Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan bantuan tiga dalang, sebuah boneka laki-laki berdiri gugup. Tangan kanannya mencoba memencet tombol bel. Sekali, dua kali bel berdering, lalu sunyi. Tak lama kemudian, dari balik layar yang sedikit tersibak, muncul gerakan seperti membuka pintu tapi kemudian ditutup lagi. Boneka lelaki itu tak diacuhkan.
Boneka itu bergetar kedinginan ketika angin mendesau. Kakinya yang digerakkan oleh dalang, melangkah kecil, ragu-ragu. Dengan perlahan tubuh itu melorot, dia pun meringkuk tertidur dan ditinggalkan oleh tiga dalang yang menggerakkannya. Saat tertidur itulah boneka perempuan menyelimuti tubuh boneka lelaki tersebut dengan selembar kain ungu.
Adegan pun bergulir ketika pasangan boneka itu duduk bersisian di kotak putih. Digerakkan enam dalang, dua boneka terlihat kikuk, kaku. Seperti orang yang lama tak bersua. Hendak mendekat, boneka laki-laki terlihat ragu, lalu menggaruk-garuk badan atau kepalanya. Mereka lalu membuka album foto yang disorotkan ke layar di belakang mereka. Bercerita tentang masa lalu sepasang saudara itu. Keduanya terlihat murung.
Adegan pementasan berjudul Senlima yang ditampilkan para pemain dari Papermoon Puppet, Yogyakarta, dan Retrofuturisten asal Berlin, Jerman, ini terasa menyentuh. Alunan lagu dan musik yang diaransemen sutradara Retrofuturisten, Roscha A. Saidow, menguatkan kesenduan dalam pementasan yang berlangsung di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis malam lalu, itu. Tiga hari kemudian, lakon ini dipentaskan di Teater Salihara, Jakarta.
Pentas dalam rangkaian Jerman Fest ini mempertemukan dua teater boneka dari dua negara. Bahasa tak jadi kendala karena tak ada percakapan verbal di antara tokohnya.
Namun itu bukan berarti tak ada omongan sama sekali. Ada celetukan para dalang yang tidak mewakili suara bonekanya. Pambo Priyojati dari Papermoon hanya mengucap kata "ayo" dalam bahasa Jawa yang sangat medok tapi tetap mengundang tawa. Sedangkan Jana Wichelt dari Retrofuturisten mengucapkan "was" dalam bahasa Jerman, Felix Schiller berucap "salute", dan Franzisca mengucapkan "sorry".
Tidak membosankan, tentu saja. Papermoon dan Retrofuturisten mengemas cerita ini dengan berlapis. Untuk memperkaya cerita, Retrofuturisten yang dibentuk pada 2011 itu banyak mengeksplorasi penggunaan teknologi.
Mereka banyak menyajikan video animasi, teknologi webcam, proyektor, dan audio. Animasinya bisa beragam, dari burung yang terbang di dinding ruangan dan hinggap di tangan penampil hingga lelaki yang berjalan di kota yang sibuk. Untuk efek suara, mereka menghadirkan suara ombak, cericit burung, kokok ayam, helaan napas, gerobak es krim, musik, dan nada-nada minor.
Interaksi dengan penonton juga dibangun. Jana Weichelt, pemain teater dari Retrofuturisten, membawa sebuah kotak kecil yang berisi boneka lelaki tua yang duduk berteman burung dalam sangkar. Dia menyodorkan ke penonton. Para pemain berinteraksi, lalu berebut mengintip "kehidupan" dalam kotak itu. Dengan polah yang kocak, mereka mengintip ke dalam kotak melalui kamera kecil. Dari kamera itu, gambarnya disorotkan ke layar, mempertontonkan hidup sunyi seorang laki-laki dan hanya berteman burung dalam sangkarnya.
Kotak dan keterasingan memang jadi tema. Pentas ini menceritakan kehidupan sepasang manusia yang saling terbelenggu oleh sekat dan batas yang disimbolkan dengan kotak-kotak putih. Dalam bahasa yang lebih universal, mereka ingin menembus sekat dan batas-batas tersebut. Seperti judul pertunjukan, Senlima, yang dalam bahasa Esperanto berarti perjalanan tanpa batas.
Mereka juga ingin mendobrak pandangan bahwa teater boneka harus "menyembunyikan" orang yang menggerakkan boneka. Mereka malah menampilkannya bagaimana mereka "menghidupkan" boneka itu dengan gamblang.
Sutradara Papermoon, Maria Tri Sulistyani, menuturkan ada banyak kisah yang dijumpai yang menginspirasi cerita ini. Cerita tentang mereka yang tertolak, terasing, tak bisa pulang dan tak diterima keluarga atau orang-orang tercinta mereka karena sudah dibatasi oleh prasangka dan stigma. Cerita lelaki tua yang mengalami kekerasan politik itu terinspirasi dari Peristiwa 1965. "Banyak dari mereka yang tersangkut Peristiwa 1965, bahkan anak-istri mereka menolaknya," ujarnya. "Tapi cerita ini bukan khusus tentang Peristiwa 1965. Di Jerman atau di mana pun ada peristiwa seperti itu."
Dian Yuliastuti, Shinta Maharani (Yogyakarta)
Karena Sangkar Burung Yogya
Menurut sutradara Papermoon, Maria Tri Sulistyani, persiapan pementasan Senlima tergolong maraton. Ini adalah pertama kali dua kelompok teater itu berkolaborasi dalam satu panggung. Hanya dua pekan persiapan untuk mendesain properti yang mendukung pertunjukan, di antaranya membuat boneka dan instalasi.
Namun perkenalan dua kelompok ini sudah dimulai setahun lalu. Maria dan Iwan Effendi, pendiri Papermoon, pergi ke Berlin pada November tahun lalu. Mereka menyaksikan pertunjukan animasi langsung menggunakan proyektor mini dan seni video di Akademi Seni Drama Ernst Busch School. Akademi seni ini secara khusus punya kurikulum tentang teater boneka. Anggota teater Retrofuturisten merupakan lulusan dari akademi itu.
Sebulan kemudian, Retrofuturisten menyaksikan pentas boneka Papermoon di Yogyakarta. Lalu anggota Retrofuturisten menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar Keraton. Mereka melihat banyak burung dalam sangkar di Yogyakarta. Burung di Jawa menjadi kebanggaan bagi yang memeliharanya. Orang biasanya memeliharanya untuk klangenan. Ini menjadi inspirasi bagi Retrofuturisten untuk menampilkan obyek burung sebagai boneka dan gambar bergerak.
Ria mengatakan seniman dari dua kelompok teater itu bertemu selama empat kali sebelum pentas Senlima berlangsung. Mereka berusaha keras menggabungkan banyak ide yang muncul di kepala anggota teater dalam waktu yang singkat. Kedua kelompok ini punya metode yang berbeda dalam menyajikan cerita. Bagi anggota Retrofuturisten, misalnya, memegang boneka seperti yang diterapkan Papermoon adalah sesuatu yang baru. "Mereka awalnya frustrasi," katanya. Setelah di Indonesia, mereka akan membawa pertunjukan ini ke Festival Incanti di Turin, Italia.
Shinta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo