan ditarik dari kawasan tambang. Perintah penarikan itu hanya berselang tiga hari setelah pelantikan Hadi. Soenarko memperoleh laporan tersebut dari juniornya di Kopassus. "Ketua koperasi memberi tahu saya ada perintah tarik," kata Soenarko.
Setelah tak ada dukungan dari tentara, keapesan SILO berlanjut. Pemerintah Kalimantan Selatan tak kunjung mengeluarkan rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan. Maka pada Desember itu SILO menghentikan operasi perusahaannya. Soenarko pun mencari jalan untuk menghidupkan perusahaannya.
Pada 21 Desember 2017, Soenarko menyurati Presiden Jokowi. Ia mengadukan hambatan yang dialami perusahaannya. Dalam suratnya, ia menyebutkan ada indikasi seorang kerabat gubernur berniat menguasai lahan kebun dan tambang. "Pengusaha ini mampu mengendalikan keputusan birokrat di pemerintah Kalimantan Selatan," tulis Soenarko.
Surat itu direspons sekretariat kepresidenan, yang lalu mengarahkan Soenarko ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Soenarko pun menjelaskan masalah yang merundung perusahaannya kepada petinggi Kementerian Energi. Ia juga mendatangi Kementerian Dalam Negeri.
Ikhtiar SILO menemui jalan buntu. Pada 26 Januari lalu, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor malah mencabut izin tambang tiga anak usaha grup SILO. Sahbirin mengatakan pencabutan tersebut dilakukan karena adanya desakan masyarakat. "Itu atas dasar aspirasi masyarakat dan kajian lingkungan," ujar Sahbirin.
SILO lalu menggandeng kantor pengacara Yusril Ihza Mahendra untuk menggugat pencabutan izin tersebut. Sidang perdana digelar pada 15 Maret lalu. SILO menganggap pencabutan itu melanggar prosedur karena tak pernah diberi surat peringatan.
Ada memang surat peringatan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Selatan yang mempersoalkan izin lingkungan, tapi menurut SILO hal itu sudah beres dengan keluarnya status clear and clean pada 2010. SILO kemudian mengecek izin lingkungan yang dipersoalkan. Ketika pengecekan berlangsung, Gubernur Sahbirin Noor justru menarik izin tambang SILO.
Menganggapnya janggal, SILO menuding pencabutan izin itu sebagai cara Andi Syamsuddin untuk mencaplok lahan tambang perusahaan ini melalui tangan Gubernur Sahbirin, kerabatnya. "Jangan bilang dia minta bagian, tapi dia ingin merampas," ujar Soenarko.
Syamsuddin membantah berada di balik pencabutan ini. "Salah kaprah itu. Kenapa saya yang dituding?" katanya.
Wayan Agus Purnomo, Raymundus Rikang, Diananta Putra Sumedi, Pribadi Wicaksono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo