Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUT-ribut izin tambang PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) bukan baru terjadi belakangan ini. Jauh sebelum Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor mencabut izin tambang tiga perusahaan di bawah PT SILO pada Januari 2018, kejanggalan izin grup usaha itu di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru, tersiar sampai Jakarta.
Delapan tahun lalu, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menyelidiki penerbitan izin usaha pertambangan lima perusahaan pada 2010. Perusahaan itu PT Sebuku Batubai Coal, PT Sebuku Tanjung Coal, dan PT Sebuku Sejaka Coal, yang menambang batu bara, serta PT Banjar Asri dan PT Ikatrio Sentosa, yang mengeruk bijih besi.
PT Sebuku Batubai Coal, PT Sebuku Tanjung Coal, dan PT Sebuku Sejaka Coal adalah tiga perusahaan di bawah naungan SILO yang dicabut izinnya oleh Sahbirin pada Januari lalu. Sedangkan PT Banjar Asri dan PT Ikatrio Sentosa terafiliasi ke grup SILO melalui direktur utamanya, Effendy Tios, yang juga Wakil Direktur Utama PT SILO.
Satgas yang dipimpin Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan waktu itu, Kuntoro Mangkusubroto, sampai turun ke Kalimantan Selatan. "Banyak laporan dari warga soal sengketa lahan di sana," kata bekas anggota Satgas, Yunus Husein.
Yunus, yang juga mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, mengatakan timnya sempat menginvestigasi izin tambang lima perusahaan itu. Sebelumnya, Satgas menerima laporan tentang obral izin tambang menjelang pemilihan kepala daerah serta maraknya sengketa kepemilikan tambang. "Ada Haji Isam sebagai tokoh penting dalam isu tersebut," ujar Yunus, merujuk pada pengusaha tambang Andi Syamsuddin Arsyad.
Menurut kajian Satgas, izin untuk perusahaan tambang tersebut berpotensi melanggar sejumlah aturan. Ketika izin diberikan pada 20 April 2009, Peraturan Bupati Kotabaru Nomor 30 Tahun 2004 tentang Larangan Aktivitas Tambang Batu Bara di Pulau Laut masih berlaku. Peraturan Pulau Laut bebas tambang itu baru dicabut pada 30 Juni 2010, berselang lebih dari setahun sejak izin terbit.
Larangan menambang di Pulau Laut diperkuat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau yang luasnya tak lebih dari 2.000 kilometer persegi. Nah, berdasarkan pengukuran oleh kelompok Jaringan Advokasi Tambang, luas Pulau Laut hanya 1.955,93 kilometer persegi. Adapun versi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kotabaru, luasnya 2.080 kilometer persegi.
Konsekuensinya, menurut undang-undang itu, tak boleh ada penambangan di Pulau Laut. Bahkan, bukan hanya penambangan mineral atau minyak dan gas, penambangan pasir pun dilarang di pulau kecil seperti Pulau Laut.
Satgas juga curiga dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) disusun terburu-buru. Sejak kerangka acuan amdal diajukan perusahaan hingga terbit rekomendasi kelayakan lingkungan, waktu yang dihabiskan hanya 50 hari. Sepanjang proses pemeriksaan dokumen, pakar memberikan masukan yang sama persis pada lima dokumen amdal yang mereka kaji pada waktu yang berbeda.
Dugaan penyimpangan pun terjadi pada pemanfaatan status lahan. Menteri Kehutanan (saat itu) Malam Sambat Kaban pernah mengeluarkan surat keputusan bernomor SK.435/Menhut-II/2009 tentang penunjukan kawasan hutan di Kalimantan Selatan. Pemerintah, dalam keputusan itu, menetapkan hutan di Pulau Laut masuk kualifikasi suaka alam, hutan lindung, dan hutan produksi. Masalahnya, sebagian besar konsesi tambang di Pulau Laut berada di zona kawasan hutan tersebut.
Satgas merekomendasikan pelarangan aktivitas tambang di kawasan hutan lindung, suaka alam, dan hutan produksi. Meski begitu, mereka memberikan catatan bahwa izin tambang masih bisa diterbitkan secara selektif asalkan tak menggali tambang secara terbuka. Persoalannya, kebanyakan penambangan batu bara digarap dengan pola terbuka sehingga berpotensi mengubah fungsi kawasan hutan. "Konsesi tambangnya juga banyak yang tumpang-tindih," kata Yunus.
Yunus mengungkapkan, Satgas menyodorkan sejumlah rekomendasi di akhir investigasi, meski waktu kerjanya mepet. Salah satunya mengkaji ulang dokumen amdal. Bila hasil kajian menunjukkan ekosistem tak mampu mendukung, izin pertambangan harus dibatalkan.
Setelah Satgas melakukan kajian, SILO memang berupaya mengurus izin lingkungan. Hasilnya, grup usaha itu mendapat surat rekomendasi izin lingkungan dari Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kotabaru pada 2013. Setelah itu, SILO bersengketa dengan PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), perusahaan kelapa sawit milik Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Pangkal soalnya, sekitar 2.000 hektare lahan milik SILO tumpang-tindih dengan lahan MSAM, yang baru mendapat izin berkebun pada 2013.
Sewindu setelah kajian Satgas rampung, baru rekomendasinya dilaksanakan pemerintah daerah. Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor mencabut izin tiga perusahaan SILO pada 26 Januari 2018. Tapi, dalam semua surat keputusan pencabutan, Sahbirin memakai alasan lain untuk membatalkan izin SILO, yakni protes masyarakat terhadap aktivitas tambang, bukan temuan Satgas. "Saya mencabut karena mendengar aspirasi masyarakat dan berdasarkan kajian lingkungan," ujar Sahbirin.
Sejak izinnya dicabut, aktivitas di kantor SILO di Pulau Laut tampak lengang. Tak ada penanda bahwa perusahaan tersebut bakal menggali deposit batu bara senilai Rp 151 triliun yang terkandung di perut Pulau Laut. Di depan gerbang, cuma ada spanduk yang mengumumkan kerja sama SILO dengan koperasi Tentara Nasional Indonesia. Rabu tiga pekan lalu, di gerbang itu cuma ada dua petugas keamanan. "Manajemen tak bisa menerima wawancara," kata salah seorang petugas.
Kepala Biro Hukum Pemerintah Kalimantan Selatan Akhmad Fydayeen menjelaskan bahwa alasan Sahbirin mencabut izin tambang Silo bukan semata-mata desakan masyarakat. Menurut dia, Gubernur juga memperhatikan kajian akademis tentang dampak lingkungan.
Isi kajian dampak akademis, antara lain, menyatakan Pulau Laut tak punya cadangan air tanah. Dalam beberapa musim terakhir, menurut Fydayeen, warga Pulau Laut acap mengalami krisis air saat kemarau. Masih menurut kajian akademis versi pemerintah Kalimantan Selatan, lokasi tambang SILO berada di area yang kondisi air tanahnya mustahil menjadi tempat penambangan. "Belum ada tambang saja sudah sulit air, apalagi ada tambang," tutur Fydayeen.
Selain itu, menurut Fydayeen, SILO tak memperbarui dokumen amdal dan izin lingkungan yang terbit pada 2013. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, SILO wajib memutakhirkan dokumen itu karena dalam jangka waktu tiga tahun tak pernah merealisasi rencana kegiatan pertambangan. "Kepala Dinas Lingkungan Hidup sudah tiga kali bersurat untuk mengimbau pembaruan itu," ujarnya.
Direktur Utama PT SILO Soenarko mengatakan perusahaannya tak pernah menerima surat apa pun dari pemerintah. "Tahu-tahu langsung dicabut," ujarnya.
Ihwal sejumlah dugaan pelanggaran, termasuk dari temuan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Soenarko mengatakan SILO cuma lamban dalam merealisasi penambangan. "Beberapa tahun belakangan harga batu bara anjlok," katanya. "Jika dianggap sebagai kesalahan, salah kami cuma lambat."
Raymundus Rikang, Diananta P. Sumedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo