Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdulrahman Janeker terlihat sedang bersantai dengan kawan-kawannya di sebuah taman tepat di depan gedung WTC III, di pusat Kota Brussel. Pada Selasa pagi pekan lalu itu, pemuda yang mengaku berusia 19 tahun ini baru saja selesai sarapan bersama kawan-kawannya. Masih terlihat secangkir kopi hangat dan roti segar yang disediakan para sukarelawan di depan gedung yang organisasinya saat ini dipegang Palang Merah Belgia itu.
Penampilan Abdulrahman, yang akrab dipanggil Rahman, berbeda dengan saat Tempo menemuinya sehari sebelumnya. Wajahnya terlihat berseri-seri. "Kemarin saya pesimistis bisa mendapatkan surat panggilan dari kantor imigrasi," katanya. "Hari ini, lihat, saya sudah mendapatkan janji wawancara."
Rahman tersenyum lebar sambil menunjukkan surat di atas kertas oranye. Surat ini tak hanya menunjukkan statusnya dalam "daftar tunggu" dan kemajuan dalam proses statusnya mencari suaka. "Dengan surat ini, saya juga sudah bisa mendapat tempat berteduh di dalam gedung," katanya dengan gembira.
Para pencari suaka yang baru tiba di Brussel memang tak otomatis bisa mendapat fasilitas yang disediakan pemerintah. Sejak "Kampung Pengungsi" di Taman Maximillien dibubarkan aparat pada 1 Oktober lalu, tenda-tenda yang memenuhi taman dibongkar dan penghuninya dipindahkan ke dalam gedung WTC III, khususnya bagi mereka yang sudah masuk "daftar tunggu". Mereka yang belum mendapat surat seperti Rahman terpaksa puas tidur di dalam tenda darurat di depan gedung.
Surat oranye yang menyatakan kehadiran Rahman ditunggu pada 12 Oktober untuk mulai menjalani proses penetapan statusnya sebagai pencari suaka merupakan anugerah bagi Rahman, juga kawan-kawannya yang menerima surat serupa. Maklum, setelah berbulan-bulan melalui perjalanan darat dan laut, Rahman mengaku sudah lelah berpindah tempat. Dia tak berhenti di Jerman karena takut kecil kemungkinannya untuk mendapatkan suaka dalam waktu dekat.
Rahman mengaku meninggalkan kota asalnya, Farah, Afganistan, awal tahun lalu karena desakan ayah dan ibunya. Mereka khawatir tak bisa melindungi anak bungsunya itu jika konflik di Afganistan tidak juga reda. Kakak lelakinya tewas di Kabul karena terjebak dalam konflik adu tembak ketika sedang berangkat kerja. Kakak perempuannya hilang entah ke mana, sementara saudara-saudaranya yang lain beserta keluarganya ada yang sudah menetap di Turki dan Iran.
Maka Rahman, yang saat itu baru saja menyelesaikan sekolah menengah, sudah jauh-jauh hari direncanakan untuk diselundupkan ke luar negeri. "Hampir semua tetangga saya juga berusaha mengirimkan anak mereka ke luar Afganistan," kata Rahman. "Setiap hari kami berpikir mungkin hari ini kami yang mati tak sengaja." Bukan hanya ancaman dari para ekstremis yang membuat warga Afganistan takut, serangan mendadak yang entah dimulai oleh siapa sering pula terjadi tanpa aba-aba.
Rencana perjalanan Rahman pun sudah diatur. Dengan naik bus, ia sampai di Pakistan, lalu menumpang truk seorang pedagang sampai ke Iran. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan ke Turki.
Menurut Rahman, rutenya itu menghabiskan kurang-lebih US$ 2.000. Awalnya ia hanya ingin menetap di Turki, mulai bersekolah dan mencari pekerjaan. Tapi kakak perempuannya yang sudah menetap di Turki pun sampai saat ini belum mendapat status sebagai pengungsi. Kakaknya itulah yang mendorong Rahman mengikuti arus pengungsi lain dari Turki menuju Eropa. Di Turki, bersama pemuda-pemuda asal Afganistan lainnya, Rahman melanjutkan perjalanan.
Lewat seorang kenalan di Turki, ia berkenalan dengan seorang penyelundup yang katanya sudah sering membawa pengungsi menyeberangi Laut Egean. Rahman lalu sampai di Pulau Lesbos, Yunani, sekitar awal Mei. Di situlah ia bertemu dengan banyak pengungsi Suriah, meski tak saling mengerti karena kendala bahasa.
Rahman dan kawan-kawan akhirnya mengikuti arus. "Pada umumnya kami hanya ikut arus. Prinsip kami, yang penting tiba di daratan Eropa dulu, terserah di mana saja. Setelah itu kami pikirkan lebih lanjut," Rahman mengisahkan.
Dari Lesbos, mereka naik kapal ke Athena dengan membayar sekitar US$ 1.500. Lalu, dari Athena, Rahman dan kawan-kawan memutuskan mulai menghemat persediaan keuangan yang mulai menipis. Dari Athena, mereka menyewa bus menuju Idomeni karena mendengar di sana ada tempat bernaung yang disediakan lembaga MSF (Doctors without Borders).
Atas bantuan staf MSF, mereka melanjutkan perjalanan melewati Skopje di Makedonia. Dari Skopje, Rahman melintasi Serbia. "Kadang-kadang kami menginap satu-dua hari atau kadang seminggu untuk beristirahat mengumpulkan tenaga," kata Rahman. "Kami sering juga berjalan kaki lewat pinggiran hutan agar tidak terlalu menarik perhatian. Kalau kami beruntung, kami bisa mendapatkan bus untuk sampai di kota berikutnya."
Dari Beograd, Serbia, Rahman dan kawan-kawan memasuki Kroasia dan sempat berhenti dua hari di Slavonski, Kroasia, sebelum melanjutkan perjalanan dengan bus hingga Zagreb. Dari Zagreb, mereka melintasi Slovenia lewat Maribor, kemudian tiba di Graz, Austria. Dari Graz, Rahman tiba di Muenchen sekitar awal September.
Rahman dan kawan-kawan tinggal beberapa hari di Muenchen, lalu memutuskan naik kereta ke Brussel. "Kami tiba bersama ratusan ribu pengungsi lain. Kecil kemungkinan kami akan mendapat prioritas. Karena itu, kami memutuskan ke sini. Beberapa teman seperjalanan kami memutuskan menuju negara-negara Skandinavia. Tapi saya cukup di sini saja," kata Rahman.
Rahman enggan bercerita tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sepanjang perjalanan menuju Eropa ini. "Kadang perjalanan mulus, kadang juga kami mendapat hambatan, tapi yang paling penting kami sudah tiba di sini."
Sekarang harapannya hanya satu: bisa mendapatkan status pengungsi, mendapat kartu identitas, lalu mulai hidup baru. "Saya berharap tidak ada hambatan lagi," katanya.
Asmayani Kusrini (Brussel)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo