Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INNALILLAHI" diucapkan Anwar Usman saat menyampaikan pidato perdananya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Senin pekan lalu. Di hadapan tetamu, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, serta Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan, yang menghadiri penabalannya, Anwar mengatakan jabatan itu merupakan cobaan sekaligus amanah.
"Kekuasaan atau jabatan apa pun di dunia ini akan kembali kepada Allah," ujarnya. Kepada Tempo yang menemuinya pada Jumat pekan lalu, Anwar menjelaskan, "innalillahi" dalam pidatonya bukan berarti menghadapi musibah, melainkan persiapan menghadapi ujian sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Anwar terpilih menggantikan Arief Hidayat dan akan memimpin Mahkamah hingga 2020. Lima dari sembilan hakim konstitusi memilih dia, sementara sisanya mendukung Suhartoyo. Menurut Anwar, ia tidak tahu bakal menjadi ketua. Dia pun tak mengetahui identitas hakim yang memilihnya. "Sifatnya rahasia," kata doktor lulusan Universitas Gadjah Mada ini.
Nyatanya, lima hari sebelum pemilihan ketua digelar, hasil pemilihan sudah bisa ditebak. Seseorang yang mengetahui seluk-beluk pemilihan tersebut mengatakan lima hakim konstitusi bertemu di suatu ruangan di gedung Mahkamah Konstitusi untuk membahas pemilihan ketua dan wakil ketua. Tiga di antaranya adalah Anwar, Arief Hidayat, dan Aswanto. Pertemuan itu digelar beberapa jam setelah rapat pleno sembilan hakim memutuskan Arief tak bisa lagi maju sebagai ketua karena sudah menjabat dua periode.
Menurut narasumber tersebut, lima hakim itu sepakat mendukung Anwar sebagai ketua dan Aswanto sebagai wakilnya. Sebelumnya, posisi wakil ketua ditempati Anwar. Skenario ini berjalan mulus. Hakim Saldi Isra, yang semula didorong empat hakim lain, urung mencalonkan diri. Penggantinya adalah Suhartoyo. Saldi kemudian diajukan sebagai calon wakil ketua. Baik Suhartoyo maupun Saldi keok dengan skor sama: empat suara.
Anwar menyangkal ada pertemuan yang merancang pemenangannya. Dia hanya membenarkan adanya pertemuan resmi sembilan hakim konstitusi yang memutuskan Arief Hidayat tak bisa maju lagi sebagai calon ketua. Arief pun enggan berkomentar tentang pertemuan tersebut. Sedangkan Aswanto tak menanggapi pesan pendek dan panggilan telepon Tempo.
Hasil pemilihan pemimpin Mahkamah Konstitusi menegaskan perseteruan di antara dua kelompok di lembaga yang berdiri pada 2003 itu. Dua narasumber di Mahkamah yang mengetahui masalah itu menyebutkan perseteruan para pengadil terjadi sejak Saldi Isra menjadi hakim konstitusi pada April 2017.
Saldi menjadi hakim konstitusi melalui jalur pemilihan oleh presiden. Dua hakim lain yang dipilih presiden adalah Maria Farida Indrati dan I Dewa Gede Palguna. Tiga hakim lain, yaitu Arief Hidayat, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sisanya berasal dari jalur Mahkamah Agung, yaitu Anwar Usman, Suhartoyo, dan Manahan M.P. Sitompul.
Kongsi lima hakim rupanya tidak hanya dalam memilih pemimpin Mahkamah Konstitusi. Saat Mahkamah memutus perkara, kelimanya juga kompak. Contohnya terlihat dalam sidang uji materi Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3.
Agustus tahun lalu, sejumlah lembaga pegiat antikorupsi mengajukan judicial review pasal tersebut yang terkait dengan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menilai DPR tak bisa menggunakan hak angket terhadap KPK karena komisi antikorupsi itu bukan pemerintah. Dewan menggunakan hak menyelidiki setelah sejumlah legislator disebut menerima duit dari proyek kartu tanda penduduk elektronik.
Saat ramai-ramai angket dan uji materi ini, Arief menemui pimpinan Komisi Hukum DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, akhir tahun lalu. Seorang anggota DPR yang mengikuti pertemuan tersebut mengatakan, saat itu, Arief berjanji menolak uji materi dari pegiat antikorupsi. Arief dan sejumlah anggota DPR membenarkan adanya pertemuan tersebut, tapi menyanggah pembicaraannya. Wakil Ketua Komisi Hukum Trimedya Panjaitan, misalnya, membantah ada barter. "Saya kira itu kecurigaan berlebihan," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Setelah Arief terpilih, Mahkamah Konstitusi betul-betul menolak uji materi melalui voting pada awal Februari lalu. Lima hakim yang menolak adalah Arief, Anwar, Aswanto, Wahiduddin, dan Manahan. Sedangkan empat hakim lain berbeda pendapat. Anwar membantah anggapan bahwa pertemuan Arief Hidayat dengan Komisi Hukum mempengaruhi hasil uji materi. "Semua hakim bebas berpendapat sesuai dengan keyakinannya."
Perkubuan itu berlanjut sepekan setelah pembacaan putusan. Mahkamah tiba-tiba menggelar jumpa pers setelah banyak kalangan mempersoalkan putusan uji materi. Para pegiat antikorupsi menilai putusan itu bertentangan dengan putusan sebelumnya yang menyebutkan KPK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Dalam penjelasannya, Mahkamah menganggap tak ada putusan yang bertentangan.
Anehnya, empat hakim yang mengajukan dissenting opinion tak diajak berbicara ihwal penjelasan tersebut. "Saya kaget dengan adanya rilis tersebut," kata hakim I Dewa Gede Palguna. Saldi Isra dan Suhartoyo juga mengaku tak mengetahui penjelasan tersebut. "Saya tidak ikut dan tidak tahu siapa yang menyusun rilis tersebut," kata Suhartoyo.
Dua narasumber yang mengetahui cerita di balik terbitnya rilis itu mengatakan keluarnya rilis tersebut diawali pembicaraan kelompok hakim yang menolak uji materi. Empat hakim lain sengaja tidak dilibatkan dalam pertemuan.
Arief Hidayat, ketika dimintai tanggapan, sempat memberikan penjelasan melalui surat elektronik. Tapi, belakangan, dia meminta penjelasannya tak ditulis. "Silakan ditulis tidak ada konfirmasi dari saya," kata Arief. Yang jelas, sejak itu, perselisihan di antara kedua kubu kian runcing.
Walau sudah terbelah ke dalam dua blok, hakim konstitusi ramai-ramai membantah ada perpecahan. Palguna, Suhartoyo, dan Saldi Isra menepis anggapan bahwa ada dua kelompok di Mahkamah. "Perbedaan pilihan itu hal yang lumrah," ujar Saldi Isra. Begitu pula Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru terpilih. "Tidak ada perpecahan," kata Anwar Usman.
Rusman Paraqbueq, Imam Hamdi, Yusuf Manurung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo